• ,
  • - +

Artikel

Penguatan Pengawasan dalam Pelayanan Publik
• Jum'at, 11/12/2020 • Sopian Hadi, S.H., M.H
 
Sopian Hadi (Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan)

Salah satu area perubahan dalam Reformasi Birokrasi adalah penguatan pengawasan yang penting dilakukan demi mencegah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Selain itu, penguatan pengawasan bertujuan untuk menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat pelayanan publik sehingga masyarakat sebagai pengguna bisa mendapatkan pelayanan yang berkualitas, cepat, murah, mudah dan transparan. Di sisi lain, kerugian negara dapat ditekan, karena tidak ada lagi penyalagunaan wewenang atau korupsi yang merugikan keuangan negara.

Saat ini, potret pelayanan publik di negara kita masih buram. Reformasi Birokrasi hanya dijalankan setengah hati. Pencanangan Zona Integritas pun hanya seremonial belaka. Bahkan ada kepala daerah yang telah mencanangkan pembangunan Zona Integritas, beberapa hari kemudian, tertangkap tangan oleh KPK karena melakukan korupsi.

Namun kita tidak perlu berkecil hati dengan fenomena yang terjadi. Birokrasi di Indonesia tetap harus bebas dari korupsi. Birokrasi Indonesia harus bersih dan melayani tanpa maladministrasi. Semuanya hanya akan terwujud, jika aparatur penyelenggara pelayanan publik menjalankan amanah yang telah diberikan dengan menjunjung tinggi integritas.

Tentu tidak mudah menegakkan integritas karena banyak "godaan" disana-sini. Di situlah integritas kita diuji. Oleh karena itu,  dalam menegakkan integritas perlu didukung oleh sistem. Sistem itulah yang mengawasi kita. Karena dalam sistem itu, ada pelibatan masyarakat untuk turut serta melakukan pengawasan.  

Dalam konteks penguatan pengawasan, instansi penyelenggara pelayanan publik perlu melakukan beberapa langkah perbaikan. Pertama, membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG). Saat ini, bisa dikatakan bahwa UPG sangat jarang ditemukan, apalagi pada instansi penyelenggara pelayanan yang berada di level paling bawah, seperti kelurahan, kecamatan, hingga unit pelaksana teknis kementerian.

Padahal keberadaan UPG sangat vital. Unit inilah yang meminimalisir terjadinya gratifikasi di lingkungan penyelenggara pelayanan. Jika ada gratifikasi, maka unit ini yang akan menilai, apakah pemberian dari masyarakat termasuk gratifikasi atau tidak. Selain itu, UPG juga berperan untuk melakukan kampanye dan menyadarkan masyarakat agar tidak memberikan sesuatu yang tergolong gratifikasi. Ditambah lagi saat ini, kampanye terhadap masyarakat sangat mudah dilakukan. Penyelenggara pelayanan bisa memanfaatkan media sosial seperti Instagram, Twitter dan Facebook. Masyarakat juga turut berperan serta ketika mengetahui ada penerimaan gratifikasi dari penyelenggara pelayanan publik.

Kedua, membentuk Whistle Blowing System (WBS). Sama seperti UPG, WBS pun sangat jarang dibentuk di unit kerja. Padahal sistem ini dibangun untuk mengakomodir masyarakat yang mengetahui adanya KKN, penyalahgunaan wewenang, atau pelanggaran terhadap integritas untuk melaporkannya. Dalam sistem ini, terdapat jaminan identitas pengadu yang dirahasiakan atau tidak akan dibocorkan. Oleh karena itu, sistem ini perlu dibangun untuk melindungi keamanan "si peniup peluit" agar terjamin kerahasiaannya. Sebaliknya, jika tidak ada sistem yang menjamin keamanannya, maka masyarakat akan jadi apatis. Tidak mau terlibat dalam perbaikan pelayanan. Sehingga sistem WBS harus dibangun.

WBS harus dikelola langsung oleh pimpinan organisasi untuk menghindari konflik kepentingan. Misalnya, yang dilaporkan masyarakat adalah rekan kerjanya, maka akan berpotensi laporan tidak ditindaklanjuti secara serius, jika yang mengelola WBS hanya bawahan atau rekan sejawat. Bisa jadi laporan tersebut hanya diarsipkan. Oleh karena itu, jangan sampai terjadi demikian. Pelapor harus diberikan kepercayaan untuk melapor.

Ketiga, pengelolaan pengaduan. Salah satu unsur penting penguatan pengawasan adalah pengelolaan pengaduan masyarakat. Dalam setiap unit penyenggara pelayanan publik wajib tersedia sarana bagi masyarakat untuk mengajukan komplain. Sarananya macam-macam, bisa melalui telepon, WhatsApp, website atau aplikasi.

Saat ini, sudah tersedia Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional. Aplikasi itu dinamakan LAPOR! (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat). Seluruh sarana pengaduan yang dimiliki oleh kementerian/lembaga/pemerintah daerah harus terhubung dengan aplikasi ini sebagai cara dari pemerintah untuk mewujudkan layanan pengaduan yang terintegrasi secara nasional. Sekarang, LAPOR! merupakan aplikasi yang umum. Artinya, tidak boleh ada aplikasi serupa yang dibuat oleh pemerintah daerah.

Pengaduan dari masyarakat pun harus ditindaklanjuti. Sebagai bentuk keterbukaan informasi, pengaduan yang masuk harus disampaikan secara berkala kepada publik. Mulai dari jumlah pengaduan, hingga tindak lanjut yang telah dilakukan.

Keempat, ‌penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Harta kekayaan penyelenggara pelayanan publik harus disampaikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Penyampaian LHKPN ini untuk mencegah terjadi korupsi. Selain itu, merupakan bagian dari bentuk transparansi dalam reformasi birokrasi.

Kelima, penanganan benturan kepentingan. Setiap pejabat yang terlibat dalam konflik kepentingan harus menghindarkan diri dari keadaan yang bisa mempengaruhi tindakan atau keputusan yang diterbitkan. Misalnya, pengadaan barang dan jasa, konflik kepentingan dalam menyelesaikan pengaduan masyarakat atau penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Untuk menghindari hal demikian, maka penanganan benturan kepentingan harus diatur melalui peraturan internal. Jika melanggar peraturan tersebut, maka pejabat tersebut diberikan sanksi disiplin.

Setidaknya, beberapa poin di atas perlu dilembagakan oleh organisasi penyelenggara pelayanan publik. Sebagai langkah konsisten, untuk mewujudkan birokrasi yang bebas dari KKN, serta birokrasi yang bersih melayani.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...