• ,
  • - +

Artikel

Polemik ‘Bimbel’ di Sekolah
• Selasa, 07/01/2020 • Zayanti Mandasari
 

Memasuki tahun 2020, khususnya bulan Maret s.d Mei, merupakan momen yang menjadi penentu bagi setiap siswa/i yang duduk di kelas 3 baik SMP/SMA/SMK dan juga kelas 6 SD. Bagaimana tidak, di bulan tersebut mereka akan menghadapi UN. Menghadapi hal tersebut, bukan hanya para siswa/i yang merasa harus melakukan persiapan maksimal jauh hari, namun orangtua siswa/i juga jauh lebih semangat demi melihat anaknya sukses UN.

Oleh karena itu, orangtua murid mencoba berkolaborasi dengan pihak sekolah, karena pihak sekolah juga berkepentingan untuk meningkatkan kompetensi akademik kelulusan UN siswanya. Sehingga pihak sekolah dan orangtua siswa melalui komite menggagas rencana melaksanakan bimbingan belajar (bimbel) di sekolah.

Rencana bimbel tersebut nampaknya belum diamini oleh beberapa orangtua/wali siswa/i sehingga mencuat ke permukaan dan kemudian ramai menjadi pemberitaan di media massa. Seperti yang terjadi di salah satu SMP di Banjarbaru misalnya, beberapa orangtua 'curhat' ke media masa, dengan melontarkan ketidaksetujuannya terhadap rencana pelaksanaan bimbel, yang menurutnya berbiaya mahal di sekolah.

Yang menjadi persoalan selanjutnya, apakah ketidaksetujuan orangtua/wali tersebut salah? Apakah orangtua/wali tersebut tidak peduli pada tingkat kompetensi kelulusan UN anaknya? Ya, biasanya dengan isu pendidikan yang semacam ini, pasti 'tudingan' ditujukan bagi orangtua/wali yang kurang sepakat dengan hal-hal tersebut. Padahal tak sepenuhnya salah. Bagaimana jika saja pertanyaannya dibalik, mengapa harus ada bimbel di sekolah, apakah guru mengajar di jam pelajaran sesungguhnya tidak maksimal? Apa bedanya guru mengajar di bimbel sekolah dan di kelas? Apakah ada materi yang berbeda, mengapa demikian? Apakah dibenarkan jika guru yang notabene Apatur Sipil Negara menetapkan tarif dan/atau menerima bayaran bimbel di lingkungan sekolah? Bukankah area sekolah memang diperuntukkan untuk belajar, mengapa siswa harus membayar untuk bimbel?

Legalitas Bimbel di Sekolah

Menjadikan bimbel sebagai sarana pendukung anak dalam meraih nilai akademik yang diharapkan bukan suatu hal yang 'dilarang', bahkan menjadi nilai tambah bagi anak, khususnya terhadap tingkat kepercayaan diri dalam menghadapi berbagai ujian, baik ujian sekolah maupun UN. Namun yang menjadi soal adalah bimbel dilakukan oleh sekolah, dimana siswa harus membayar dengan tarif tertentu yang ditetapkan, dengan guru yang sama pula.

Bukan hanya nominal bayaran bimbel yang mendapatkan respon dari orangtua siswa, namun bimbel di sekolah tersebut juga sempat menjadi perhatian KPK di tahun 2018. Bagaimana tidak, nominal yang ditentukan saja sudah mengarah pada 'pungutan' yang notabene tidak boleh dilakukan sekolah, tanpa adanya perencanaan dan pertanggungjawaban yang jelas, apalagi yang menyelenggarakan/menginisiasi komite sekolah, hal ini jelas melanggar ketentuan.

Menurut KPK, pemberian bimbel tersebut berpotensi menjadi konflik kepentingan, karena bimbel diberikan oleh guru tersebut juga memberi nilai bagi siswanya di sekolah. Sehingga peluang conflict of interest tersebut terbuka lebar. Lantas apakah dengan larangan tersebut guru tidak boleh memberikan bimbel kepada siswa? Tentu saja masih diperkenankan, dengan catatan jika tetap ingin memberikan bimbel sebagai bentuk pengabdian dan kepedulian terhadap pendidikan siswa, guru boleh memberikannya kepada siswa di sekolah lain (bukan tempat guru mengajar), hal ini lebih patut, karena guru tersebut tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan nilai kepada siswa, karena berlainan sekolah.

Tak hanya KPK, sesungguhnya pemerintah secara tersurat 'mengamini' pelarangan tersebut jauh sebelumnya, seperti yang terlihat pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, spesifik menentukan kepada pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, untuk memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan. Dilanjutkan pada Pasal 198, selain pendidik dan tenaga kependidikan, Dewan Pendidikan dan/atau komite sekolah/ madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, juga dilarang untuk memungut biaya bimbingan belajar atau les dari peserta didik atau orangtua/walinya.

Larangan tersebut tentu didasari pada prinsip pendidikan yang diusahakan tidak memberatkan peserta didik/orangtua. Karena negara 'berani' menjamin penyelenggaraan pendidikan bahkan tak segan mengalokasikan banyak anggaran khusus untuk kemajuan bidang pendidikan di Indonesia. Sehingga kegiatan bimbel dengan memungut bayaran dengan jumlah tertentu kepada peserta didik patut dipertanyakan dan dijelaskan, baik oleh guru yang memberi bimbel, komite sekolah yang menentukan jumlah bayaran, dan tentunya pihak sekolah, karena bimbel tersebut berlangsung di sekolah.

Catatan Penyelenggaraan Bimbel di Sekolah

Tak hanya sekali dua kali laporan masyarakat masuk ke Ombudsman RI Kalsel perihal pungutan sejumlah uang untuk kegiatan Bimbel disekolah. Hal ini membuat penulis penasaran. Apakah kualitas pendidikan pada jam belajar sesungguhnya masih kurang maksimal ataukah seperti apa. Jika yang memberikan materi adalah guru yang sama dengan pelajaran yang sama pula di kelas, lantas apa bedanya dengan proses belajar mengajar di jam sekolah? Apakah hal ini nantinya, tidak menjadi salah satu 'penghambat' guru dalam memberikan pembelajaran yang maksimal di kelas, karena berorientasi pada bimbel, setelah selesai jam pelajaran di sekolah.

Hal lain yang menarik dari laporan tentang Bimbel, seperti yang terjadi di salah satu sekolah yang berada si Kabupaten Barito Kuala, dimana pihak sekolah dan komite membatalkan rencana bimbel di sekolah pasca dilaporkan ke Ombudsman. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya keberatan dari beberapa orangtua siswa dengan jumlah biaya yang ditentukan, kemudian merasa keberatan, karena merasa waktu anak terlalu diforsir untuk belajar seharian. Lantas orangtua mempertanyakan proses belajar mengajar di kelas yang sesuangguhnya dan menyarankan memaksimalkan proses belajar menagajr di kelas saja kepada pihak sekolah.

Bimbel di sekolah juga menghampiri sekolah di Kota Banjarbaru, yang kemudian ramai menjadi pembahasan dan polemik di masyarakat. Saat dimintai klarifikasi, Kepala Dinas Pendidikan juga menyampaikan kepada Kepala Sekolah untuk melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap pembelajaran intrakurikuler, apakah sudah berjalan dengan optimal, kemudian masalah beban kerja para guru dalam menyampaikan pembelajaran apakah sudah maksimal, dan terakhir agar dalam membuat kebijakan harus menggunakan prinsip kehati-hatian bahwa partisipasi orangtua/wali adalah dalam bentuk sumbangan bukan pungutan.

Beberapa gambaran pelaksanaan bimbel di atas, hanya sebagai gambaran realita dan hukum yang berlaku dalam dunia pendidikan. Tentunya penulis sepakat, jika kualitas pendidikan yang baik akan berdampak pada masa depan anak nantinya. Orangtua sebagai masyarakat, juga perlu berperan aktif dan berkontribusi untuk peningkatan kualitas pendidikan. Namun perlu diberikan perhatian bahwa upaya untuk mencapai kualitas tersebut juga tidak dibenarkan diperoleh dengan cara yang menyalahi ketentuan yang berlaku.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...