Perihal Pungutan Liar
"Saya tidak main-main dengan pungutan liar, walau hanya Rp 10.000 pun kita tindak tegas". Demikian pernyataan presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan menyikapi maraknya pungutan liar di Indonesia. Presiden menyadari betul, betapa pungutan liar birokrasi kita telah merusak sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga perlu upaya pemberantasan secara tegas, terpadu, efektif, efisien dan mampu menimbulkan efek jera. Pungutan liar adalah Pungutan yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan pribadi oknum petugas dan atau bertujuan kepentingan tertentu individu, masyarakat terhadap uang negara dan atau anggota masyarakat yang dipungut secara tidak sah. Istilah lain yang digunakan ditengah masyarakat adalah uang sogokan, uang pelicin atau salam tempel. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar adalah wujud keseriusan Presiden memberantas pungutan liar (pungli). Satuan tugas ini terbentuk di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia beranggotakan lintas instansi dan diberikan tanggung jawab untuk membangun sistem pencegahan dan pemberantasan pungutan liar, melakukan pengumpulan data dan informasi dari kementrian/lembaga terkait, mengkoordinasikan, merencanakan, dan melakukan operasi pemberantasan pungutan liar, melakukan operasi tangkap tangan dan memberikan rekomendasi kepada pimpinan kementrian/lembaga/daerah untuk memberi sanksi kepada pelaku pungli. Alhasil, secara nasional telah dilakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) sebanyak 15.323 dengan tersangka sebanyak 24.216 orang dan barang bukti sebanyak Rp.321.864.773.832. Ada sms pengaduan sebanyak 23.534 kali, 36.951 surat, call centre, web, email dan pengaduan langsung.
Pungutan Liar di NTT
Sebagai anggota tim satuan tugas sapu bersih pungutan liar Pemerintah Provinsi NTT dan Kota Kupang, saya kerap ikut bersama instansi lain menggelar rapat tim guna membahas berbagai persoalan terkait pencegahan dan penindakan pungli di NTT. Meski tim satgas masih terseok-seok karena berbagai keterbatasan sarana dan anggaran, setidaknya sejak 29 November 2016 hingga April 2019 NTT telah ada 52 kasus OTT di NTT. Terkait parkir sebanyak 33 kasus, tilang kepolisian 5 kasus. Sosialiassi sebanyak 395 kali langsung ke masyarakat, sekolah, pasar, kecamatan dan kelurahan. Yang sudah di lidik 1, P21 3 kasus, SP3 sebanyak 4 kasus dan bina internal sebanyak 44 kasus. Barang bukti sebanyak Rp.180. 410.500 dan pelaku sebanyak 91 orang. Meski demikian, pelaku pungli sepertinya belum jera. Selain karena perilaku/mentalitas aparatur, sistem pencegahan dini belum dibangun secara baik di sebagian instansi pusat dan perangkat daerah kita sehingga celah pungli selalu ada dan terus terjadi sepanjang waktu sebagaimana yang kerap kita alami. Sebagai langkah pencegahan dan upaya mawas diri dari tindakan pungli, berikut ini adalah instansi pusat dan daerah yang ditengarai berpotensi atau rawan pungli. Pertama, Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP)/Unit Pelayanan Pelabuhan (UPP) di Kab/Kota. Dugaan modus pungli muncul melalui pengurusan Surat Persetujuan Berlayar (SPB)/clearence kapal tanpa didahului pemeriksaan kapal. Tanda tangan surat persetujuan berlayar di belakang meja dengan imbalan sejumlah uang, biaya pengukuran kapal melebihi ketentuan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Dirjen Perhubungan Laut dan pelayanan surat-surat kapal melalui agen yang pungutannya melebihi ketentuan PNBP. Kedua, UPTD Pendaftaran Kendaraan, Dinas Perhubungan. Pada unit pelayanan ini, dugaan modus pungli mudah terlihat. Kendaraan yang hendak di uji kelaikan tidak berada di tempat dan tidak diperiksa. Pemohon hanya mengirim buku kir dengan imbalan sejumlah uang. Atau kendaraan diperiksa namun petugas memaklumi kekurangan kendaraan atau dianggap laik jalan. Ketiga, Dinas Pehubungan dalam pengelolaan parkir. Modusnya berupa menurunkan nilai objek retribusi parkir dari kondisi riil dalam perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga dan dengan sengaja tidak mengidentifikasi objek parkir sehingga menjadi objek parkir liar. Keempat, Satuan Lalu Lintas Polri. Dugaan modus pungli pada unit pelayanan ini muncul pada saat pengurusan Surat Keterangan Tanda Lapor (SKTL) kendaraan berplat luar NTT setiap tiga bulan sekali yang dikenakan tarif meskipun tidak diatur dalam peraturan pemerintah tentang PNBP Polri, biaya pengujian keabsahan BPKB mobil (untuk kepentingan agunan bank/pegadaian), STNK baru dari dealer di Samsat tidak melalui loket dengan tarif melebihi PNBP dan pungutan Praktek SIM yang melebihi PNBP Polri. Kelima, Kejaksaan. Dugaan modus pungli dilakukan Tim Pengawal Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D). Jaksa anggota tim ini dalam beberapa proyek di daerah diduga menjadi suplier material untuk proyek yang mestinya disupervisi dan menjadi perantara/pelobi proyek dengan komitmen fee yang disepakati bersama. Keenam, BPN/ATR dalam Permohonan Sertifikat Hak Milik. Dugaan modus pungli berupa pengurusan SHM tanpa melalui loket khususnya PPAT dan biaya pengukuran melampaui ketentuan tarif PNBP BPN dengan berbagai alasan. Ketujuh, Dinas Peternakan. Dugaan modus pungli muncul pada saat pengurusan rekomendasi pengiriman ternak. Pada tahap ini, pembagian kuota kepada rekanan pengirim kerap tidak transparan dan terkesan tertutup. Karena itu selalu ada kemungkinan pemberian rekomendasi kepada perusahaan yang diduga tidak memiliki sapi dan selanjutnya rekomendasi tersebut di jual lagi kepada perusahaan lain yang memiliki sapi. Kedelapan, Dinas pertambangan, perindustrian dan perdagangan. Rekomendasi UPL/UKL/Amdal melalui pemrakarsa cenderung membutuhkan waktu lama karena alasan teknis berupa kekurangan tenaga ahli teknis dll. Investor tidak sabar menunggu sehingga disiapkan "amplop" supaya proses pelayanan rekomendasi tersebut dipercepat.
Mencegah Pungutan Liar
Hemat saya, mencegah pungutan liar di birokrasi kita tidaklah sulit, asalkan ada kemauan aparatur untuk berubah dan mengabdi pada kepentingan warga. Caranya dengan membangun sistem zona integritas pada unit pelayanan masing-masing melalui kegiatan-kegiatan antara lain: pertama, penandatanganan dokumen pakta integritas dengan seluruh pejabat dan pegawai. Kedua, kewajiban seluruh pegawai memenuhi Laporan Harta Kekayaan Pejabat dan Negara (LHKPN) dan Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (LHKASN). Ketiga, kewajiban pemenuhan pelaporan keuangan, penerapan disiplin PNS dan kode etik bagi yang melanggar. Keempat, penerapan kebijakan pelayanan publik dan whisteblowing system. Kelima, pendidikan dan pembinaan anti korupsi serta pengendalian gratifikasi di seluruh unit pelayanan. Jika semua cara ini dilakukan, saya yakin masyarakat NTT tidak lagi dipusingkan dengan maraknya pungutan liar pada seluruh area pelayanan publik.