• ,
  • - +

Artikel

Problem Layanan Adminduk, Kekosongan Hukum dan Diskresi
• Jum'at, 17/01/2020 • Muflihul Hadi
 
Muflihil Hadi, Asisten Muda Ombudsman RI Jawa Timur (foto by ajik)

Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 4 berbunyi "penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan: a. Kepentingan umum, b. Kepastian hukum dst". Asas Kepastian Hukum menempati urutan kedua dari  dari 12 (dua belas) asas, ini menandakan bahwa segala sesuatu menyangkut standar pelayanan publik harus mempunyai dasar hukum yang jelas dan kuat termasuk di dalamnya standar persyaratan.

Penyelenggaraan pelayanan administrasi kependudukan begitu banyak dan pelayanan administrasi kependudukan adalah termasuk salah satu layanan dasar yang menjadi prioritas di samping pelayanan pendidikan dan kesehatan. Salah satu contoh pelayanan itu adalah perubahan Kartu Keluarga (KK). Perubahan KK atau pecah kartu keluarga karena perceraian yang salah satu persyaratannya adalah melampirkan KK lama berdasarkan Perda/Perwali/Perbub daerah setempat, seringkali masyarakat tidak bisa memenuhi persyaratan tersebut, karena KK dibawa oleh mantan pasangan yang tidak mau meminjami KK untuk kebutuhan pelayanan perubahan. Hal ini di luar kekuasaan/kemampuan pemohon, sementara penyelenggara pelayanan publik seringkali tidak mau tahu. Pokoknya dokumen lengkap diproses, masalah tidak lengkap bukan urusan penyelenggara. Gara-gara persoalan KK tersebut, ada seseorang yang tertunda menikahnya berbulan-bulan. Hal inilah yang banyak diadukan ke Ombudsman Perwakilan Jawa Timur.

Contoh lainnya pengaduan yang banyak masuk ke Ombudsman adalah pelayanan pencatatan kematian/akta kematian dan pelayanan pindah datang atau pindah keluar. Di banyak daerah/tempat harus lewat pengantar Ketua RT dan Ketua RW. Masalahnya ada ketua RT atau Ketua RW yang tidak mau melayani atau menandatangani pangantar tersebut dengan berbagai alasan dari alasan yang logis sampai alasan yang tidak logis , misalnya membayar sekian juta karena kesepakatan warga. Persoalan menjadi rumit karena Ketua RT/Ketua RW tidak mau menandatangani pengantar sementara Perda/Perwali menyebutkan kewajiban adanya pengantar tersebut. Maka instansi penyelanggara tidak memberikan pelayanan begitu saja atas permohonan masyarakat tanpa tahu latar belakang masalahnya apa dan kenapa Ketua RT tidak mau memberikan pengantar. Contoh pelayanan yang lain dari persoalan pengantar RT dan RW ini yang dikeluhkan ke Ombudsman banyak sekali tidak bisa dituliskan satu persatu dalam tulisan ini.

Lalu bagaimana mengatasi persoalan tersebut? Mestinya warga tetap dilayani karena pejabat/penyelenggara bisa melakukan diskresi karena "kondisi" yang tidak memungkinkan masyarakat memenuhi dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ada beberapa kekhawatiran dari penyelenggara pelayanan publik kalau tetap melayani masyarakat sementara persyaratan tidak dipenuhi. Pertama, khawatir dilaporkan pidana. Kekhawatiran tersebut terlalu berlebihan dan kurang tepat kalaupun ada keberatan dari pihak lain atas tindakan tersebut mestinya lewat upaya administratif. Kedua, khawatir melakukan maladministrasi karena melanggar prosedur. Hal ini bisa dipahami namun dengan pendekatan diskresi, maka tindakan tetap melayani sangat patut dan dianjurkan.

 Diskresi

Secara etimologis, diskresi berasal dari bahasa Belanda, yaitu Discretie diartikan sebagai 'kesederhanaan, sifat hati-hati, sifat diam, kesadaran untuk tidak menyampaikan sesuatu". Dalam  Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada Pasal 1 Angka 9, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Kata kunci dari ketentuan di atas adalah "keputusan pejabat untuk mengatasi persoalan konkret sementara peraturan tidak lengkap dan tidak memberikan pilihan". Dalam kasus pelayanan pecah KK karena perceraian, setelah diberikan saran Ombudsman, Pemerintah Kota Surabaya telah mengeluarkan Perda No.6 Tahun 2019 yang menghilangkan syarat KK atas pelayanan pecah KK karena perceraian. 

Dalam menangani pengaduan pelayanan adminduk sebagaimana dua kasus diatas (pecah KK dan pengantar RT dan RW) sebelum Ombudsman meminta penyelenggara pelayanan publik untuk tetap melayani dengan alasan diskresi, Ombudsman meminta supaya kelurahan/desa melakukan mediasi para pihak sebagai upaya persuasif juga sebagai sarana untuk mengetahui alasan tidak diberikannya dokumen/tidak diberikan pelayanan itu karena alasan logis atau alasan yang dapat diterima secara hukum atau hanya karena like and dislike. Dari beberapa pengaduan sebagian selesai di tingkat mediasi dan sebagian lain tetap tidak mau memberikan dengan alasan yang tidak jelas.

Akhirul kalam, apapun produk regulasi termasuk dalam penyelenggaraan pelayanan publik banyak yang tidak sempurna. Pembuat perundang-undangan tidak semua bisa membaca dinamika masyarakat. Para pejabat harus berani melakukan diskresi tentu tidak setiap persoalan atau pejabat melakukan diskresi "serampangan". Dengan itikad baik dan hati-hati kemungkinan kebijakan diskresi dipersoalkan bisa dihindari, toh demi kepentingan masyarakat. SALUS POPULI SUPREMALEX (kepentingan masyarakat adalah hukum tertinggi).    


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...