Sejarah dan Tantangan Ombudsman RI
Masih ada masyarakat mengira Ombudsman adalah nama orang, perusahaan swasta, atau lembaga swadaya masyarakat. Tentu ini bukan hal yang mengejutkan, pamor Ombudsman masih kalah dengan lembaga negara pengawas lainnya, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pengawasan Keuangan, dan sebagainya.
Ketika dihadapkan pada fenomena seperti ini, menjadi tantangan sendiri bahwa masyarakat masih minim pengetahuan untuk memahami peran sertanya dalam pengawasan pemerintahan. Pada dasarnya masyarakat dapat menggunakan hak-haknya mengawasi pelayanan publik sekaligus meningkatkan dan memperbaiki kualitas pelayanan publik yang dirasa masih jauh dari pemerintahan yang bersih dan baik (good and clean governance).
Agar mencapai tujuan tersebut, penting untuk menjelaskan sejarah dan perkembangan Ombudsman RI kepada masyarakat saat ini. Peran serta masyarakat perlu ditingkatkan agar mereka mendapatkan perlindungan hak-hak pelayanan publik dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Sejarah Ombudsman
Istilah Jas Merah menjadi jargon bagi masyarakat Indonesia yang memiliki arti "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah". Ombudsman merupakan lembaga yang berasal dari sistem pemerintahan negara Swedia yang diadopsi oleh Indonesia pasca reformasi yang ditandai demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ombudsman didirikan dengan semangat memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme melalui peran serta masyarakat sekaligus meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat memperoleh pelayanan publik yang berkeadilan dan kesejahteraan yang lebih baik.
Menurut Poesoko (2005) terdapat tiga fase pendirian Ombudsman yaitu fase pertama adanya pemikiran pembentukan Ombudsman, fase kedua upaya rintisan pembentukan Ombudsman, dan terakhir fase pembentukan Ombudsman.
Fase pertama ditandai dengan pengungkapan pandangan dan pemikiran dari beberapa sarjana tentang pentingnya pembentukan Ombudsman. Beberapa sarjana telah memperkenalkan Ombudsman sejak era pemerintahan Orde Baru. Peran media massa harian umum Kompas turut andil memfasilitasi pemikiran-pemikiran penting tersebut, seperti tulisan P. K. Ojong tanggal 10 Februari 1967 dan tulisan Satjipto Rahardjo tahun 1976 berjudul Ombudsman ke Arah Perlindungan Warganegara. Selain itu terbitan buku dari Muchsan tahun 1981 berjudul Peradilan Administrasi dan Junaidi Suwartojo tahun 1995 berjudul Korupsi, Pola Kegiatan, dan Penindakannya serta Peran Pengawasan dan Penanggulangannya. Terakhir, salah satu pemikiran yang penting dari tulisan Markus Lukman pada makalah perspektif yang menganjurkan pentingnya pembentukan lembaga pengawasan ekstra fungsional dengan mengadopsi konsep lembaga Ombudsman.
Fase kedua beranjak dari ide-ide pentingnya keberadaan lembaga Ombudsman melalui upaya-upaya nyata yang dilakukan oleh pemerintah. Upaya ini terbagi menjadi dua pemerintahan, yaitu B.J. Habibie dan K.H. Abdurrahman Wahid. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie dilakukan tahapan rintisan yang menugaskan CFG. Sunarti Hartono melakukan studi banding tentang lembaga dan pranata Ombudsman ke berbagai negara Eropa pada tahun 1999. Dari hasil studinya dia mengungkapkan bahwa negara-negara demokrasi menganggap perlu untuk membentuk lembaga dan pranata Ombudsman dalam rangka memfasilitasi masyarakat menyalurkan keluhannya terkait pelayanan publik.
Fase terakhir adalah pembentukan Ombudsman. Setelah berakhirnya pemerintahan B.J. Habibie yang begitu singkat, pada pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid meneruskan pemikiran dan upaya pembentukan Ombudsman dengan memanggil Menteri Kehakiman dan HAM dan Kejaksaan Agung. Latar belakang pembentukan Ombudsman oleh K.H. Abdurrahman Wahid yang menyatakan "Pada saat ini lembaga-lembaga pengawas tidak berjalan efektif. Oleh sebab itu perlu dibentuk suatu lembaga pengawasan, di mana masyarakat diikutsertakan." Tepat pada tanggal 10 Maret 2000 berdiri Komisi Ombudsman Nasional melalui penetapan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000, yang dilandasi tiga pemikiran dasar, yaitu peran serta masyarakat melakukan pengawasan, peran serta masyarakat untuk meniminalisir penyalahgunaan wewenang, dan menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Tantangan Ombudsman RI
Pada tahun 2008, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Ombudsman RI memiliki kedudukan sebagai Lembaga Non-Struktural (LNS) yang berfungsi untuk menunjang pelaksanaan fungsi negara dan pemerintah terkait dengan pengawasan pelayanan publik. Keberadaan Ombudsman RI sampai saat ini telah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Hasil Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2020 menempatkan Ombudsman RI posisi kedua sebagai lembaga yang efektif melakukan pemberantasan korupsi. Tentu hal ini dapat dibuktikan terjadinya peningkatan tren pengaduan masyarakat ke Ombudsman RI setiap tahunnya.
Berdasarkan hasil pengaduan masyarakat ke Ombudsman pada tahun 2018 di negara Swedia, Australia, dan Indonesia menunjukkan jumlah pengaduan masyarakat di Australia lebih banyak dari Indonesia. Ombudsman Australia menerima 46.494 pengaduan, sedangkan Ombudsman Indonesia hanya 9.376 pengaduan. Selisih sedikit dengan Ombudsman Swedia yang menerima 8.826 pengaduan dari total jumlah penduduk sebesar 10,05 juta, berbanding dengan Indonesia sebesar 269 juta penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun meningkatkan peran serta masyarakat dan persepsi terhadap Ombudsman, ternyata masih jauh tertinggal dari negara maju tersebut. Sebagaimana landasan pemikiran pembentukkan Ombudsman dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat masih belum mencapai titik yang tertinggi.
Untuk mengatasi tantangan ini, sebuah gagasan yang penting diungkapkan adalah agar pendidikan anti maladministrasi dapat diterapkan dalam pembelajaran pada tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Melalui pendidikan maka negara memfasilitasi warga negaranya untuk menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam hak-hak sipil, yaitu keterlibatan warga negara dalam pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini sangat berkaitan bahwa Ombudsman RI sebagai lembaga yang menerima pengaduan masyarakat adanya dugaan maladministrasi. Oleh karena itu, tantangan Ombudsman RI tidak hanya pada masih maraknya maladministrasi, tetapi juga peran serta masyarakat yang masih minim. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengaduan dengan jumlah penduduk yang berselisih yang begitu sangat besar.(AG)