Sumpah Pemuda: Momentum Mencabut Akar Maladministrasi

Sumpah Pemuda bukan hanya untaian kalimat penyemangat, melainkan juga pesan fundamental bagi peradaban bangsa. Internalisasi nilai-nilai Sumpah Pemuda sejatinya bersemayam pula dalam derap langkah pelayanan publik. Pekikan Sumpah Pemuda untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-97 yang menggema di seluruh penjuru negeri hendaknya menjadi pemantik semangat.
"Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Ungkapan ini relevan dengan upaya membumikan pelayanan prima bagi masyarakat. Pelayanan prima yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara seyogianya wajib menjamin hak masyarakat untuk memperoleh layanan publik yang mudah, murah, dan berkepastian.
Suara-suara minor dari pelosok terluar, tertinggal, dan terdepan yang masih membutuhkan intervensi pemerintah dalam berbagai aspek pun terdengar hingga ke pusat kekuasaan. Potret suram atas layanan publik yang terpajang di etalase serta gemuruh nada-nada resah pada bilik-bilik pengaduan menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai.
Maraknya para cerdik-pandai beradu argumen dengan masyarakat dalam menindak aduan justru meningkatkan eskalasi keluhan. Masih hangat di ingatan masyarakat peristiwa demonstrasi pada Agustus lalu, imbas dari merosotnya kepercayaan publik terhadap negara. Tentu saja, peristiwa tersebut tidak serta-merta muncul ke permukaan. Akar kuat dari laku maladministrasi patut menjadi kecurigaan paling dominan.
Prahara maladministrasi yang menggerogoti bumi pertiwi tercermin dalam perilaku pejabat publik yang kian meresahkan. Layanan yang lamban, proses administrasi berbelit-belit, penyakit birokrasi (bureaupathologies), serta berbagai persoalan terkait barang, jasa, dan administrasi lainnya perlahan-lahan harus dicabut hingga ke akarnya.
Kobaran semangat pemuda pada 28 Oktober 1928 mengilhami kerja-kerja Ombudsman dalam mengawasi pelayanan publik, merekam realitas, mengubah paradigma pelayanan, dan menjadi game changer. Dalam perjalanannya, tentu tidak semua berjalan mulus. Masih ada kerikil tajam yang harus dilalui, baik berupa ego sektoral instansi pemerintah, kanker keserakahan pejabat publik, maupun kegagalan penyelenggara negara dalam membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Ombudsman, dalam visinya untuk menjadi lembaga pengawas yang efektif, dipercaya, dan berkeadilan guna mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas, tetap bersikukuh agar patologi maladministrasi perlahan-lahan bisa dibasmi. Berdasarkan data hasil pengawasan selama tahun 2024, Ombudsman RI menangani 10.846 Laporan Masyarakat (LM) dan berhasil menyelesaikan 10.786 LM dari target 9.672 LM, atau setara dengan 111,33%. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penyelesaian laporan melebihi target yang telah ditetapkan.
Capaian lain juga tercatat melalui kerja-kerja pencegahan maladministrasi sebagai bentuk restorasi pada tataran kebijakan pelayanan publik berbasis kajian sistemik. Kinerja Ombudsman tentu tidak semata terpajang dari deretan angka, melainkan juga dari dampak nyata bagi penyelesaian pengaduan masyarakat yang kerap terpinggirkan dari arus kemajuan.
Gelora Sumpah Pemuda sejatinya menjadi pemacu bagi insan Ombudsman untuk hadir di tengah masyarakat sebagai katalisator perubahan. Walhasil, eksistensi insan Ombudsman sebagai "resep mujarab" bagi pemberantasan penyakit maladministrasi di tengah masyarakat, dari hulu hingga hilir, pun tergenapi. Selain itu, gagasan dan ide brilian insan Ombudsman yang berseliweran di ruang-ruang hampa hendaknya menjadi api penyulut bagi gerakan perubahan menuju Indonesia yang bebas dari maladministrasi.
Rafael Yolens Putera Larung, MAP
Asisten Ombudsman RI








