Potensi Maladministrasi Dalam Pelaksanaan Program Tora di Sulsel
Makassar - Nawacita pemerintahan Presiden Jokowi-JK periode 2014-2019, salah satu poinnya adalah meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program "Indonesia Pintar", serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019. Kemudian dituangkan dalam Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 tentang program Tanah Objek Reform Agraria (TORA).
Untuk melaksanakan program tersebut Presiden, mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesain Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan, yang ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.
Untuk memenuhi target tersebut, pada tahun 2018 Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengalokasikan anggaran penyelesaian TORA sebesar Rp 826 miliar. Anggaran tersebut dialokasikan untuk dapat memenuhi penyelesaian TORA Tahun 2018 seluas 1,6 juta hektare. Hingga Februari 2018, sudah tersedia dari kawasan hutan 778.621 hektare dan 2019 targetnya 1,7 hektare.
Pihak KLHK telah melakukan identifikasi kawasan hutan yang akan dilepaskan, yaitu sebanyak 4,1 juta hektare. Lokasinya tersebar di seluruh kawasan hutan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu tujuannya adalah adanya kepastian hukum atas penguasaan tanah oleh masyarakat di dalam kawasan hutan. Selain itu, TORA dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan sengketa dan konflik dalam kawasan hutan.
Tim Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
Demi mempercepat proses pelaksanaan program kegiatan tersebut, maka pemerintah membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Tim Percepatan PPTKH) dimana Menteri Koordinator Bidang Ekonomi sebagai leading sectornya, yang salah satu tugasnya adalah melakukan koordinasi teknis pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan kemudian menyusun langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan.
Dalam rangka melakukan inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan, Gubernur membentuk Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan yang selanjutnya disebut Tim Inver PTKH. Gubernur melaporkan pelaksanaan tugas Tim Inever PTKH kepada Ketua Tim Percepatan PPTKH secara berkala setiap 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu diperlukan. Tim Inver PTKH yang diketuai oleh Kepala Dinas Provinsi yang menyelenggarakan urusan bidang kehutanan.
Salah satu tugasnya adalah menerima pendaftaran permohonan inventarisasi dan verifikasi secara kolektif yang diajukan melalui bupati/walikota; melaksanakan pendataan lapangan; melakukan analisis; (1) data fisik dan data yuridis bidang-bidang tanah yang berada di dalam kawasan hutan dan/atau (2) lingkungan hidup; dan merumuskan rekomendasi berdasarkan hasil analisis dan menyampaikannya kepada gubernur.
Tahapan permohonan program TORA, mulai dari pengguna layanan atau disebut pihak (perorangan, instansi, badan sosial/keagamaan, masyarakat hukum adat yang menguasai dan memanfaatkan bidang tanah dalam kawasan hutan) sampai pada terbitnya rekomendasi oleh Gubernur adalah melalui Lurah/Kepala desa setempat, kemudian Camat setempat atau pejabat kecamatan, selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Dinas Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan urusan di bidang penataan ruang, Kesatuan Pengelolaan Hutan setempat, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Balai yang membidangi urusan perhutanan sosial, Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Badan Provinsi yang menyelenggarakan urusan dibidang Lingkungan Hidup.
Potensi Maladministrasi
Program Tora yang sudah berjalan kurang lebih 3 tahun tentu masih kekurangan, dan bahkan dapat berpotensi maladministrasi, pelbagai potensi dimaksud diantaranya; Pertama Penyimpangan Prosedur, hal ini dapat terjadi pada saat tahapan penilaian objek tanah mana saja yang akan dibebaskan dan pemanfaatannya kelak, apakah sesuai peruntukan ataukah justru dipergunakan oleh oknum-oknum pengusaha perkebunan.
Kedua, Permintaan uang/pungli. Adanya potensi permintaan uang kepada masyarakat oleh oknum-oknum tertentu baik ditingkat desa, kecamatan maupun oknum-oknum instansi lain yang membantu memuluskan urusan program ini. Ketiga, Pengabaian Kewajiban Hukum, Adanya pengabaian kewajiban Hukum, hal ini dapat terjadi jika pelaksana pada masing-masing instansi tidak melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Dengan segala kekurangan dan potensi maladministrasi yang diuraikan secara singkat, tentu publik berharap, agar para pemangku kebijakan dapat melakukan evaluasi terhadap efektifitas pelaksanaan program TORA, sehingga masyarakat betul-betul dapat merasakan manfaat sebagaimana yang direncanakan sejak awal. (ORI-sulsel)