Proses Panjang Peningkatan Kualitas Nilai Pelayanan Publik di Indonesia
Transformasi pelayanan publik telah menghasilkan banyak perubahan signifikan, misalnya dari high cost menjadi middle cost lalu berubah low cost bahkan sekarang sudah banyak yang no cost. Sebelumnya, pelayanan publik yang menjadi kewajiban pemerintah menyangkut layanan administratif, jasa dan barang banyak dikeluhkan masyarakat. Masalah yang dipersoalkan seputar belum jelasnya dasar hukum layanan, syarat, sistem mekanisme, dan prosedur, jangka waktu penyelesaian, dan biaya/tarif. Hal ini mengakibatkan banyak ditemukan penyimpangan pelayanan publik, diantaranya penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, berpihak, penyalahgunaan wewenang, permintaan uang/ barang/jasa, tidak memberikan pelayanan, dan perlakuan diskriminasi.
Banyaknya penyimpangan yang terjadi menimbulkan citra birokrasi pemerintah yang negatif karena tidak efisien, efektif, lamanya proses layanan, tingginya biaya produksi, biaya pengangkutan, merebaknya korupsi dan pungutan liar, dan sebagainya. Sengkarut pelayanan publik dirasakan pada semua instansi pusat sampai ke daerah dan pada semua bidang, terutamanya pada administrasi kependudukan, perizinan, kesehatan dan pendidikan. Inilah yang menjadi salah satu agenda perubahan melalui reformasi yang dituntut masyarakat saat itu.
Pasca reformasi, pemerintah kemudian menyusun kebijakan dalam sejumlah regulasi untuk melakukan perbaikan tata kelola layanan. Dimulai dengan penataan kelembagaan, pembentukan lembaga pengawas, penyusunan rencana dan pelaksanaan program Reformasi Birokrasi, melakukan evaluasi dan monitoring, pembaharuan (update), dan penetapan sistem reward and punishment. Tidak mudah merubah pola layanan lama yang inefisiensi karena membudaya, namun upaya pemerintah pusat dan daerah melakukan agenda Reformasi Birokrasi di segala sektor harus jalan terus. Penatanaan ulang tata laksana pelayanan terus ditingkatkan konsisten. Pada akhirnya harapan masyarakat menerima pelayanan publik yang murah, mudah, berkualitas, terjangkau dan transparan mulai terwujud. Hal ini terukur dari mulai meningkatkan kepercayaan dan kepuasaan masyarakat akan pelayanan publik.
Namun setelah lebih dua dekade reformasi, wajah pelayanan publik kita belumlah mencapai ideal. Tidak bisa dipungkiri masih sering terdengar banyak masyarakat yang kecewa karena kualitas pelayanan yang masih buruk sehingga berdampak luas pada kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bank Dunia terkait indikator tata kelola efektivitas pemerintahan di dunia, pada tahun 2015 Indonesia mendapat nilai 46 dan tahun 2016 nilai 53. Semakin tinggi nilainya maka semakin baik efektivitas pemerintahannya. Nilai Indonesia masih di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Sejalan dengan hal tersebut, karena efektivitas pelayanan publik erat kaitannya dengan korupsi/pungutan, maka berdasarkan data yang disampaikan Masyarakat Transparasi Internasional menempatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tergolong buruk. Kredit poin yang dicapai hanya kisaran 36-40 sejak tahun 2015 lalu dan akhir tahun 2020 dinobatkan menduduki rangking 102 dari 180 negara, dibandingkan dengan poin Singapura (85), Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40).
Berkaca dari data tersebut, maka pemerintah masih harus bekerja keras mengintensifkan Reformasi Birokrasi di semua lembaga pemerintah. Ekspektasi masyarakat yang dinamis mengingat perkembangan global khususnya kemajuan teknologi informasi terus berubah, sehingga agenda reformasi birokrasi tidak boleh berhenti bahkan harus ditingkatkan sampai mencapai pelayanan prima kepada masyarakat. Perbaikan yang terus dilakukan harus dimaknai sebagai indikator kehadiran Negara dalam mewujudkan amanat konstitusi yakni memajukan kesejahteraan umum.
Dalam rangka kesejahteraan umum tersebut, negara hukum material menghadapi berbagai macam masalah yang bersifat prinsip, yaitu berkenaan dengan upaya upaya yang harus ditempuh supaya kesejahteraan umum dapat dinikmati segenap lapisan masyarakat (Hotma P. Sibuea, 2010). Program ini bertujuan untuk mengurangi penderitaan masyarakat seperti kemiskinan, pengangguran, gangguan kesehatan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, suatu negara yang menerapkan konsep negara welfare state mempunyai kebijakan publik yang bersifat pelayanan, bantuan, perlindungan atau pencegahan pada masalah sosial (Miftachul Huda, 2009). Negara harus memastikan agenda Reformasi Birokrasi terus berjalan dengan perubahan-perubahan yang terus dilakukan sehingga menciptakan suatu tatanan budaya layanan yang ideal. Perubahan harus mampu mengikis habis penyimpangan-penyimpangan pelayanan publik dengan menekankan perubahan pada tata kelola dengan sistem yang tepat dan benar.
Urgensi kemurnian nilai-nilai menjadi pilihan penting dalam mendorong percepatan terciptanya budaya layanan publik ideal. Penekanan nilai-nilai universal berbasis keagamaan oleh semua lapisan penyelenggara pelayanan publik dari pimpinan tertinggi sampai level staf perlu ditanamkan. Seluruhnya harus memiliki pemahaman yang sama dalam mewujudkan layanan yang berintegritas, yakni pelayanan yang menjunjung tinggi kejujuran sesuai tugas dan tanggung jawab berdasarkan ketentuan yang berlaku. Penguatan nilai-nilai integritas lainnya terus dilakukan menyangkut anti korupsi, anti diskriminasi, taat asas, patuh aturan/hukum, berdedikasi dan loyal pada visi, misi dan tujuan organisasi.
Setiap penyelenggara harus merubah paradigmanya bahwa pelayanan masyarakat bukan lagi sekedar pemenuhan tanggung jawab kerja semata sehingga diberikan tidak optimal. Melayani masyarakat baik sebagai kewajiban maupun sebagai kehormatan, merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat yang manusiawi (Tjosvold, 1993). Kemudian Djajendra mengatakan bahwa menemukan diri tertinggi kita yang ikhlas dan melayani dengan penuh tanggung jawab adalah jantung dari pelayanan publik yang berkualitas. Keberagaman budaya yang kita miliki sangat kental dengan nilai-nilai yang baik dan melekat dengan kehidupan masyarakat sehingga akan mudah mempuritanisasinya. Bisa saja tiap daerah berbeda nilai dan penerapannya namun pada umunya memiliki tujuan yang sama.
Perubahan tata kelola pelayanan publik yang baik untuk mencapai titik ideal memang perlu proses yang panjang dan harus dilakukan secara bersama-sama namun hasil yang akan diraih juga akan dirasakan luas oleh masyarakat. Semangat pemerintah dalam menata birokrasi telah mulai dirasakan perubahan-perubahan dari tahun ke tahun. Namun reformasi pelayanan publik harus terus digalakkan tanpa henti, agar cost perubahan yang telah dikeluarkan selama ini tidak sia-sia.