• ,
  • - +

Artikel

Perempuan dan Pangan: Jangan Lupakan Ibu Hamil dan Menyusui dalam Program MBG
ARTIKEL • Senin, 30/06/2025 • M. Ilham Setiawan Bahri
 

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah menjadi perhatian publik karena menjanjikan solusi terhadap persoalan stunting dan kemiskinan melalui pemberian makanan gratis bagi anak sekolah. Upaya ini patut diapresiasi sebagai langkah progresif dalam pembangunan sumber daya manusia.

Namun, terdapat kekhawatiran serius, kelompok ibu hamil dan menyusui belum tersentuh secara konkret oleh program ini, padahal mereka justru berada di fase paling krusial dalam pencegahan stunting, yakni pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Gagal memberikan asupan gizi pada masa ini berisiko menyebabkan anak lahir pendek, rentan sakit, hingga mengalami hambatan perkembangan kognitif dan fisik.

Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional sudah mencantumkan bahwa sasaran MBG meliputi anak sekolah, balita, serta ibu hamil dan menyusui. Namun, pada tingkat implementasi, kebijakan ini baru menyasar anak sekolah. Belum tampak adanya skema penyaluran makanan bergizi melalui kanal layanan publik seperti Puskesmas, Posyandu, atau pemerintah desa.

Kesenjangan antara norma hukum dan realitas pelaksanaan ini merupakan bentuk potensi maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Ombudsman RI perlu hadir untuk memastikan kebijakan berjalan secara adil dan merata bagi semua kelompok sasaran yang dijanjikan oleh regulasi.

Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 oleh Kementerian Kesehatan, menunjukkan sebanyak 18,5% bayi lahir dengan panjang badan kurang dari 48 cm, yang merupakan indikasi awal risiko stunting. Ini menandakan bahwa masalah gizi dimulai sejak dalam kandungan. Jika bantuan gizi baru diberikan saat anak memasuki sekolah dasar, maka intervensi tersebut sudah terlambat.

Perempuan, terutama ibu rumah tangga, memegang peran sentral dalam pengelolaan pangan keluarga. Mereka merencanakan menu, membeli bahan makanan, dan mengolahnya untuk seluruh anggota keluarga. Sayangnya, kebijakan publik seringkali tidak melihat mereka sebagai subjek strategis, melainkan sekadar penerima manfaat pasif.

Fakta menunjukkan bahwa perempuan, khususnya di wilayah terpencil seperti Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, dan Papua, mengalami keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan gizi, pelatihan pangan, dan program pertanian. Padahal merekalah yang paling paham kondisi konsumsi pangan keluarga.

Di sisi lain, terdapat program bantuan pangan seperti beras, daging ayam, dan telur yang diberikan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang merupakan langkah afirmatif negara. Namun, sistem distribusinya belum responsif terhadap kebutuhan riil keluarga. Setiap keluarga, tanpa melihat jumlah anggota atau status gizi, menerima paket yang sama, yaitu 10 kg beras, 1 kg daging ayam, dan 10 butir telur per bulan.

Misalnya, dalam satu keluarga dengan ibu hamil dan dua anak, jika 1 kg daging dibagi rata untuk empat orang, maka per orang hanya mendapat 9 gram per hari. Ini jauh dari kebutuhan protein harian yang direkomendasikan Kementerian Kesehatan (Dewasa: 50-60 gram, Anak-anak: 35-45 gram, dan Ibu hamil: 70-90 gram). Distribusi yang seragam seperti ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan gizi, pemborosan anggaran, dan kegagalan pencapaian tujuan program.

Agar program MBG dan bantuan pangan menjadi lebih tepat sasaran dan menjawab kebutuhan nyata di lapangan, maka langkah konkret yang harus dilakukan adalah:

1. Libatkan perempuan, terutama ibu rumah tangga dan Posyandu, dalam perencanaan dan pengawasan pelaksanaan program MBG.

2. Salurkan bantuan gizi bagi ibu hamil dan menyusui melalui layanan dasar seperti Puskesmas dan Posyandu secara berkala.

3. Perluas edukasi gizi dan pelatihan pengolahan pangan lokal yang sehat dan murah.

4. Berikan dukungan khusus kepada petani perempuan, termasuk akses lahan, pelatihan pertanian rumah tangga, dan pembiayaan mikro.

5. Terapkan skema distribusi afirmatif, berdasarkan jumlah anggota keluarga, status gizi (ibu hamil, balita, lansia), dan data lokal berbasis DTKS, P3KE, dan data Posyandu.

Ombudsman RI perlu hadir sebagai pengawas eksternal untuk memastikan pelayanan publik dalam program MBG dan distribusi bantuan pangan berjalan sesuai asas kepatutan, keadilan, dan tanpa diskriminasi. Pengawasan berbasis afirmasi (pencegahan maladministrasi melalui systemic review) dapat digunakan untuk mengoreksi potensi bias struktural (ketidakadilan atau ketimpangan karena aturan, kebijakan, atau sistem yang secara tidak langsung merugikan) dalam pelaksanaan layanan.

Jangan Tunggu Anak Masuk Sekolah untuk Cegah Stunting

Stunting dimulai dari rahim, bukan dari ruang kelas. Karena itu, jika pemerintah serius ingin mencegah stunting dan membentuk generasi unggul, maka titik masuk intervensinya harus dimulai dari ibu hamil dan menyusui. Program makan bergizi tak boleh berhenti di pagar sekolah, ia harus masuk ke dapur keluarga, menyentuh tangan ibu, dan hadir dalam piring makan anak-anak bahkan sebelum mereka lahir.

Melindungi masa depan anak Indonesia berarti menjaga kualitas hidup para ibunya hari ini.


M. Ilham Setiawan Bahri

Asisten Ombudsman RI





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...