Potensi Maladministrasi Pengelolaan Dana Desa
Penyelenggaraan pemerintahan desa memasuki era baru setelah disahkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014. Bila sebelumnya penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan asas desentralisasi sebagai bagian dari pemerintahan daerah, maka kini berdasarkan asas rekognisi subsidiaritas.
Dalam penjelasan UU No. 6/2014, rekognisi adalah pengakuan terhadap asal-usul, sedangkan subsidiaritas adalah penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Perbedaan lainnya adalah dahulu desa hanya sebagai obyek pembangunan oleh pemerintahan daerah, sekarang menjadi subyek pembangunan yang mengelola desa secara mandiri.
Konsekuensi sebagai subyek pembangunan yang mandiri menuntut pemerintah desa harus mampu menyusun dokumen perencanaan dan anggaran sendiri. Dokumen perencanaan pembangunan desa disusun berdasarkan aspirasi masyarakat desa melalui Musyawarah Pembangunan Masyarakat Desa.
Dalam dokumen perencanaan pembangunan desa memuat Program, kegiatan, dan kebutuhan masyarakat desa yang pendanaannya berasal dari ABPD Desa, ABPD Kabupaten/Kota, dan/atau swadaya masyarakat desa.
Dokumen perencanaan pembangunan desa menjadi dasar bagi penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD Desa). APBD Desa yang telah disusun kemudian ditetapkan oleh Kepala Desa sebagai Peraturan Desa setiap tahun berjalan.
APBD Desa dan realisasi laporan penggunaan dana desa tahap sebelumnya menjadi dokumen persyaratan untuk mendapatkan dana desa dari Kementerian terkait melalui Bupati/Walikota (Pasal 17 ayat 2 PP No. 8/2016).
Ikhwal Dana Desa
Dana desa dalam konteks ini berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2014 yakni dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk selanjutnya ditransfer ke APBDes untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat.
Target dana desa secara makro adalah untuk meningkatkan kinerja pelayanan dasar publik di daerah yang mencerminkan indikator kesejahteraan masyarakat dan menurunkan Indeks Kesenjangan Antar Daerah serta menurunkan persentasi desa tertinggal dan menaikkan persentasi desa mandiri.
Pelayanan publik dasar di desa seperti pembangunan jalan desa, pembangunan jembatan desa, akses air bersih, pembangunan sarana kesehatan (posyandu, polindes), pembangunan irigasi, pembangunan pasar desa, pembangunan tambatan perahu, dan sebagainya.
Pemanfaatan dana desa juga diarahkan untuk kegiatan perekonomian peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa melalui skema padat karya tunai yang dapat memperkuat daya beli dan meningkatkan pendapatan masyarakat desa.
Dana desa dalam APBN sejak tahun 2015 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pertama kali digulirkan pada tahun 2015 alokasi dana desa sebesar Rp 20,76 triliun dan penyerapannya mencapai 82 persen. Kemudian meningkat menjadi Rp 46,9 triliun pada tahun 2016, Rp 60 triliun (2017) dan Rp 120 triliun (2018) sementara pada RAPBN tahun 2019 mendatang mencapai Rp. 832,3 triliun.
Dana desa yang mengalir ke wilayah desa-desa di Sulsel pada tahun 2018 sebesar Rp 1,99 triliun dan telah terealisasi Rp 1,79 triliun bagi 2.255 desa. Total dana desa yang ditransfer ke 2.255 pemerintah desa sebesar Rp 5,7 triliun sejak 2015-2018. Untuk tahun 2019 mendatang, alokasi dana desa di Sulsel meningkat menjadi Rp 2,35 triliun. Ada empat kabupaten tertinggi di Sulsel penerima dana desa tahun 2019 yakni Bone sebesar Rp 337 miliar, Luwu Rp 195,24 miliar, Luwu Utara Rp 174,75 miliar dan Gowa Rp 147,62 miliar (sumber Kepala Kanwil DJPB Sulsel, Sudarmanto).
Selain dana desa yang bersumber dari APBN, sebenarnya pemerintahan desa memiliki sumber-sumber lain yang bisa digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan desa (Pasal 72 ayat 1 UU Desa) seperti pendapatan asli desa (hasil usaha, hasil asset, swadaya, partisipasi gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa), bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah, dana perimbangan yang diterima kabupaten, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan Kabupaten, hibah/sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan desa yang sah.
Potensi Maladministrasi
Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, pengertian Maladministrasi adalah tindakan atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggaran negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materil dan/atau immaterial bagi masyarakat atau orang per orang.
Bentuk-bentuk maladministrasi yang sering terjadi adalah penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, pengabaian kewajiban hukum, tindakan sewenang-wenang, penundaan berlarut, tidak memberikan pelayanan, dan tidak profesional.
Ada beberapa potensi maladministrasi dalam pengelolaan dana desa berdasarkan fakta dalam empat tahun terakhir. Potensi tersebut dapat menjadi temuan maladministrasi jika terjadi secara sistemik dan sistematis pada pemerintahan desa di seluruh Indonesia, diantaranya:
1. Penyimpangan Prosedur penggunaan dana desa
Pada awal Agustus 2017 silam, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Pamekasan, Jawa Timur. Kasus tersebut menunjukkan adanya penyimpangan prosedur penggunaan dana desa sehingga dapat menyebabkan kerugian negara dan tentu saja kerugian pada masyarakat.
Ada berbagai pengaduan terkait dugaan penyimpangan dana desa yang dilaporkan masyarakat pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2016, sebanyak 932 pengaduan masyarakat terima Kemendes PDTT, 200 pengaduan diserahkan ke KPK, 167 pengaduan diserahkan kepada kepolisian dan sisanya permasalahan administrasi. Sebanyak 67 pengaduan tersebut terbukti di pengadilan dan telah mendapat vonis hakim. Kemudian pada tahun 2017, Satgas Dana Desa yang dibentuk Kemendes PDTT telah menerima sebanyak 300 pengaduan.
Sementara hasil kajian LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) berjudul "Trend Penanganan Kasus Korupsi Tahun 2016", dana desa masuk dalam lima besar sektor yang rawan dikorupsi.
Pada tahun 2016, total dana desa dianggarkan sebesar Rp 47 triliun. Terdapat 61 kasus korupsi dalam pemerintahan desa pada tahun 2016 melibatkan 61 kepala desa dengan nilai kerugian negara Rp 10,4 miliar. Data lainnya dari ICW, hingga akhir 2017 tercatat ada 900 kepala desa yang bermasalah dengan hukum.
Seorang Pendamping Desa Pemberdayaan (PDP) menulis di sebuah media, bahwa salah satu modus operandi korupsi di desa adalah dalam pembuatan rancangan anggaran biaya (RAB) diatas harga pasar.
Cara ini dilakukan dengan melakukan kongkalikong antara aparatur dengan konsultan perencana untuk menggelembungkan harga-harga. Mark up harga berpotensi merugikan negara dan masyarakat desa sebagai penerima program.
2. Penundaan Berlarut penyaluran dana desa
Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) PP No. 08/2016, penyaluran dana desa dilakukan secara bertahap pada tahun anggaran berjalan dengan ketentuan : Tahap I pada bulan April sebesar 40 persen; tahap II pada bulan Agustus sebesar 40 persen; dan tahap III pada bulan Oktober sebesar 20 persen.
Pada kenyataannya, ada wilayah persentasi penyaluran dana justru terbalik pada tahap I 20 persen, tahap II dan tahap III masing-masing 40 persen.
Penundaan berlarut penyaluran dana desa disebabkan : (1) beberapa desa belum mendapatkan dana tahap I setiap tahun anggaran karena keterlambatan Bupati/Walikota membuat peraturan Bupati/Walikota mengenai pembagian dana desa, (2) belum membuat laporan pertanggunajawaban (LPJ) penggunaan dana tahun sebelumnya dan belum disusun APBD Desa tahun berjalan, (3) adanya kepala daerah yang sengaja menahan pencairan dana untuk keperluan politik calon petahana pilkada serentak untuk meraih aspirasi (kasus pilkada serentak tahun 2015).
3. Tidak Profesional dalam menyusun APBDes dan LPJ Penggunaan Dana Desa
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) merupakan dokumen publik yang wajib dibuat oleh pemerintah desa berdasrkan asas partisipatif, transparan dan akuntabel guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik di desa.
Perwujudannya mulai saat proses penyusunan hingga pertanggunjawaban pelaksanaan pembangunan di tingkat desa. Para pihak yang terlibat pada saat penyusunan APBDes adalah pemerintah desa (kepala desa dan perangkatnya), Badan Permusyawaratan Desa, perwakilan warga dari berbagai unsur, serta camat/bupati.
Realitas pencairan dana desa sering tertunda disebabkan penyusunan APBDes tahun berjalan serta laporan penggunaan dana desa tahun sebelumnya yang belum selesai karena kepala desa dan aparatnya kurang profesional melakukan penyusunan sesuai batas waktu yang ditetapkan.
Baru sekitar 37.000 desa yang memiliki pendamping desa dari 74.957 desa di seluruh Indonesia sehingga kapasitas sebagian pemerintah desa dalam penyusunan APBDes dan LPJ Dana Desa mengalami kendala.
4. Tidak Memberikan Pelayanan administrasi.
Permintaan informasi tentang dana desa adalah bagian dari pelayanan administrasi di pemerintahan desa. Tetapi pada umumnya pelayanan publik pada tingkat pemerintahan desa yang terkait dengan pelayanan administrasi berupa surat pengantar atau surat keterangan untuk melengkapi dokumen lainnya sebagai syarat pengurusan pada instansi yang menerbitkan perizinan atau non perizinan.
Sejumlah 19 pengaduan masyarakat pada kantor Ombudsman pada tahun 2018, mengadukan tindakan Tidak Memberikan Pelayanan yang dilakukan Kepala Desa/Kepala Kelurahan karena berbagai alasan dan motif.
Beberapa produk pelayanan administrasi pada pemerintahan desa (dan kelurahan) adalah surat pengantar untuk pengurusan yang terkait dengan identitas hukum seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Identitas Anak (KIA), Kartu Keluarga (KK), Akta Kelahiran, Akta kematian, dan surat mutasi penduduk.
Pelayanan administrasi lainnya yang terkait dengan urusan keperdataan adalah surat keterangan tanah, pengantar akta jual beli tanah. Berikutnya pelayanan adminisrtasi yang berkaitan dengan perekonomian seperti surat keterangan usaha, surat keterangan angkutan hasil bumi, surat keterangan angkutan hewan, surat keterangan tidak mampu, dan surat keterangan keluarga miskin.
Pengawasan Dana Desa
Pengelolaan dana desa memerlukan pengawasan dari berbagai pihak dan berbagai level. Setiap individu masyarakat desa dapat melakukan pengawasan.
Dalam Pasal 68 UU N0. 6/2014 tentang hak dan kewajiban masyarakat untuk mendapatkan akses dan perlu dilibatkan dalam pembangunan desa. Masyarakat desa sendiri yang dapat memantau pemanfaatan dana desa sesuai yang telah direncanakan dalam APBdes.
Secara internal, peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) perlu ditingkatkan kapasitasnya untuk melakukan pengawasan penggunaan dana desa dengan memberi pembekalan mekanisme dan prosedur pengelolaan dana desa. Pada tingkatan lebih tinggi, lembaga pengawasan di tingkat kabupaten seperti Inspektorat perlu mengambil peran besar dalam pengawasan dana desa yang dilakukan kepala desa dan aparaturnya.
Untuk dapat melakukan pengawasan, maka obyek yang diawasi (APBDes) harus disajikan secara transparan kepada masyarakat desa. Sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, untuk mewujudkan penyelenggara negara yang baik, transparan, efektif, efisien, bersih dan akuntabel. Penyelenggaraan Negara di tingkat pemerintahan desa pun perlu mewujudkan itu. (ORI-Sulsel)
*Disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) "Melawan Maladministrasi Keuangan Desa" yang diselenggarakan oleh DPD Apdesi (Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia) Sulawesi Selatan di Hotel Lynt Makassar, Jumat, 28 Desember 2018.