• ,
  • - +

Artikel

Politisasi Bantuan Sosial
ARTIKEL • Jum'at, 22/05/2020 • Noorhalis Majid
 
Noorhalis Majid, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Prov. Kalsel

Banjarmasin -

"Banyak yang mengeluhkan telah terjadi politisasi bantuan sosial (Bansos)", ujar Noorhalis Majid, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kalsel saat membuka diskusi virtual tentang Politisasi Bantuan Sosial, Kamis 21 Mei 2020. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Ombudsman RI Perwakilan Kalsel dengan menghadirkan Ketua Bawaslu Provinsi Kalsel, Erna Kasypiah; Ketua KPU Provinsi Kalsel, Sarmuji; dan Pengamat Politik, Prof. DR. Budi Suriadi yang diikuti lebih dari 60 peserta diskusi.

"Bentuk politisasi tersebut adalah dengan menempel foto petahana pada sampul Bansos yang diberikan, baik pada karung beras, disinfektan, maupun bantuan lainnya. Bagaimana fenomena ini dalam kacamata etik dan hukum?" tanya Noorhalis kepada para narasumber serta peserta yang hadir dalam diskusi.

"Ini fenomena lama dan sangat merugikan perkembangan demokrasi politik kita", jelas Prof DR. Budi Suriadi. "Bahkan ada 5 kerugian masyarakat, yaitu; pertama, terjadi penyimpangan modal sosial karena kita kehilangan pendidikan politik; kedua, memunculkan kecemburuan sosial; ketiga, bakal calon lain dirugikan; keempat, muncul perasangka, melahirkan politik negatif, bahkan curiga pada penyelenggara; kelima, menggerus kepedulian sosial", lanjutnya.

Ia menambahkan bahwa semua hal ini memang merupakan wilayah etika yang harus dikelola oleh penyelenggara pemilu. Dalam hal ini KPU dan Bawaslu.

Sementara itu, ketua KPU Provinsi Kalsel, Sarmuji, mengatakan bahwa soal politisasi itu wilayah etika dan menjadi tanggungjawab masyarakat. Karena KPU hanya berwenang pada soal teknis administrasi penyelenggaraan Pemilu sehingga tidak banyak yang bisa dilakukan KPU, kecuali sebatas tahapan Pemilu yang sudah baku. Sementara yang disangkakan melakukan politisasi, statusnya masih bakal calon, sehingga tidak ada instrumen hukum dan administrasi yang bisa menjeratnya.

Erna Kasypiah, Ketua Bawaslu Kalsel menyampaikan bahwa pihaknya sudah memasang banyak spanduk tentang himbauan agar tidak mempolitisasi Bansos sebagai bagian dari pendidikan politik. "Bisanya hanya menghimbau karena tahapan Pilkada belum ada. Kapan Pilkada dilaksanakan, belum diputuskan KPU. Kalau sudah ditetapkan, baru tarik mundur 6 bulan. Saat itulah tahapan dimulai", ujar Erna.

"Kalau Pilkada dilaksanakan pada bulan Desembar 2020, maka akan banyak ditemukan penyalahgunaan kewenangan terkait situasi Covid-19 hari ini. Secara teknis juga akan banyak ditemui kesulitan. Verifikasi syarat dukungan juga sulit dilakukan, karena harus mendatangi langsung. Belum lagi soal tata cara prosedur. Logistik juga belum siap. Dan yang paling utama, rasa aman. Karena pemerintah harus menjamin rasa aman dalam penyelenggaraan Pemilu. Dalam situasi Covid-19 seperti ini, tentu sulit menjamin rasa aman", jelas Erna lagi.

Erna juga memaparkan sejumlah aturan terkait larangan bagi para calon, terutama kepada petahana. Diantaranya adalah dilarang membuat keputusan yang menyinggung calon lain. Dilarang mengganti pejabat dan dilarang menggunakan kewenangan. Dilarang membuat keputusan yang menguntungkan dirinya, dan berbagai larangan lain. Namun karena tahapan belum ada, maka sulit mengatakan bahwa telah terjadi pelanggaran. Kalau sudah masuk tahapan, maka semua itu justru merugikan calon bersangkutan.

Dalam kesempatan ini para pesera diskusi juga menyampaikan tanggapannya. Antara lain dari Subhan di Kaltim, Syahroni di Jakarta, Nucholis di Martapura, Zaki di Kandangan, Suriani Shiddiq di Martapura, Gafuri di Kotabaru, Rasyidi di Tanah Laut, Rusdy di Kotabaru, Fathurrahman di Barabai. Semuanya menyayangkan terjadinya politisasi Bansos, karena hal tersebut berarti menari-nari di atas penderitaan masyarakat. Betul bahwa masyarakat membutuhkan Bansos, tapi jangan pula ditunggangi kepentingan politik jangka pendek yang hanya menguntungkan diri sendiri.

DR H. Bachruddin Ali Achmad, Dosen Senior FISIP ULM juga turut menyampaikan pendapatnya. Ia mengatakan bahwa politisasi Bansos merupakan wilayah etik. "Semestinya para bakal calon tahu bahwa etik itu di atas hukum, mestinya lebih dipatuhi dari pada hukum itu sendiri. Maka publik dapat menilai, pemimpin mana yang tidak memperhatikan etik", jelasnya.

Prof. Budi Suriadi juga menegaskan bahwa seorang kepala daerah yang melanggar etika politik, seharusnya sudah dapat dilaporkan ke pusat, baik kepada Bawaslu ataupun ke partai pendukungnya. "Kita berharap penyelenggara tidak semata berpandangan positivisme, Bawaslu harus terus menjaga maruahnya, agar Pemilu tetap berwibawa, karena itu semua orang harus menjaga etika", tutupnya.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...