Pungli Dibalik Rumah Subsidi
Sejak tahun 2010 hingga 2020, Ombudsman RI Perwakilan Kalsel menerima sejumlah konsultasi non-laporan dari masyarakat. Disebut sebagai konsultasi non-laporan karena konsultasi tersebut belum termasuk dalam kewenangan Ombudsman atau tidak memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana diatur dalam UU No 37 Tahun 2008.
Umumnya yang di keluhkan oleh masyarakat adalah layanan publik di sektor swasta, seperti perjanjian kerja perusahaan swasta, perjanjian leasing, asuransi murni swasta, produk konsumen yang rusak dan keluhan pengguna rumah subsidi.
Khusus untuk pengguna pinjaman atau konsumen rumah subsidi, biasanya yang dikeluhkan seputar kualitas bangunan rumah yang jauh dari kata layak, ukuran sempit, kualitas bangunan murah, akses jalan yang kurang baik, tidak adanya sarana dan prasarana umum, dan abai dalam pengelolaan lingkungan.
Menurut para pelapor, proyek perumahan subsidi hanyalah proyek "ecek-ecek" dengan bahan di bawah standar, promo yang murah dan wah serta hanya program tanpa peduli hak-hak konsumen. Padahal, program MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) merupakan salah satu misi pemerintah dalam menyejahterakan rakyat .
Lain lagi dengan konsultasi dari para pengembang atau developer perumahan subsidi. Ombudsman RI beberapa kali menerima konsultasi para pengembang perumahan yang mengeluhkan layanan pemerintah terhadap proses izin dan usaha mereka.
Curhat para developer dalam usaha membangun perumahan bermula saat mereka sudah disibukkan dengan berbagai jenis perizinan. Seperti mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Perusahaan Listrik Negara (PLN), Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dan pengurusan Sertifikat Hak Milik (SHM) di Kantor Pertanahan. Belum lagi legalitas Badan Usaha, izin lokasi, rekomendasi RT, RW, lurah, kepala desa, rekomendasi camat, pengukuran, persetujuan tetangga, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan lain lain.
Alih-alih semakin mudah, menurut para developer proses saat ini justru sangat berbelit dan semakin sulit. Apalagi berhadapan dengan layanan yang sarat pungli (permintaan imbalan uang dan jasa) dan patgulipat layanan. Mereka harus membayar uang pelicin mulai tingkat RT sampai camat yang berkisar Rp. 50.000.000 sampai Rp. 100.000.000. Belum lagi permintaan dari oknum pertanahan dengan besaran Rp.1.000.000 per sertifikat, belum lagi permintaan satu unit rumah, tiket pesawat, dan lain-lain.
Bagi para developer, biaya yang mereka keluarkan akhirnya memangkas biaya operasional yang harus digunakan. Bahkan bisa mencapai 30% lebih yang pada akhirnya berpengaruh dengan kualitas rumah subsidi yang harus dibangun.
Dari dua hal tersebut, dapat kita tarik benang merah bahwasannya keluhan konsumen atas kualitas rumah subsidi bisa jadi bermula dari patgulipat atau potret maladministrasi pungli yang terjadi sedari awal. Dengan kata lain, hal ini seperti lingkaran setan yang terus ada dan sulit terputus.
Ombudsman memandang bahwa pungli dibalik rumah subsidi harus menjadi perhatian serius oleh semua pihak. Terlebih pemerintah, baik pusat dan daerah. Prinsip reformasi birokrasi adalah sistem yang tidak membiarkan perilaku koruptif berkembang liar tanpa ada sangsi dan solusi.
Diperlukan partisipasi publik yang kuat dalam hal laporan atas perilaku layanan buruk tersebut. Selain itu, diperlukan juga usaha memperkuat fungsi penegakan hukum, kepolisian, saber pungli dan lembaga pengawas lainnya yang tidak hanya diam dan menjadi penonton dalam hal ini.
Para pengguna layanan rumah subsidi (konsumen) dan developer juga harus berani menyampaikan keluhan dan mengawasi secara intens proses layanan yang terjadi. Jangan sampai kedua belah pihak justru turut terjebak dengan suap dan takut bersuara atas maladministrasi dan ketidakadilan.
Mereka harus berani melapor. Kalau perlu dilakukan perekaman atas aktivitas kezaliman atau maladministrasi dan menyampaikannya ke Ombudsman untuk ditindaklanjuti sebagaimana ketentuan Undang-Undang demi pelayanan yang berperadaban.