• ,
  • - +

Artikel

Penilaian Kepatuhan Pada Undang-Undang Pelayanan Publik Era Milenial
• Senin, 31/05/2021 • Muslimin B. Putra
 
Muslimin B. Putra Saat memberikan materi di Workshop Pendampingan di Hotel Four Points beberapa waktu lalu (Ombudsman RI Sulsel)

Program Penilaian Kepatuhan pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Undang-Undang Pelayanan Publik telah memasuki tahun keenam dan masuk dalam RPJMN 2020-2024 melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 18 Tahun 2020. Program Penilaian Kepatuhan ini dimulai sejak 2015  masih menggunakan nomenklatur Survei Kepatuhan  pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan menjadi target dalam RPJMN 2015-2019 melalui Perpres No. 2 Tahun 2015 ketika itu.

Sesuai salah satu tujuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yaitu terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik maka Ombudsman sebagai pengawas  penyelenggaraaan pelayanan publik diberi kewenangan untuk memastikan pihak penyelenggara tersebut menerapkan standar pelayanan publik sesuai yang termaktub dalam Pasal 21 UU tersebut.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik memerintahkan bagi setiap  penyelenggaraan pelayanan publik untuk menyusun dan menetapkan standar pelayanan publik. Selain itu,  penyelenggara diwajibkan untuk menyusun maklumat pelayanan, menempatkan pelaksana yang kompeten, menyediakan sarana, prasarana yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai. Setidaknya 15 kewajiban penyelenggara pelayanan publik termaktub dalam Pasal 15 Undang-Undang Pelayanan Publik untuk dipatuhi dan dilaksanakan.

Program pengawasan terhadap penerapan standar pelayanan publik pada penyelenggara pelayanan publik dikemas dalam kegiatan Survei Kepatuhan terhadap Undang-Undang No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik atau disebut Penilaian Kepatuhan. Penilaian kepatuhan pada tahun 2021 berfokus pada lima substansi yakni perizinan ekonomi dan non ekonomi, adminduk, kesehatan, pendidikan dan pertanahan termasuk kepolisian.

Penilaian kepatuhan di Sulawesi Selatan sendiri, akan menilai seluruh wilayah Kabupaten dan Kota serta provinsi sebanyak 25 penyelenggara pelayanan publik. Kegiatan penilaian kepatuhan akan dilakukan selama tiga bulan mulai bulan Juni hingga Agustus 2021 yang akan melibatkan tenaga enumerator dari insan Ombudsman Sulsel meliputi Asisten Ombudsman, PNS, dan tenaga pendukung lainnya.

Tinjauan Kepatuhan Hukum  

Secara sosiologis,  hukum dapat menjadi perangkat rekayasa sosial agar masyarakat dapat bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat baik yang mengacu pada hukum yang tertulis maupun tidak tertulis.  Karena itu, eksistensi hukum dapat menjadi instrumen untuk mengatur tingkah laku masyarakat dalam pergaulan sehari-hari. Dalam konteks hidup berorganisasi, keberadaan hukum menjadi norma standar yang dianut yang menjadi pegangan bagi setiap organisasi, baik dalam organisasi publik (Negara) maupun organisasi masyarakat.

Menurut Soejono Soekanto (1982:152),  hakekat kepatuhan hukum ada tiga faktor yang menyebabkan warga masyarakat mematuhi hukum. Faktor pertama, compliance, suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindari dari dari hukuman atau sanksi yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah tersebut. Selanjutnya Soekanto menulis:

"An overt  acceptance induced by expectation of rewards and attempts to avoid possible punishment - not by any conviction in the desirability of the enforced nile. Power in the influencing agent in based on 'means-control' and as a consequence, the influenced person conforms only under surveillance". (Penerimaan yang terang-terangan disebabkan oleh ekspektasi penghargaan dan upaya untuk menghindari kemungkinan hukuman - bukan oleh keyakinan apapun terhadap keinginan nilai yang dipaksakan. Kekuatan agen yang mempengaruhi didasarkan pada 'cara-kontrol' dan sebagai konsekuensinya orang yang terpengaruh hanya sesuai dibawah pengawasan).

Faktor kedua adalah  identification, terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenangan untuk menerapkan kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut. Dengan demikian kepatuhan tergantung pada baik-buruk interaksi.

"An acceptance  of a rule not because of its instrinsic value and appeal but because of a person's desire to maintain membership in a group or relationship with tha agent. The source of power is the attractiveness of the relation which the person enjoy with the group or agent, and his conformity with the rule will be dependent upon the salience of these relationships" (Penerimaan aturan bukan karena nilai instrinsik tetapi karena keinginan seseorang untuk mempertahankan keanggotaan dalam suatu kelompok atau hubungan dengan agen. Sumber kekuatan adalah daya tarik dari hubungan yang orang nikmati  dengan kelompok atau agen, dan kesesuaiannya dengan aturan akan tergantung pada arti penting hubungan ini).

Faktor ketiga adalah internalization, pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah hukum karena secara instrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya dari pribadi yang bersangkutan atau karena ia mengubah nilai-nilai yang semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara instrinsik. Titik sentral pada kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah yang bersangkutan, terlepas dari pengaruh atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya. Tahap ini merupakan derajat kepatuhan tertinggi, dimana ketaatan itu timbul karena hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang dianut.

"The Acceptance by an individual of a rule or behavior because he finds its content intrinsically rewarding...the content is congruent with a person's values either because his values changed and adapted to the inevitadble" (Penerimaan oleh individu atas suatu aturan atau perilaku karena dia menemukan kontennya secara instrinsik memberi penghargaan ...konten tersebut sesuai dengan nilai-nilai seseorang baik karena nilai-nilainya berubah dan disesuaikan dengan yang tak terhindarkan).

Dari ketiga faktor kepatuhan menurut Soekanto diatas disimpulkan bahwa tipe compliance adalah bentuk kepatuhan karena adanya sanksi bagi pelanggar aturan, sedangkan tipe identification, adalah bentuk kepatuhan karena untuk mempertahankan hubungan yang menyenangkan dengan orang atau kelompok lain. Terakhir tipe internalization, adalah bentuk kepatuhan disebabkan masyarakat mengetahui tujuan dan fungsi dari kaidah hukum tersebut sehingga patuh pada peraturan tersebut.

Kaitannya dengan Program Penilaian Kepatuhan  pada Undang-Undang Pelayanan Publik, Ombudsman mengharapkan penyelenggara pelayanan publik patuh karena mengetahui tujuan dan fungsi dari diterbitkannya Undang-Undang Pelayanan Publik sebagaimana disebutkan pada awal tulisan di atas terkait tujuan dari Undang-Undang ini dibuat. 

Pelayanan Publik Berbasis Elektronik

Salah satu perubahan Penilaian Kepatuhan kali ini yang dilakukan oleh Ombudsman adalah bobot penilaian lebih tinggi pada penyelenggara pelayanan publik yang telah menerapkan Electronic Government (E-Government). Sebagaimana diketahui Pemerintah Indonesia berkeinginan kuat untuk menerapkan E-Government pada era milenial melalui Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2018. Perwujudan SPBE adalah untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, transparan, dan akuntabel sehingga dapat menciptakan pelayanan publik yang berkualitas dan terpercaya dari masyarakat. 

Dalam Perpres tersebut, visi yang ingin diwujudkan atas terselenggaranya SPBE adalah sistem pemerintahan berbasis elektronik yang terpadu dan menyeluruh untuk mencapai birokrasi dan pelayanan publik yang berkinerja tinggi.  Untuk mencapai visi tersebut maka ditetapkan empat misi SPBE yaitu (1) melakukan penataan dan penguatan organisasi dan tata kelola system pemerintahan berbasis elektronik yang terpadu; (2) mengembangkan pelayanan publik berbasis elektronik yang terpadu, menyeluruh, dan menjangkau masyarakat luas; (3) membangun fondasi teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi, aman dan andal; serta (4) membangun SDM yang kompeten dan inovatif berbasis teknologi informasi dan komunikasi. 

Dalam rangka penerapan SPBE, institusi pemerintah disarankan menggunakan domain "go.id". Dimulai pada tahun 2006 Menteri Kominfo mengeluarkan Permenkominfo No. 28/per/m.kominfo/9/2006 tanggal 25 September 2006 tentang  penggunaan domain "go.id" untuk situs web resmi pemerintah pusat dan daerah, kemudian pada tahun 2013 Menteri Kominfo kembali menerbitkan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 23/2013 tentang Pengelolaan Nama Domain dan terakhir pada tahun 2015  menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2015 tentang Registrar Nama Domain Instansi Penyelenggara Negara yang diundangkan pada tanggal 06 Februari 2015.

Sebagai kesimpulan, diharapkan penerapan E-Government berupa pelayanan publik berbasis elektronik dapat mempercepat layanan publik kepada masyarakat, mempermudah prosedur layanan, serta murah dan ekonomis dari segi alur pelayanan kepada masyarakat.


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...