Policy Brief Sebagai Terobosan Pencegahan Maladministrasi

Kerja pencegahan maladministrasi di Ombudsman umumnya dilakukan melalui dua pendekatan utama:Systemic Review (SR) danRapid Assessment (RA). Keduanya berfungsi sebagai kerangka kajian untuk mengidentifikasi masalah dalam sistem pelayanan publik. SR menyasar analisis menyeluruh yang bersifat struktural, sementara RA menjawab kebutuhan kajian cepat terhadap isu pelayanan yang berkembang pesat.
Namun, pendekatan SR/RA sering kali tidak cukup lincah dalam menghadapi dinamika pelayanan publik yang terus berubah. Isu-isu seperti digitalisasi layanan, regulasi diskriminatif, dan eksklusi kelompok rentan membutuhkan respons yang lebih fleksibel dan cepat. Dalam banyak kasus, kebutuhan intervensi datang lebih cepat dari kemampuan struktur administratif untuk menanganinya.
Setiap tahunnya Ombudsman hanya menghasilkan sekitar 41 produk SR/RA, masing-masing satu dari tiap perwakilan Ombudsman provinsi dan tujuh Keasistenan di pusat. Padahal, menurut SIPPN KemenPAN-RB, terdapat lebih dari 135.000 layanan publik di 97.000 unit penyelenggara pelayanan di seluruh Indonesia. Dengan kapasitas yang ada saat ini, dibutuhkan paling tidak tiga milenium atau 3.000 ribu tahun untuk menjangkau seluruh unit layanan secara sistemik. Maka, dibutuhkan pendekatan baru yang adaptif, responsif, dan tetap kredibel secara kelembagaan.
Di sinilah pentingnyapolicy brief sebagai bentuk terobosan pencegahan maladministrasi. Berbeda dari SR/RA yang membutuhkan proses panjang,policy brief merupakan dokumen singkat, tajam, dan berbasis data yang bisa disusun dengan cepat untuk mengidentifikasi dan menjelaskan masalah pelayanan publik, memberikan analisis dan pilihan solusi kebijakan, dan mengadvokasi perubahan sistem atau kebijakan kepada instansi terkait.
Namun policy brief hingga kini belum diakui sebagai produk administratif resmi Ombudsman. Ini membuatnya berada di ruang abu-abu, digunakan, tapi tidak tercatat sebagai hasil kerja kelembagaan yang sah. Ke depan, Ombudsman perlu mengadministrasikan policy brief sebagai bagian dari sistem kerja pencegahan, mencatatnya dalam laporan kinerja kelembagaan, dan mendorong penggunaannya dalam komunikasi kebijakan kepada instansi publik, baik pusat maupun daerah.
Dengan langkah ini,policy brief tidak hanya menjadi alat advokasi, tapi juga instrumen kelembagaan yang memperluas jangkauan pengaruh Ombudsman terhadap desain layanan publik. Jika SR dan RA adalah fondasi kajian sistemik, makapolicy brief adalah jembatan pengaruh kelembagaan dalam merespons isu kebijakan secara langsung. Dalam era pelayanan publik yang serba cepat dan digital,policy brief adalah bentuk adaptasi strategis Ombudsman untuk tetap relevan, progresif, dan berdampak.