Perlindungan HAM di Era Digital dalam Perspektif Pelayanan Publik

Hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang melekat pada setiap individu sejak kelahirannya, namun tidak dapat dimungkiri bahwa konsepsi terhadap hak asasi manusia terus berkembang mengikuti kehidupan sosial masyarakat. Misalnya pada fase awal konsep hak asasi manusia, dapat dipelajari dari Piagam Madinah yang dicetuskan oleh Nabi Muhammad SAW pada 622 Masehi untuk mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat Madinah meskipun berbeda suku, bangsa, dan agama. Begitu juga dengan konsep hak asasi manusia di dunia barat yang dikenal melalui Magna Charta Libertatum tahun 1251 dan Habeas Corpus tahun 1679 yang pada intinya mengatur tentang hak-hak pemidanaan seperti larangan untuk melakukan penahanan serta penyitaan secara sewenang-wenang.
Pemahaman terkait hak asasi manusia semakin berkembang ketika seorang filsuf ternama, John Locke (1632-1704) mulai memperkenalkan teori kontrak sosial yang pada intinya menyatakan bahwa persamaan kedudukan setiap manusia di hadapan hukum. Konsep dari John Locke kemudian dimasukkan ke dalam Bill of Rights (1689) yang memberikan hak kepada setiap warga negara berupa hak untuk hidup, hak milik pribadi, dan hak mendapatkan kesejahteraan. Dari perkembangan inilah yang menandakan hak asasi manusia masuk ke dalam konstitusi sehingga hak asasi manusia kerapkali disebut juga sebagai hak konstitusional.
Di Indonesia, hak asasi manusia diatur di dalam konstitusi sejak amandemen kedua tahun 2000. Secara filosofis terdapat dua landasan universal yang mendasari mengapa hak asasi manusia perlu dituangkan di dalam konstitusi UUD 1945. Pertama, karena prinsip demokrasi yang menghendaki adanya hak otonom terhadap diri dan data diri. Kedua, berkaitan dengan adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang di dalamnya menjamin hak-hak sipil salah satunya adalah hak privasi.
Perlindungan atas hak privasi dan data diri sangat bertautan dengan perkembangan teknologi informasi di era digital. Sebab, era digital atau yang sering disebut sebagai era post-truth banyak diisi dengan informasi yang tidak benar (hoax), cyber bullying, cyber fraud, cyber stalking. Bahkan lebih para lagi di era digital data pribadi sering diperjualbelikan, informasi tentang identitas diri sering disalahgunakan baik untuk kejahatan kriminal maupun untuk penipuan seperti peminjaman online.
Berdasarkan pengalaman Ombudsman, beberapa kasus perlindungan data pribadi yang pernah ditangani sesuai Laporan Masyarakat (LM) adalah LM (2018) pelapor keberatan atas penolakan pemberian Call Data Record (CDR) atau nomor telepon seluler pelapor oleh PT Telkomsel Regional Sumatera Bagian Tengah. LM (2021) belum adanya penyelesaian oleh PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk terhadap pengaduan penyalahgunaan data pelapor untuk langganan internet Indihome tanpa sepengatahuan dan persetujuan pelapor. LM (2023) dugaan perbuatan tidak kompeten yang dilakukan oleh Grapari Telkomsel Jambi terkait penyelesaian keluhan pelapor mengenai tidak adanya perlindungan data konsumen yang dilakukan oleh Grapari Telkomsel yang mengakibatkan data pelapor diretas oleh pihak tidak bertanggung jawab. LM (2023) pelapor mengeluhkan pengelolaan pengaduan oleh Telkomsel yang tidak dapat menyelesaikan permasalahan pelapor terkait penyalahgunaan data pelapor oleh Pihak Lain. LM (2023) pelapor mengeluhkan web-web milik pemerintah yang sering mengalami kebocoran data/bermasalah sehingga membuat pelapor tidak yakin untuk memberikan data diri dan email saat dimintai.
Selain itu, Litbang Kompas juga merilis bahwa pada tahun 2020 Sebanyak 1,2 juta data penggunan Bhineka.com diduga bocor dan diperjualbelikan di Dark Web. Sekitar 890.000 data nasabah teknologi finansial Kreditplus bocor dan dijual di Raidforums. Sedangkan pada 2021, data pribadi sekitar 130.000 penggunan Facebook di Indonesia diduga bocor dan disebarluaskan di sebuah situs peretas amatir. Data ratusan juta anggota BPJS Kesehatan diduga diretas dan dijual di forum Raidforums dengan harga sekitar Rp 84 juta. Sebanyak 2 juta data nasabah perusahaan asuransi BRI Life diduga bocor, bahkan diperjualbelikan di dunia maya (Kompas, 2021).
Rentetan persoalan di atas bisa saja terjadi kembali di masa depan dalam bentuk yang berbeda dan korban yang berbeda karena cepatnya perkembangan teknologi informasi memaksa setiap orang untuk beradaptasi menggunakan internet sebagai sebuah kebutuhan. Melansir data statista (2024) pengguna internet di dunia mencapai 5.52 milliar atau setara 67.5% dari total populasi penduduk dunia. Di Indonesia, pengguna internet pada Februari 2024 berdasarkan hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencapai 221,5 juta jiwa dari total penduduk 278,69 (Badan Pusat Statistik, 2023). Jumlah tersebut menunjukkan bahwa 79,5% penduduk Indonesia menggunakan internet.
Melihat banyaknya pengguna internet dan berbagai kasus tentang perlindungan hak privasi dan data diri yang telah terjadi maka pada era digital konsepsi tentang hak asasi manusia yang dipelopori oleh John Locke tidaklah cukup. Terutama konsep mengenai hak asasi yang berkaitan dengan perlindungan hak atas privasi, hak atas informasi, hak atas data identitas diri, dan hak atas otoritas diri/bentuk fisik. Sebab, perkembangan teknologi dan informasi telah mengubah batas-batas interaksi antara sesama manusia. Sehingga diperlukan perlindungan yang lebih komprehensif terhadap hak asasi manusia di era digital agar memberikan rasa nyaman kepada setiap individu untuk dapat berinteraksi dan mengakses informasi secara digital.
Di Indonesia, ketentuan mengenai perlindungan atas hak-hak tersebut diatur di dalam UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang memuat tentang larangan bagi siapa saja yang mengumpulkan, menggunakan, memanipulasi, mengungkapkan, dan memanfaatkan data pribadi orang lain untuk keuntungan diri sendiri serta merugikan orang lain. Secara bersamaan perlindungan atas hak privasi dan data diri juga menjadi bagian dari tanggung jawab Ombudsman RI, hal ini berdasarkan pada Pasal 5 ayat 2 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik bahwasanya komunikasi dan informasi publik merupakan bagian dari ruang lingkup pelayanan publik. Pasal tersebut menjadi penegasan bahwa Ombudsman memiliki kewenangan untuk mengawasi adanya dugaan maladministrasi atas penyalagunaan data pribadi. Artinya, sanksi atas pelanggaran hak asasi kepemilikan data pribadi tidak hanya berdasarkan pada UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, namun pelanggaran tersebut juga dapat ditinjau dari UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI serta UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sebab, hak asasi manusia harus dipenuhi dan dilindungi melalui tata kelola pelayanan publik yang baik, adil dan bermartabat.