Selamat Hari Tani Nasional: Quo Vadis Layanan Publik bagi Petani
Dalam teori negara demokrasi, setiap orang atau warga negara diakui memiliki kebebasan berkehendak (basic liberties). Kemudian, atas pengakuan terhadap kebebasan berkehendak itu negara harus menjamin akses setiap orang atau warga negara, sebagai wujud ekspresi kebebasan berkehendak, dalam mengakses sumber-sumber ekonomi maupun politik. Artinya, semua orang atau warga negara memiliki hak dan kesempatan/peluang yang sama serta setara untuk dapat mengisi jabatan-jabatan politik, maupun dalam mengakses sumber-sumber ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraannya. Selanjutnya, terhadap mereka yang kekurangan kemampuan, untuk masuk secara setara dalam memanfaatkan peluang atau kesempatan yang ada, seperti peluang untuk mengisi jabatan-jabatan politik maupun peluang untuk menikmati kesejahteraan, maka mereka harus dilindungi/diproteksi dalam kebijakan afirmatif yang dalam teori keadilan dikenal dengan istilah difference principal (prinsip pembeda). Prinsip pembeda ini tentu menimbulkan tindakan diskriminatif atau tidak adil karena ada perlakuan yang tidak sama bagi warga negara. Pada prinsipnya ketidakadilan tidak boleh terjadi, namun ketidakadilan itu dibenarkan hanya bila ketidakadilan itu menguntungkan bagi mereka yang lemah, baik secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik. (John Rawls, 1971). Amandemen ke II UUD 1945, pasal 28H ayat (2) mengatur tentang prinsip difference principal/affirmative action. Pasal tersebut berbunyi "setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna persamaan dan keadilan".
Data BPS tahun 2003, menunjukkan bahwa petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 ha sebanyak 13,7 juta rumah tangga. Hasil penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian pada tahun 2008 menunjukkan bahwa rataan kepemilikan lahan petani di perdesaan sebesar 0,41 ha di Jawa dan 0,96 ha di luar Jawa. Dengan kepemilikan lahan yang sempit dan pola pikir usahatani yang masih subsisten, petani akan sulit meningkatkan kesejahteraamya. Data statistik menunjukkan bahwa 75,19 % petani berpendidikan lulus SD/tidak lulus SD, 23,63% lulus SLTP dan SLTA, 1,18% lulus Perguruan Tinggi. Dengan latar belakang tingkat pendidikan dan kompetensi rendah, kemampuan mengadopsi teknologi pertanian menjadi berjalan lambat, yang berakibat pada masih rendahnya produktivitas dan efisiensi usahatani. Rendahnya aksesibilitas petani terhadap informasi teknologi dan sumberdaya lainnya berakibat rendahnya penguasaan dan pemanfaatan teknologi dan sumberdaya lainnya oleh petani. Kondisi ini, berakibat rendahnya tingkat produktivitas, efisiensi, dan daya saing usaha. Hasil Survei Pertanian Terintegrasi (Sitasi) BPS 2021 menunjukkan jumlah penduduk miskin di perdesaan sebanyak 14,38 juta jiwa, dan presentase rumah tangga miskin di perdesaan yang sumber penghasilan utamanya di sektor pertanian mencapai 67,57%. Artinya, mayoritas masyarakat miskin berprofesi sebagai petani. Masyarakat yang rentan terhadap ketidakadilan sosial, budaya, ekonomi, dan politik, adalah petani.
Dengan kondisi sosial ekonomi petani mayoritas adalah petani miskin, sejak tahun 1960an pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada petani dari praktek ekonomi tinggi, seperti kesulitan terhadap akses lahan maupun pupuk. Pada tahun 1960 terbit UU No 5/1960 (Undang-Undang Pokok Agraria), yang substansinya mengatur perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah, atau landreform. Tujuan dari landreform di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Untuk mencapai tujuan dimaksud dilakukan dengan mengadakan pembagian yang adil atas sumber kehidupan rakyat tani yang berupa tanah dan pembagian hasil yang adil pula, melaksanakan prinsip tanah untuk tani, mengakhiri sistem tuan tanah, dan perlindungan terhadap ekonomi lemah (Mudjiono, 1992:42-43). Jadi semangat dari UUPA adalah untuk mencapai tujuan keadilan sosial, khususnya bagi petani. Selanjutnya, dalam rangka untuk menjamin ketersediaan pupuk, Pemerintah kemudian mulai membangun industri pupuk dalam negeri melalui pendirian PT Pupuk Sriwijaya Palembang yang mulai beroperasi pada tahun 1963, dan pada tahun 1969 pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan subsidi pupuk bagi petani. Dampaknya, pada pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1996, tingkat kemiskinan di Indonesia menurun drastis karena pertumbuhan ekonomi yang kuat dan adanya program-program penanggulangan kemiskinan yang efisien. Selama periode tersebut penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun drastis, dari awalnya sekitar setengah dari jumlah keseluruhan populasi penduduk Indonesia, sampai hanya sekitar 11 persen saja.
Landreform dan kebijakan subsidi pupuk adalah kebijakan afirmatif (affirmative action) yang bertujuan agar petani kecil memperoleh peluang yang setara dengan petani lainnya dalam melaksanakan usahataninya. Bisa juga diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan kepada petani kecil. Dalam konteks politik, kebijakan afirmatif dilakukan untuk mendorong agar jumlah perempuan di lembaga legislatif lebih representatif. Dalam dunia pendidikan ada kebijakan afirmatif berupa beasiswa, sebagai cara untuk memastikan bahwa warga biasa dan orang-orang dari daerah terpencil dapat mengakses pendidikan berkualitas terlepas dari apapun kondisi sosial ekonominya. Dalam dunia kesehatan ada BPJS. Dalam layanan transportasi ada jalur khusus berupa lintasan maupun lift yang disediakan bagi kelompok difabel. Dalam perspektif pelayanan publik disebut sebagai bentuk perlakuan khusus bagi kelompok rentan.
Petani, khususnya petani kecil, dilihat dari kondisi sosial ekonominya adalah merupakan kelompok rentan karena mudah terdampak oleh perubahan kondisi ekonomi, lingkungan, serta kebijakan pemerintah. Kerentanan mereka terutama dengan ketidakstabilan dalam hal pendapatan, akses sumber daya, dan keterbatasan perlindungan sosial. Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi kerentanan tersebut adalah:
1. Rentan terhadap konflik agraria
Kompas.com tanggal 27 Februari 2024 memuat liputan bahwa konflik agraria di Indonesia tertinggi dibanding 6 negara Asia. Konflik agraria di Indonesia tahun 2023 telah menyebabkan 241 letusan konflik, yang merampas seluas 638.188 hektar tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, dan pemukiman dari 135.608 Kepala Keluarga (KK). Angka ini berada pada urutan teratas dari enam negara Asia lainnya, yakni India, Kamboja, Filipina, Bangladesh dan Nepal.
Dalam kanjian tata kelola indsutri kelapa sawit yang dilakukan oleh Ombudsman RI, ditemukan setidaknya terdapat 3,12 juta hektar lahan perkebunan sawit masuk dalam Kawasan hutan. Sebahagian besar dari lahan tersebut adalah milik petani. Petani-petani ini menghadapi masalah sengketa lahan dengan pemerintah. Karena beberapa lahan yang dikelola masuk dalam kawasan hutan, mereka mudah kehilangan lahan yang menjadi sumber utama penghidupan mereka. Konflik ini memperburuk kondisi sosial-ekonomi petani kecil dan menciptakan ketidakpastian dalam hidup mereka.
2. Keterbatasan akses terhadap sumber daya produktif
Lembaga pembiayaan cenderung melihat sektor pertanian sebagai area yang kurang menarik karena dianggap berisiko tinggi, tergantung pada musim, dan memiliki ketidakpastian harga. Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016, hanya sekitar 15% dari 8.000 petani sampel yang telah memanfaatkan kredit bank. Sekitar 52% masih mengandalkan sumber modal sendiri, koperasi, keluarga, dan lembaga keuangan non-bank. Selain itu, 33% petani juga mengandalkan kredit dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Meskipun berbagai skema pembiayaan telah tersedia untuk usaha pertanian, karena masalah kepemilikan lahan, seperti pada poin sebelumnya, menyebabkan keterbatasan kemampuan petani untuk mengakses modal melalui lembaga pembiayaan. Karena syarat administrasi agunan untuk memperoleh kredit otomatis tidak dapat dipenuhi karena kondisi status kepemilikan lahan.
Saat ini Pemerintah telah menyediakan fasilitas pembiayaan tanpa agunan dalam program KUR untuk mempermudah akses modal bagi petani. Namun, dalam kenyataannya petani masih menghadapi kesulitan dalam memperoleh bantuan modal, sehingga hasilnya belum mencapai target yang diinginkan. Situasi ini terlihat dari rendahnya realisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk sektor pertanian. Kondisi ini dalam pengawasan lapangan yang dilakukan oleh Ombudsman RI adalah karena masih terdapat penyaluran KUR di bawah 100 juta yang masih dibebankan agunan.
Selain itu, akses terhadap pupuk dan alat pertanian, penyediaan bibit yang berkualitas masih menjadi masalah setiap tahun bagi petani kecil. Penyaluran pupuk, kualitas bibit, maupun alat pertanian yang tidak tepat waktu, sehingga mengganggu waktu tanam masih menjadi masalah berulang yang ditemukan oleh Ombudsman RI setiap tahunnya
3. Pendampingan/kepenyuluhan
Jumlah penyuluh pertanian saat ini 48 ribu orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2023 terdapat 83.971 desa/keluruhan di Indonesia, dengan jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) sebanyak 28.419.398 rumah tangga. Dari data tersebut menyebutkan bahwa hampir setiap tenaga penyuluh pertanian mengurusi 2 Desa, dan setiap tenaga penyuluh pertanian masing-masing membina 592 rumah tangga (RTUP). Jumlah yang sangat besar apabila dilihat dari tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada penyuluh. Dengan kondisi sosial ekonomi petani saat ini, kita pesimis bahwa peran kepenyuluhan tersebut berjalan optimal. Seperti yang disampaikan oleh Pj. Gubernur Sulawesi Selatan setelah melakukan kunjungan ke Kab. Bantaeng, Enrekang, Selayar, Luwu, Wajo, dan Enrekang pada tanggal 9 November 2023, bahwa penyuluh yang mendampingi petani pisang dinilai masih belum paham cara budidaya pisang, padahal ini komoditi bisnis, karena ini bisa jadi usaha bernilai bisnis.
Di sisi lain, jumlah tenaga penyuluh pertanian ini juga masih masih kurang atau jauh dari jumlah ideal seperti amanat UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, satu desa satu penyuluh.
4. Ketergantungan terhadap hasil pertanian dan ketidakstabilan pasar (fluktuasi harga)
Petani kecil sangat bergantung pada hasil pertanian mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan lahan yang terbatas, mereka hanya bisa memproduksi dalam jumlah kecil dan biasanya tidak memiliki cadangan hasil panen yang cukup untuk dijual dengan harga yang kompetitif. Fluktuasi harga komoditas pertanian atau hasil panen yang rendah akibat cuaca buruk atau perubahan iklim dapat berdampak langsung pada pendapatan mereka, menyebabkan kemiskinan yang lebih dalam.
Ombudsman RI pernah menyoroti Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Harga Eceran Tertinggi (HET), karena beberapa kebijakan terkait harga tidak berjalan optimal dalam melindungi petani kecil maupun konsumen. HPP seringkali tidak mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya. Akibatnya, ketika harga pasar lebih rendah dari HPP, banyak petani yang tetap harus menjual hasil panen mereka dengan harga di bawah HPP kepada tengkulak atau pedagang karena tidak ada jaminan pembelian oleh pemerintah. Ombudsman RI sering kali menemukan bahwa pengawasan terhadap HET di pasar tidak berjalan efektif, sehingga terjadi disparitas harga yang signifikan antara harga di pasar dengan HET yang ditetapkan oleh pemerintah.
HPP ditetapkan untuk melindungi petani agar harga jual tidak terlalu rendah, sementara HET ditetapkan untuk melindungi konsumen agar tidak membeli dengan harga terlalu tinggi. Namun, sering kali HPP dan HET tidak selaras. Harga jual yang terlalu rendah di tingkat petani (HPP rendah) tidak sebanding dengan harga jual ke konsumen (HET), yang jauh lebih tinggi. Hal ini menciptakan disparitas keuntungan yang besar di tingkat perantara atau pedagang, sementara petani dan konsumen tidak mendapatkan manfaat yang adil.
5. Rentan terhadap perubahan iklim dan bencana alam
Petani kecil sangat rentan terhadap perubahan iklim, seperti musim kemarau panjang. Contoh masalah kekeringan pada 3.109 hektar lahan pertanian di Kabupaten Indramayu yang diadukan oleh Petani ke Ombudsman RI tanggal 12 September 2024. Kondisi kekeringan dan tidak adanya ketersediaan air untuk mengairi persawahan berpotensi mengakibatkan petani terancam gagal panen.
Dari 5 kondisi kerentanan tersebut, setidaknya terdapat 6 masalah layanan yang dialami oleh petani, yaitu: layanan administrasi lahan, layanan jasa pembiayaan/kredit, layanan penyediaan bibit, layanan penyediaan pupuk bersubsidi, layanan jasa kepenyuluhan, dan layanan pengaturan harga hasil pertanian. Dengan masalah layanan kepada petani yang ada saat ini, bagaimana arah dan masa depan layanan publik kepada petani kecil di Indonesia?
Presiden Terpilih Prabowo memiliki visi ketahanan pangan Indonesia yang berfokus pada upaya untuk memastikan bahwa Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional secara mandiri, berkelanjutan, dan adil bagi seluruh rakyatnya. Ketahanan pangan bukan hanya tentang produksi yang cukup, tetapi juga mencakup aspek aksesibilitas, ketersediaan, stabilitas pasokan, serta pemanfaatan gizi yang baik untuk seluruh penduduk Indonesia. Konsep ketahanan pangan yang dibawa oleh Presiden Terpilih Prabowo menyoroti keseimbangan ekonomi di sektor pertanian. Harga pangan yang stabil, perlindungan terhadap petani, serta penguatan posisi tawar petani dalam rantai pasokan pangan menjadi kunci utama. Pemerintah akan mendorong kebijakan yang memastikan harga produk pertanian stabil dan menguntungkan petani, baik dalam situasi panen raya maupun kelangkaan. Petani, terutama petani kecil, diposisikan sebagai aktor utama dalam ketahanan pangan nasional. Mereka memainkan peran kunci dalam memastikan ketersediaan pangan di tingkat nasional. Pemerintah akan berupaya untuk memberikan dukungan penuh kepada petani meliputi akses terhadap modal, bibit unggul, pupuk, dan teknologi pertanian modern.
Kesimpulan
Kebijakan afirmasi yang diterapkan oleh pemerintah bagi petani kecil, khususnya melalui UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, bertujuan untuk memberikan perlakuan khusus kepada petani yang rentan secara ekonomi. Konsep difference principal (prinsip pembeda) dari John Rawls yang menjadi landasan kebijakan ini memastikan bahwa ketidakadilan dalam layanan publik dibenarkan ketika itu menguntungkan kelompok yang lemah, termasuk petani kecil. Afirmasi ini diperlukan mengingat petani kecil sering kali menghadapi keterbatasan akses terhadap sumber daya, informasi teknologi, dan perlindungan sosial yang memadai.
Kondisi petani kecil di Indonesia saat ini masih menunjukkan tingkat kerentanan yang tinggi. Dengan rata-rata kepemilikan lahan yang sangat terbatas dan tingkat pendidikan yang rendah, petani sulit meningkatkan produktivitas serta efisiensi usaha tani. Mereka juga rentan terhadap berbagai masalah layanan publik seperti akses lahan, kredit, bibit berkualitas, subsidi pupuk, pendampingan penyuluh yang tidak memadai, serta ketidakstabilan harga hasil pertanian. Berbagai konflik agraria dan masalah distribusi sumber daya sering kali memperburuk situasi petani kecil, membuat mereka semakin sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Dengan visi ketahanan pangan yang diusung oleh Presiden Terpilih Prabowo, terdapat harapan akan perbaikan layanan publik bagi petani. Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Terpilih Prabowo berencana untuk memperkuat posisi tawar petani dalam rantai pasokan pangan, meningkatkan ketersediaan dan distribusi bibit serta pupuk. Dengan kebijakan ini, layanan publik bagi petani semoga akan lebih terarah dan berdampak positif pada kesejahteraan petani. Fokus pada kemandirian pangan, distribusi yang lebih merata, akses terhadap teknologi, dan perlindungan terhadap harga hasil pertanian diharapkan dapat memberikan arah yang lebih jelas (quo vadis) dalam peningkatan kesejahteraan petani kecil serta penguatan peran mereka sebagai aktor utama ketahanan pangan nasional.
Selamat Hari Tani Nasional, 24 September 2024.