Ruang Pelibatan Masyarakat dalam Penyusunan Standar Pelayanan Publik
Seluruh penyelenggara pelayanan publik di Indonesia memiliki satu kewajiban yang sama, dimana sebelum memberikan layanan kepada masyarakat, wajib memiliki standar layanan yang telah ditetapkan. Standar tersebut ditujukan sebagai dasar bagi penyelenggara untuk menjalankan tugas pelayanannya. Hal ini merupakan amanah UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Terlebih dijabarkan dalam Pasal 21 UU Nomor 25 Tahun 2009, bahwa standar pelayanan tersebut meliputi beberapa hal, yakni dasar hukum; persyaratan; sistem; mekanisme dan prosedur; jangka waktu penyelesaian; biaya/tarif; produk pelayanan; sarana; prasarana dan/atau fasilitas; kompetensi pelaksana; penanganan internal; penanganan pengaduan; saran dan masukan; jumlah pelaksana; jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan; jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan resiko keragu-raguan; dan evaluasi kinerja pelaksana.
Menyusun standar layanan di atas bukan mutlak menjadi domain penyelenggara, namun dalam penyusunannya harus memperhatikan kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungan, khususnya kondisi masyarakat sekitar yang langsung mengakses pelayanan publik. Bahkan pada Pasal 20 UU Nomor 25 Tahun 2009, disebutkan dengan tegas bahwa dalam penyusunan dan penetapan standar pelayanan, penyelenggara pelayanan wajib untuk mengikutsertakan masyarakat dan pihak terkait. Pengikutsertaan masyarakat tersebut harus dilakukan dengan prinsip tidak diskriminatif, terkait langsung dengan jenis pelayanan, memiliki kompetensi dan mengutamakan musyawarah, serta memperhatikan keberagaman.
Jika dilihat secara tujuan, adanya ruang pelibatan masyarakat tersebut ditujukan agar masyarakat sebagai pengakses langsung pelayanan publik, dapat dengan mudah mengakses pelayanan publik. Karena dengan dibukanya ruang dialog sebelum adanya penetapan standar layanan, masyarakat sekitar dapat menyampaikan kondisi real yang dimiliki. Sebagai ilustrasi, misalnya jika mayoritas masyarakat di sekitar instansi layanan memiliki mata pencaharian sebagai petani, yang melakukan aktifitas mulai dari pagi hingga siang hari, otomatis mayoritas masyarakat hanya dapat mengakses pelayanan sesudah selesai bertani atau di siang sampai sore hari. Sedangkan jam pelayanan instansi misalnya hanya sampai jam 12.00 (misalnya pelayanan di puskesmas). Otomatis masyarakat bisa dikatakan tak akan sempat untuk mengakses layanan. Hal ini tentu saja tidak efektif dan dapat dikatakan sangat merugikan masyarakat sekitar kantor pelayanan. Ditambah lagi layanan kesehatan merupakan salah satu bidang pelayanan dasar, yang idelanya diterima oleh masyarakat tanpa hambatan apapun, termasuk waktu layanan.
Contoh lain misalnya layanan pembayaran pajak kendaraan yang dilakukan pada pukul 08.00 s.d 16.00, dimana waktu layanan tersebut tidak mengakomodir  masyarakat/wajib pajak yang bekerja di sektor pemerintahan ataupun swasta, yang juga mengharuskan masuk kerja pada jam 08.00 hingga 16.30. Sehingga dapat dipastikan, masyarakat tidak dapat mengakses pelayanan tersebut. Jika memaksakan diri untuk tetap mengakses pelayanan tersebut pada jam pelayanan yang sudah ditentukan, tentu saja dengan konsekuensi mengurangi/menganggu jam kerja di kantor yang ada. Tetapi tak jarang ada masyarakat yang tetap memaksakan mengakses pelayanan tersebut, karena khawatir dikenakan denda karena melakukan pembayaran lewat dari waktu yang ditetapkan.
Dua ilustrsi di atas adalah bentuk tidak maksimalnya ruang pelibatan masyarakat dalam penyusunan standar pelayanan publik. Lantas apa yang harus dilakukan oleh seluruh instansi pelayanan publik? Tentu saja harus membuka ruang pelibatan masyarakat, baik penyusunan dalam rangka penyusunan awal standar layanan, ataupun pada tahapan revisi standar pelayanan. Dengan dilibatkannya masyarakat dalam penyusunan standar layanan, penyelenggara akan dengan mudah memperbaiki standar layanan, baik dari segi waktu, prosedur, sarana-prasarana, ataupun evaluasi terkait pemberian layanan yang telah dilakukan (sikap layanan), karena sejatinya masyarakat sebagai pengakses layanan yang dapat menilai, baik atau buruknya pelayanan yang telah diberikan oleh instansi penyelenggara. Â
Selain amanah UU Nomor 25 Tahun 2009, pelibatan masayarakat dalam penyusunan standar layanan juga menjadi salah satu fokus Ombudsman, bahkan menjadi salah satu variabel dalam penilaian kompetensi penyelenggara layanan. Pada program Survei Kepatuhan terhadap UU Nomor 25 Tahun 2009, jika instansi penyelenggara tidak dapat menunjukkan bukti (dalam bentuk foto kegiatan, daftar hadir, dan berita acara pertemuan) telah melaksanakan pelibatan masyarakat dalam penyususnan standar layanan, maka salah satu variabel tersebut tidak dapat terisi. Selain itu, tujuan dibukanya ruang pelibatan masyarakat dalam penyusunan standar layanan adalah agar komunikasi antara peyelenggara dan masyarakat sebagai pengguna layanan berjalan dua arah, sehingga dapat diperoleh titik temu atau kesepakatan dalam penyelenggaan layanan publik.
Seluruh penyelenggara layanan publik harus menyadari, bahwa hadirnya UU Nomor 25 Tahun 2009 didasari dengan semangat untuk menjalankan kewajiban negara, melayani setiap warga negara dan penduduk, untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik. Selain itu juga ditujukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik, yang sesuai dengan asas-asas pemerintahan yang baik. Oleh karena itu, ruang untuk pelibatan masyarakat sekitar/pengakses pelayanan publik secara langsung, menjadi hal yang mutlak diperlukan. Berbagai pendekatan perlu dilakukan bersama. Baik langkah aktif masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, dalam rangka perbaikan standar pelayanan kepada pihak penyelenggara pelayanan publik, ataupun langkah aktif dari penyelenggara pelayanan publik untuk meminta masukan dari masyarakat terkait standar pelayanan yang dibutuhkan/ideal bagi masyarakat.