Polemik BLT Dana Desa
Desa merupakan unit terkecil dalam sistem pemerintahan. Namun desa memiliki fungsi yang sangat besar misalnya untuk menyangga perekonomian masyarakat. Akan tetapi, pada masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, desa merupakan salah satu yang paling rentan terkena dampak. Bahkan apabila dibiarkan, maka akan mengganggu perekonomian negara. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa meskipun terlihat kecil, namun peranannya sangat besar terutama dalam pelayanan publik. Sehingga urgensitas penguatan masyarakat desa sangatlah penting untuk dilakukan pada kondisi saat ini. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.
Peraturan tersebut memuat tentang pencegahan dan penanganan salah satunya terkait dengan bencana nonalam. Bencana nonalam yang dimaksud adalah pandemi Covid-19 dengan penanganannya menggunakan dana desa. Adapun kegiatan pencegahan dan penanganan tersebut dengan membentuk Relawan Desa Lawan Covid-19 yang notabene terdiri dari unsur pemerintahan desa, tokoh masyarakat, pendamping pada berbagai program desa, maupun mitra, seperti bhabinkamtibmas dan babinsa. Kemudian, salah satu tugas Relawan Desa Lawan Covid-19 yang saat ini menjadi "big problem" adalah tentang pendataan penduduk yang berhak menerima manfaat atas berbagai kebijakan terkait jaring pengaman sosial dari pemerintah pusat maupun daerah, baik yang telah maupun yang belum menerima. Adapun hal tersebut sangat berkaitan erat dengan BLT-Dana Desa yang sampai saat ini menjadi polemik dan mendominasi laporan pada Posko Pengaduan Daring bagi Masyarakat Terdampak Covid-19 oleh Ombudsman RI.
Evaluasi dan Solusi dari Polemik BLT Dana Desa
Pada dasarnya, pemerintah melalui kebijakan Permendes dan PDTT Nomor 6 Tahun 2020 memiliki tujuan yang sangat baik dalam menyelamatkan ketahanan dan ketidakberdayaan masyarakat desa melalui BLT Dana Desa dalam penanganan Covid-19. Kurang lebih sudah dua bulan BLT Dana Desa dilaksanakan, namun berbagai dinamika dan permasalahan menyelimuti program tersebut. Kenyataan di lapangan masih ada penyimpangan atau maladministrasi yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Pertama, evaluasi terkait dengan pendataan yang notabene sebagai hal paling krusial dan menjadi masalah dalam pelaksanaannya. Adapun data tersebut antara lain data DTKS dari Kementerian Sosial maupun data non DTKS yang dilakukan mulai dari pemerintahan desa. Kelemahan data DTKS yang cenderung tidak update sehingga Relawan Desa harus bekerja ekstra untuk mencocokkan kembali data dari tingkat RT, RW maupun desa terkait belum atau sudah sesuai dengan keadaan sebenarnya untuk menghasilkan data non DTKS yang valid. Padahal apabila data tersebut valid dan terintegrasi dengan baik, maka BLT Dana Desa dapat tepat sasaran dan mampu mengentaskan kemiskinan serta mengurangi ketimpangan (International Labour Organization, 2004; Barrientos, 2010; World Bank, 2017). Berdasarkan hal tersebut pendataan merupakan hal yang paling menentukan terhadap ketepatan sasaran penerima dan keberhasilan BLT Dana Desa.
Kemudian yang kedua terkait pendataan di tingkat desa atau data non DTKS yang meliputi pendataan orang miskin baru yang belum efektif karena kekeliruan dalam memahami kriteria penerima bantuan. Padahal kriteria tersebut jelas tercantum dalam Permendes dan PDTT Nomor 6 Tahun 2020 antara lain warga miskin yang kehilangan mata pencaharian, warga miskin belum terdata (exclusion error), dan warga miskin yang mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun atau kronis. Kemudian, kurang objektifnya pendataan tersebut yang menyebabkan penerima cenderung merupakan orang-orang terdekat pemerintah desa. Bahkan ditemukan Relawan Desa tercatat sebagai penerima BLT Dana Desa. Adanya dominasi pemerintahan desa, baik BPD maupun Pemerintah Desa menyebabkan terjadinya maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang. Padahal, sebagai wakil masyarakat desa dan pelaksana tugas pemerintahan desa seyogianya tidak boleh super power sehingga mengambil hak-hak masyarakat yang membutuhkan. Selain itu, berdasarkan aturan jelas mengatur tentang pemerintah desa tidak boleh mendapatkan BLT Dana Desa karena sudah memiliki penghasilan tetap dari gaji.
Ketiga, kurang transparannya hasil pendataan non DTKS. Selain pendataan yang kurang efektif, transparansi data juga menjadi permasalahan penting yang patut disorot. Banyak masyarakat yang mengeluhkan namanya tidak terdata padahal berhak menerima bantuan. Begitupun sebaliknya, banyak masyarakat yang terdata padahal tidak berhak menerima bantuan. Seharusnya, hasil pendataan non DTKS dapat disosialisasikan kepada masyarakat dengan cara publikasi nama-nama penerima BLT Dana Desa di Kantor Desa bahkan Kecamatan. Dengan begitu, masyarakat dapat memberikan respon terkait nama-nama yang berhak maupun tidak berhak untuk menerima BLT Dana Desa. Sehingga sebelum dilakukan musyawarah desa, telah ada masukan dan perbaikan terkait data penerima tersebut.
Di sisi lain, terdapat best practice yang telah dilakukan oleh sejumlah desa di berbagai daerah seperti Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Tegal Provinsi Jawa Tengah, dan Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur yang sudah transparan terkait data penerima dengan memampang data tersebut di papan pengumuman desa, bahkan kecamatan, dan sarana-sarana publik yang strategis. Bahkan, membuka sarana pengaduan baik online maupun telepon yang dipasang di spanduk. Sehingga masyarakat memiliki akses yang lebih mudah untuk melaporkan dirinya maupun tetangga ataupun kerabat melalui sarana pengaduan tersebut. Inilah yang patut dicontoh oleh desa-desa lain agar transparansi terkait BLT Dana Desa dan bantuan sosial lainnya dapat terwujud.
Selanjutnya yang keempat adalah terkait informasi seputar BLT Dana Desa. Perlu disadari bahwa pemahaman masyarakat desa tentang BLT Dana Desa sangatlah minim. Oleh karena itu, peran pemerintah desa adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui sosialisasi terkait maksud, tujuan, mekanisme, kriteria sasaran, dan nominal yang diperoleh penerima BLT Dana Desa. Adapun sosialisasi tersebut dapat dilakukan secara formal melalui rapat maupun penyebaran brosur atau poster di papan pengumuman desa maupun tempat-tempat strategis lainnya. Sehingga dengan begitu transparansi dan partisipasi masyarakat dapat terwujud sehingga kecemburuan sosial, suudzon kepada pemerintah desa, dan pemotongan nominal BLT Dana Desa oleh pemerintah desa dapat diminimalisasi sehingga penyaluran BLT Dana Desa menjadi adil serta tepat sasaran.
Selain informasi seputar BLT Dana Desa, yang kelima adalah sarana pengaduan masyarakat terkait BLT Dana Desa. Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik dijelaskan bahwa penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan. Sehingga urgensitas dalam menyediakan sarana pengaduan terkait BLT Dana Desa sangatlah besar. Selain itu, tujuan dari pengelolaan pengaduan adalah untuk meminimalisasi adanya maladministrasi berupa pungutan liar, penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, tidak memberikan pelayanan bahkan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Ombudsman dalam Mengawal Penyaluran BLT Dana Desa
Berdasarkan temuan Ombudsman RI khususnya Perwakilan Kepulauan Bangka Belitung, proses pendataan merupakan proses awal dan paling menentukan agar pendistribusian BLT Dana Desa dapat berjalan efektif dan tepat sasaran. Namun, pada proses ini pula diperlukan kesadaran dari masyarakat agar lebih legowo untuk tidak menerima bantuan apabila dirasa mampu. Bahkan, Relawan Desa yang notabene mayoritas sebagai pemerintah desa sebaiknya tidak ikut menerima bantuan tersebut.
Kemudian, dari sisi Pemerintah Daerah melalui bupati selaku Pembina serta OPD terkait bahkan Inspektorat Daerah selaku pengawas memiliki tugas dalam memonitor dan mengevaluasi pemerintah desa dalam pelaksanaan BLT Dana Desa mulai dari pendataan sampai pendistribusian kepada penerima. Adapun pengawasan tersebut bertujuan agar ke depannya setiap penyaluran bantuan sosial dapat berjalan efektif dan efisien. Selain itu, Pemda memiliki kewajiban dalam membina dan mengedukasi pemerintah desa agar dalam pelaksanaan BLT Dana Desa minim maladministrasi. Selanjutnya, langkah konkret agar maladministrasi dapat diminimalisasi adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Bupati terkait kriteria yang berhak dan tidak berhak menerima bantuan serta nominal bantuan tersebut. Adapun pada Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Bangka Belitung, hal tersebut sudah dilakukan sehingga Inspektorat Daerah mengeluarkan surat himbauan agar maladministrasi dapat diantisipasi.
Selanjutnya adalah pengadaan sarana pengaduan untuk masyarakat. Hal tersebut akan mempermudah komunikasi dan koordinasi antar instansi terkait serta check and balance antara penyelenggara dan penerima pelayanan publik. Dengan kata lain, partisipasi masyarakat sangatlah penting. Sehingga masyarakat dihimbau jangan takut untuk menyampaikan keluhannya apabila terjadi kekeliruan bahkan maladministrasi pada pelaksanaan BLT Dana Desa karena hak-haknya untuk mengadu dilindungi oleh undang-undang.
Selain itu, yang terakhir dalam kaitannya dengan fungsi Ombudsman RI maupun perwakilan, yaitu pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan pengaduan kepada masyarakat. Diharapkan masyarakat dapat menyampaikan keluhan kepada Ombudsman ketika aduannya oleh pemerintah desa maupun instansi terkait tidak diindahkan. Fungsi Ombudsman sebagai pengawas memiliki tugas dalam mengawal pelaksanaan BLT Dana Desa serta memberikan saran dan solusi apabila masih ada hal-hal yang merujuk pada maladministrasi (magistrature of influence). Dengan begitu, diharapkan dalam pelaksanaan BLT Dana Desa maupun bantuan sosial lainnya tidak terjadi lagi maladministrasi. (MS)