Potret Pelayanan Publik Pemerintah Desa
Desa memiliki hak otonomi, namun dalam melaksanakan kewenangannya harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan terhadap hak dalam mengambil kebijakan/tindakan maupun keputusan tidak boleh bertentangan dengan regulasi. Otonomi diberikan karena negara kita memberi ruang untuk eksistensi budaya tradisional dan adat yang berlaku di desa.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undagn Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, secara eksplisit dijelaskan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terhadap pelaksanaan pengaturan desa tersebut dilakukan oleh pemerintah desa yang dipimpin oleh kepala desa.
Maka desa dengan hak otonomi khusus bisa mengatur sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakatnya termasuk terhadap proses penyelenggaraan pelayanan publik di wilayah administratif desa. Karena dengan pemberian hak otonomi tentu juga melekat kewajiban yang harus dilakukan oleh pejabat desa dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tidak serta merta desa "seolah-olah" terlepas dari pengawasaan dan pembinaan pemerintah kabupaten/provinsi maupun lembaga pengawas pemerintah lainnya.
Sama hal nya dengan instansi pemerintah lain, maka pemerintah desa merupakan instansi penyelenggara layanan untuk masyarakat desa yang dalam pengelolaan layanan juga wajib berpedoman pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Ruang Lingkup Pelayanan Publik
Sekalipun memiliki otonomi desa namun dalam melakukan tugas pelayanan, pemerintah desa juga melakukan layanan yang lingkupnya meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif. Pengertian masing-masing lingkup secara eksplisit telah disebutkan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Pelayanan barang publik meliputi pengadaan/penyaluran barang publik, termasuk sarana/prasarana yang ada di desa dengan menggunakan sebagian atau seluruhnya anggaran yang bersumber dari APBN dan/atau APBD maupun APBDes. Adapun contoh untuk barang publik di desa adalah pembangunan jalan desa, jembatan, bangunan gedung serba guna desa, sarana poskamling desa, bangunan perpustakaan desa dan lain sebagainya.
Pelayanan jasa publik meliputi penyediaan jasa layanan oleh pemerintah desa yang pelaksanaanya menggunakan APBN dan/atau APBD maupun APBDes sebagian atau seluruhnya. Misalnya, pendampingan masyarakat desa untuk pengembangan UMKM, penyediaan pemeriksaan kesehatan masyarakat kurang mampu di desa yang difasilitasi pemerintah desa, serta kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh aparat desa dalam rangka meningkatkan kualitas SDM masyarakat di wilayahnya.
Sedangkan pelayanan administratif adalah pelayanan pemerintah desa yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda. Adapun contohnya, surat pernyataan penguasaan fisik tanah yang di tanda tangani dan diregister kepala desa hingga camat setempat, surat keterangan desa sebagai pengantar untuk persyaratan administrasi kependudukan, administrasi pelaporan penggunaan dana desa yang secara terbuka juga harus diumumkan pemerintah desa, pembuatan surat keputusan pengangkatan maupun pemberhentian perangkat desa dan lain-lain.
Terkhusus dalam pelayanan administratif, pemerintah desa memiliki peranan penting hampir untuk setiap sektor. Tidak saja kepengurusan adminduk yang memerlukan pengantar atau surat keterangan dari kantor desa bahkan sering ditemui untuk pengurusan dokumen perizinan, pengurusan administrasi pertanahan, pengurusan administrasi kesehatan dan pendidikan juga harus dilengkapi persyaratan tersebut.
Tantangan Pelayanan Publik di Desa
Sebagai instansi penyelenggaran layanan, tentu pemerintah desa juga harus bersiap diri. Maka pemerintah desa juga wajib menyusun dan menetapkan standar pelayanan, membuat maklumat pelayanan, menempatkan petugas/pelaksana layanan yang mumpuni atau berkompeten, menyediakan sarana/prasaran dan/atau fasilitas pelayanan publik, membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya sebagai pengguna layanan dan tentu saja juga harus memberika pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik.
Tentu tidak mudah dalam sekejap memenuhi kewajiban tersebut. Dengan segala keterbatasan tentu akan banyak tantangannya, mulai dari mindset masyarakat yang cenderung konservatif, akses informasi yang masih terbatas, pengembangan kompetensi petugas kadang sulit dilakukan karena kondisi teknis dan lain-lain.
Maka dari itu perlu adaptasi yang cepat dan reformasi birokrasi komperehensif untuk bisa menundukkan tantangan tersebut. Dan peran kepala desa menjadi sangat vital untuk bisa mewujudkan pemerintah desa sebagai penyelenggara layanan yang visioner dan inovatif. Sebagai bentuk atensi maka pemerintah pusat menganggarkan pembiayaan berupa dana desa, melakukan pengawasan dan pembinaan secara berjenjang dari pemerintah daerah hingga kementerian, bahkan pemerintah daerah hingga pusat sering mengadakan lomba desa dengan beragam kategori dan pelabelan sebagai pemantik setiap desa di Indonesia bisa menunjukkan eksistensi dan peranan penting dalam pembangunan bangsa.
Lalu, apa tantangan utama penyelenggaraan pelayanan publik pemdes? Dari banyak tantangan dan kendala maka berdasarkan pengalaman Ombudsman Babel dalam menangani laporan untuk wilayah desa, tantangan utamanya adalah kompetensi SDM pada pemerintah desa. Regulasi yang makin beragam dan perkembangan teknologi informasi menjadikan ekspektasi masyarakat desa terhadap pelayanan juga kian tinggi. Atas dasar inilah kemudian para petugas pelayanan di desa, mulai dari kepala desa, perangkat desa yang terdiri dari kepala seksi dan kepala lingkungan hingga ketua RT juga wajib memahami tugas dan fungsinya sebagai pelayan publik dan memahami segala regulasi terkait terutama dalam hal pengambilan keputusan/tindakan maupun kebijakan di desa. Sebab jika tidak sesuai regulasi maka tidak saja pelayanan yang berpotensi maladministrasi namun bisa saja digugat hingga pengadilan.
Potret Permasalahan Pelayanan Publik di Desa
Peran pemerintah desa sebagai instansi penyelenggara layanan sangat sentral maka harus pula diimbangi dengan pengembangan kompetensi para petugas layanannya. Para pengguna layanan juga akan terpenuhi hak-haknya untuk pelayanan berkualitas dengan adanya petugas yang berkompeten. Rasanya tidak mungkin kewajiban membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya sebagai pengguna layanan bisa dilakukan jika petugas layanan sendiri tidak tahu aturan terkait pelayanan publik.
Namun perlu juga dipahami bahwa masyarakat sebagai pengguna layanan pun punya peran sebagai pengawas layanan. Bentuk peran masyarakat adalah dengan membuat laporan melalui kanal aduan internal penyelenggara yang tersedia atau melalui lembaga pengawas seperti Ombudsman. Maka dari itu, pemerintah desa juga diharapkan tidak memandang aduan masyarakat sebagai sesuatu yang buruk atau negatif dan hanya mengganggu. Justru dengan aduan tersebut maka kontrol dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan bisa dilakukan.
Menurut data Ombudsman RI pada tahun 2020, permasalahan desa yang diadukan ke mencapai 286 aduan dan untuk sebaran di wilayah Babel ada sekitar 24 aduan yang masuk sampai tahap pemeriksaan, dengan instansi terlapor meliputi pemerintah desa dan BPD. Dari data juga terlihat bahwa laporan terkait pelayanan desa dalam tiga tahun terakhir terus menunjukkan peningkatan. Terhadap lingkup layanan yang dilaporkan didominasi lingkup layanan administratif.
Laporan yang sering disampaikan ke Ombudsman meliputi dugaan penyalahgunaan wewenang pemberhentian dan pengangkatan perangkat desa (sekretaris desa, kepala seksi dan kepala dusun) serta Lembaga Kemasyarakatan Desa yaitu ketua RT. Jenis permasalahan ini cenderung dilaporkan pasca pilkades selesai dilaksanakan dan bergantinya kepala desa. Sama halnya juga dengan pemilihan anggota BPD yang dilaporkan karena diduga proses pemilihannya tidak sesuai prosedur.
Untuk permasalahan lainnya yaitu, dugaan tidak memberikan layanan kepada masyarakat berupa permohonan informasi terkait proyek tertentu yang menggunakan dana desa, dugaan adanya konflik kepentingan pemerintah desa dan BPD terhadap masuknya investor ke desa dengan membuat kesepakatan tanpa musyawarah dengan masyarakat, dugaan permintaan imbalan berupa uang terhadap pelayanan surat pernyataan penguasaan fisik tanpa ada regulasi jelas yang mendasarinya, dugaan petugas yang tidak berkompeten terhadap pemberian penjelasan ke masyarakat terhadap produk layanan tertentu, dugaan penyalahgunaan wewenang aparat desa atau BPD terhadap pemberian suatu bantuan tertentu kepada masyarakat yang cenderung berpihak maupun diskriminatif, dugaan perbuatan tidak patut pejabat desa baik pada pemerintah desa maupun BPD dalam melayani masyarakat dan lain sebagainya.
Terhadap ragamnya laporan di wilayah Babel ada beberapa faktor yang kemudian membuat masyarakat desa merasa pelayanan di desa kurang maksimal, yaitu sering ditemukan bahwa belum utuhnya pemahaman penyelenggara layanan di desa terhadap regulasi yang ada, merasa superior karena menjadi pejabat di desa sehingga pelaksanaan kewenangan tidak mempertimbangkan AUPB dan asas-asas penyelenggaraan layanan publik dan tidak dilakukan pengadministrsian yang baik terhadap proses pelayanan.
Perlu atensi khusus untuk meminimalisir maladministrasi pelayanan di desa. Tanggung jawab tersebut tidak saja melekat kepada pejabat desa sebagai petugas layanan. Namun optimalisasi peran pembinaan dari pemerintah kabupaten hingga pusat sangat penting untuk mengupgrade kompetensi para petugas layanan di desa. Tentu saja terhadap teknisnya harus tetap memperhatikan adat istiadat, kearifan lokal dan kondisi desa tersebut.
Dan perlu dijadikan catatan, semakin meningkatnya aduan layanan oleh masyarakat desa maka belum tentu pelayanan di desa juga buruk karena bisa jadi ini indikator bahwa masyarakatnya sudah mulai memahami bahwa peran aktif masyarakat sangat penting demi peningkatan layanan publik. Harapan kita tentu adalah bagaimana penyelengaran pelayanan dan pengguna layanan di desa bisa sama-sama memahami tugas dan fungsinya sebagaimana Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Makin baik layanan di desa maka akan menunjukkan kualitas desanya. (MA)
#ArtikelRiksa #RiksaORIBabel #PelayananPublikDesa #LaporanDesa