Tantangan Pelayanan Publik Dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru
Sejak dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) disusul dengan penetapan status tanggap darurat non bencana alam di Indonesia akibat adanya penyebaran Covid-19 yang masif, berbagai kebijakan pemerintah dalam rangka pencegahan penyebaran virus diberlakukan di seluruh sektor publik. Sektor pelayanan publik seperti pendidikan, transportasi, kependudukan, dan kesehatan mulai melakukan penyesuaian sebagai bentuk upaya pencegahan dengan melaksanakan pembelajaran jarak jauh, pembatasan rute layanan transportasi public, dan meniadakan layanan secara langsung.
Seiring diberlakukannya era Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) atau new normal di masa tanggap darurat Covid - 19, sektor layanan publik yang sempat mengalami pembatasan atau memhentikan layanan sementara, mulai beraktivitas menyesesuaikan dengan protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Momentum ini tentunya menjadi kelegaan bagi masyarakat yang sempat tertunda mengakses layanan publik.
Antusiasme beroperasinya kembali layanan publik diharapkan tidak menimbulkan permasalahan baru dan polemik di masyarakat. Dengan alasan upaya pencegahan, penyelenggara layanan mulai melakukan penyesuaian diantaranya: pembaruan jam layanan, penambahan syarat layanan dan jangka waktu layanan serta mekanisme layanan dari langsung menjadi online (daring). Perubahan terhadap standar pelayanan di masa adaptasi kebiasaan baru harus dilakukan sesuai dengan prosedural dengan melibatkan dan menginformasikan secara masif kepada masyarakat.
Perubahan standar pelayanan yang cenderung sepihak dan tanpa adanya publikasi kepada masyarakat, menjadi celah maladministrasi dalam pelayanan publik dialami oleh masyarakat. Penyelenggara layanan harus menyusun standar pelayanan dalam masa adaptasi kebiasaan baru dengan memperhatikan beberapa faktor penting, selain mengedepankan protokol kesehatan dalam pemberian layanan, prioritas layanan kepada kaum rentan dan membuka kemudahan akses layanan dengan membuka unit pelayanan ditingkat kewilayahan atau layanan online (daring). Dalam layanan online (daring) sebagai metode akses layanan banyak dipilih oleh penyelenggara , namun sayangnya kesiapan masyarakat dalam mengakses layanan online (daring) tidak diperhatikan oleh penyelenggara. Berdasarkan jumlah pengguna internet yang ada , baru 39,8% dari total populasi di Indonesia sebagai pengguna internet, berdasarkan data International Telecommunication Union dalam Laporan Global Competitiveness Index Tahun 2019.
Tentunya kondisi ini juga harus diperhatikan oleh penyelenggara bahwa, akses terhadap internet sebagai sarana dukungan terhadap layananonline (daring) belum dapat sepenuhnya digunakan oleh masyarakat. Untuk itu mekanisme layanan online (daring) yang masuk dalam ketentuan standar layanan perlu diperhatikan dan dilakukan pengkajian secara berimbang, sehingga masyarakat sebagai pengguna layanan tidak dikorbankan. Sebagai kemudahan dan dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19, layanan online (daring) dapat dijadikan salah satu cara, namun bukan berarti menghilangkan layanan secara langsung kepada masyarakat.
Ombudsman mendorong kepada penyelenggaraan pelayanan publik baik di pusat maupun daerah untuk tetap memberi pelayanan secara optimal tanpa melanggar ketentuan protokol kesehatan. Diperlukan kerjasama dan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga hak masyarakat mendapat pelayanan yang berkualitas, sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan sebagaimana amanah dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. (ori-jabar, kp)