• ,
  • - +

Artikel

Penilaian Kepatuhan: Pembuktian Komitmen Kepala Daerah
• Selasa, 08/01/2019 • Atika Mutiara Oktakevina
 
Atika Mutiara Oktakevina, Asisten Ombudsman Republik Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Lampung

LAMPUNG - Ombudsman Republik Indonesia telah menyelesaikan salah satu agenda besar di Tahun 2018 yaitu Penilaian Kepatuhan terhadap Penyelenggaraan Standar Pelayanan Publik menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik). Lantas, seberapa besar makna perolehan zonasi dalam Penilaian tersebut tersebut? Akankah, pada tahun ini zonasi tersebut akan menjadi momentum bagi para Kepala Daerah untuk membuktikan komitmennya terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas dan bermanfaat? Hingga pembuktian komitmen tersebut dapat dirasakan oleh seluruh masyarakatnya?

Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Lampung sendiri telah merilis nilai seluruh pemerintah daerah yang menjadi obyek penilaian di Tahun 2018. Tercatat dari 9 (sembilan) Kabupaten yang menjadi Obyek penilaian, 3 (tiga) pemerintah daearah berhasil meraih tingkat kepatuhan tinggi (zona hijau), 1 (satu) pemerintah daerah meraih tingkat kepatuhan sedang (zona kuning) dan 5 (lima) pemerintah daerah masih berada di tingkat kepatuhan rendah (zona merah) dalam pemenuhan komponen standar pelayanan publik sebagaimana diamanatkan dalam UU Pelayanan Publik. Sementara 4 (empat) pemerintah daerah telah mendapatkan penilaian pada tahun sebelumnya dan telah meraih zona hijau dan 3 (tiga) pemerintah daerah masih berada dalam proses untuk menjadi obyek penilaian Ombudsman.

Sekarang, mari kita mengungkap lebih dalam tentang "Penilaian Kepatuhan terhadap Penyelenggaraan Standar Pelayanan Publik". Program yang telah dilaksanakan Ombudsman Republik Indonesia sejak Tahun 2013 ini, telah masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)  2015 - 2019 per Tahun 2015. Demikian besar perhatian pemerintah republik ini akan pelayanan publik, hingga memasukkan hal paling "dasar" tentang pelayanan publik dalam salah satu target RPJMN.


Mengapa saya katakan "dasar"?

Ya, karena standar pelayanan publik yang menjadi poin penilaian kepatuhan merupakan hal paling mendasar yang harus dimiliki oleh setiap instansi penyelenggara pelayanan. Standar pelayanan merupakan tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat , mudah, terjangkau dan terukur (Pasal 1 angka 7 UU Pelayanan Publik).

Mari kita ilustrasikan. Misalnya proses pembuatan akta kelahiran pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) selaku penyelenggara pelayanan. Setiap masyarakat pengguna pelayanan yang akan mengakses pelayanan "Akta Kelahiran" tentu harus mengetahui apa saja persyaratan untuk membuat akta kelahiran. Selain itu, pengguna pelayanan juga harus melalui tahapan mekanismeyang telah ditentukan oleh penyelenggara. Pengguna pelayanan juga akan menunggu dalam jangka waktutertentu dari proses berkas persyaratan lengkap sampai produk pelayanan akta kelahiran bisa diterima oleh pengguna pelayanan. Selanjutnya, penguna pelayanan harus mengetahui berapa tarif/hargaatas produk  "akta kelahiran" tersebut, atau apakah produk akta kelahiran tersebut tidak berbayar?

Selain itu, dalam mengakses pelayanan, tentu dibutuhkansarana prasaranayang menunjang di tempat pelayanan, misalnya saja ruang tunggu, toiletdan sarana lainnya. Termasuksarana khusus untuk pengguna pelayanan berkebutuhan khusus, misalnya saja loket/meja pelayanan khusus untuk lansia. Sehingga setiap pengguna layanan bisa merasakan kenyamanan dalam mengakses pelayanan.

Tidak berhenti sampai disitu, ketika pengguna pelayanan merasa ada hal-hal yang kurang berkenan atas pelayanan yang ia dapatkan, maka dibutuhkan petugas pengaduanuntuk menyampaikan komplain/pengaduan pengguna layanan lengkap dengan sarana pengaduan dan mekanisme pengaduannya.Hal ini penting agar  pihak penyelenggara pelayanan bisa melakukan evaluasi terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.

Hal-hal yang telah saya paparkan di atas adalah beberapa contoh komponen standar pelayanan publik yang wajib diselenggarakan oleh setiap instansi penyelenggara pelayanan publik.Produk pelayanan, persyaratan, mekanisme, jangka waktu, tarif pelayanan, sarana prasarana pelayanan serta petugas pengaduan, sarana pengaduan dan mekanisme pengaduan adalah beberapa komponen standar pelayanan yang telah diamanatkan UU Pelayanan Publik dan beberapa peraturan turunannya untuk disusun dan diselenggarakan oleh seluruh instansi penyelenggara pelayanan.

Masih berbicara soal akta kelahiran. Dapat kita bayangkan, ketika Disdukcapil tidak memiliki komponen standar pelayanan yang telah dijelaskan di atas, bagaimana output akta kelahiran yang akan dihasilkan?

Akankah setiap warga yang belum memiliki indentitas yang jelas, dapat mengakses pelayanan akta kelahiran tersebut tanpa sejumlah persyaratan yang ditentukan? Atau kalaupun persyaratan telah terpenuhi, akankah pengguna pelayanan harus menunggu tanpa kepastian, kapan produk akta kelahiran yang ia akses bisa ia terima? Lalu apakah dalam memproses pelayanan, semisal harus melalui proses antrian, pengguna pelayanan harus berdiri berjam-jam karena ketidaktersediaan ruang tunggu lengkap dengan kursi tunggu yang memadai? Apalagi jika pengguna pelayanan adalah lansia yang  tidak lagi mampu berdiri berjam-jam lamanya.  

Belum lagi jika berbicara potensi oknum yang mengatasnamakan bagian dari Disdukcapil yang mampu memberikan pelayanan diluar loket. Hal tersebut sangat mungkin terjadi manakala tidak ada mekanisme yang jelas dalam mengakses produk pelayanan akta kelahiran. Apalagi jika selanjutnya oknum tersebut menetapkan sejumlah harga/tarif untuk mendapatkan produk pelayanan akta kelahiran yang secara ketentuan sebenarnya tidak berbayar (gratis)?

Selanjutnya, jika seluruh rangkaian kejadian yang tidak diinginkan diatas telah terjadi, kepada siapa pengguna pelayanan harus menyampaikan keluhan/pengaduannya jika Disdukcapil tidak menyediakan petugas pengaduan yang dilengkapi dengan sarana pengaduan dan mekanisme pengaduannya.

Bisa ditebak, hanya ada dua kemungkinan. Pengguna pelayanan tersebut akan pasrah dengan nasibnya, atau keluhan/pengaduan pengguna pelayanan tersebut akan berlayar dengan liar di berbagai medsos bahkan mungkin media mainstream. Maka, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Carut marut pelayanan publik akan menjadi isu liar yang berkembang dan tentunya akan sangat mencoreng nama instansi dan sudah pasti nama Kepala Daerah tempat instansi tersebut berada. Apalagi, jika kejadian serupa juga terjadi di beberapa instansi penyelenggara pelayanan publik lainnya yang juga tidak menyelenggarakan dan mempublikasi standar pelayanan publik.

Tentu saya tidak hendak menyampaikan kondisi di atas akan terjadi pada sejumlah kepala daerah. Saya percaya, siapapun yang telah terpilih sebagai kepala daerah adalah orang-orang  yang terpilih diantara para pilihan. Karena merekalah yang memiliki kepedulian akan daerah yang ia pimpin. Sementara pelayanan publik adalah ujung tombak sarana komunikasi pemerintah dengan masyarakat. Lantas bagaimana masyarakat bisa mendapat pesan positif dari contoh komunikasi yang carut marut seperti telah saya paparkan dalam ilustrasi di atas?

Maka menurut hemat saya selanjutnya adalah bagaimana mungkin sebuah pelayanan publik dapat terselenggara dengan kualitas yang baik, jika standarnya saja tidak terpenuhi? Hal yang hampir mustahil. Menyelenggarakan pelayanan publik tanpa tolok ukur yang jelas.  

Kini, Tahun 2019 baru saja tiba. Tentu selalu ada harapan masyarakat untuk bisa mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik dari tahun ke tahun. Kembali pada apa yang telah saya sampaikan pada awal tulisan ini. Ketika Ombudsman Republik Indonesia telah melakukan Penilaian Kepatuhan terhadap Penyelenggaraan Standar Pelayanan Publik, akankah penilaian tersebut memiliki dampak terhadap masyarakat selaku pengguna pelayanan?

Jika melihat paparan sebelumnya, sudah tentu keberadaan standar pelayanan yang mudah diakses oleh penggguna pelayanan akan memiliki dampak terhadap pelayanan publik yang diperoleh masyarakat. Maka tugas besar bagi sejumlah pemerintah daerah yang belum meraih zona hijau dalam Penilaian Kepatuhan terhadap Penyelenggaran Standar Pelayanan Publik. Tugas besar bagi para Kepala Daerah selaku pemimpin di daerahnya untuk mengupayakan penyelenggaraan standar pelayanan publik sebagai langkah awal menghadirkan pelayanan publik terbaik bagi masyarakat yang notabene adalah mereka yang telah mengangkatnya menjadi seorang pemimpin di daerahnya.

Tentu, ini hanya berlaku bagi kepala daerah yang tidak menginginkan kondisi pelayanan publik di daerahnya carut marut seperti kondisi yang saya ilustrasikan di atas. Ah, tidak! Saya pun sangat tidak berharap ilustrasi tersebut akan terjadi.Toh penyelenggaraan komponen standar pelayanan sebenarnya tidak memerlukan biaya yang terlalu besar atau terlalu sulit untuk dilakukan. Persoalannya hanya, maukah para Kepala Daerah untuk secara tegas memerintahkan para instansi penyelenggara pelayanan publik untuk  menyelenggarakan dan memublikasikan standar pelayanan publik sehingga potensi penyimpangan pelayanan publik atau yang disebut maladministrasi akan dapat diminimalisir. Apalagi jika melihat secara ketentuan, UU Pelayanan Publik yang mengamanahkan penyelenggaraan standar pelayanan publik ini telah terbit sejak Tahun 2009. Itu artinya, amanah tersebut telah berjalan selama 9 tahun.

Lalu bagaimana dengan pemerintah daerah yang telah berada dalam tingkat kepatuhan tinggi?Proficiat untuk para Kepala Daerah yang telah berhasil membawa daerah yang dipimpinnya ke dalam zona hijau. Namun, tugas penting selanjutnya adalah, bagaimana agar standar pelayanan yang telah terselenggara dan terpublikasi tersebut bisa diimplementasikan. Karena keberadaan standar pelayanan bukan berarti lantas menutup segala kemungkinan terjadinya maladministrasi dalam pelayanan publik.

Maka, waktunya membuktikan! Pembuktian dimana standar pelayanan yang telah terselenggara dan terpublikasi bisa memberikan manfaat yang sangat signifikan terhadap pengguna pelayanan karena diimplementasikan dengan baik. Zona pembuktian! Karena masyarakat dapat menilai secara langsung, apakah komitmen Kepala Daerah benar adanya?! Baik buruk wajah pelayanan publik suatu daerah adalah baik buruk wajah kepala daerah di hadapan masyarakatnya. Karena sekali lagi, pelayanan publik adalah ujung tombak sarana komunikasi antara pemerintah dengan masyarakatnya.

Kini, mari kita saksikan pembuktian komitmen para Kepala Daerah dari Penilaian Kepatuhan terhadap Penyelenggaran Standar Pelayanan Publik yang telah diselenggarakan Ombudsman Republik Indonesia. Sejauh mana pembuktian akan komitmen tersebut? Akankah getaran  komitmen tersebut dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat yang dipimpinnya?

Sesungguhnya getaran komitmen hanya dapat dirasakan dari Kepala Daerah yang memiliki ketulusan hati untuk memberikan pesan positif terhadap masyarakat yang ia pimpin melalui penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas di daerahnya.

Akhirnya kepada para Kepala Daerah, saya ucapkan: "Selamat datang pada zona pembuktian!" (ORI-Lampung)


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...