Penguatan Pembangunan Manusia dan Pelayanan Publik
Pembangunan manusia sejatinya memiliki makna yang luas. Beberapa ahli mengemukakan tentang konsep pembangunan manusia yang menyiratkan bahwa pembangunan manusia memiliki aspek yang lebih luas dibandingkan dengan pembangunan konvensional. Amartya Sen (1989) misalnya, mendefinisikan pembangunan manusia sebagai perluasan kebebasan nyata yang dinikmati oleh manusia. Kebebasan bergantung pada faktor sosial ekonomi seperti akses pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan politik. Mahbub Ul Haq (1995) juga mengemukakan hal serupa. Ia berpendapat bahwa pembangunan manusia merupakan proses perluasan pilihan kebebasan berpolitik, partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, pilihan untuk berpendidikan, bertahan hidup dan sehat, serta menikmati standar hidup layak (BPS RI, 2019).
Dari kedua pendapat tersebut, munculah konsep Human Development Indeks (HDI) yang diinisiasikan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990 yang di Indonesia dikenal dengan sebutan Indeks Pembangunan Manusia. Secara garis besar, indikator yang digunakan dalam untuk mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah kesehatan, pendidikan, dan kesehjateraan ekonomi masyarakat. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, pada tahun 2019 angka IPM Provinsi Lampung sebesar 69,57, meningkat dari tahun 2018 yaitu sebesar 69,02. Dari angka IPM tersebut, artinya Provinsi Lampung masuk kelompok sedang dalam kategori status pembangunan manusia. Jika dibandingkan dengan seluruh provinsi di Indonesia, Tahun 2019 IPM Provinsi Lampung berada pada urutan ke 25 dan masih berada dibawah rata-rata IPM Nasional yaitu sebesar 71,92.
Jika dilihat dari 3 (tiga) indikator yang digunakan dalam mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu Pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat, maka untuk meningkatkan pembangunan manusia tidak terlepas dari peningkatan kualitas pelayanan publik terutama pada sektor Pendidikan dan Kesehatan. Kedua sektor ini juga secara eksplisit disebut secara jelas dalam pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sebagai bagian dari ruang lingkup pelayanan publik.
AKSES PENDIDIKAN YANG MERATA
Prof. H. Mahmud Yunus menjelaskan bahwa pendidikan ialah suatu usaha yang dengan sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak yang bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, jasmani dan akhlak sehingga secara perlahan bisa mengantarkan anak kepada tujuan dan cita-citanya yang paling tinggi. Agar memperoleh kehidupan yang bahagia dan apa yang dilakukanya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya. Dalam pengukuran IPM metode baru, sektor Pendidikan diukur dengan menghitung Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) dan Harapan Lama Sekolah (HLS), indikator ini terkait dengan pendidikan formal yang jenjangnya kita kenal dengan sebutan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sarjana (S1), Magister (S2), dan Doktoral (S3).
Berdasarkan data BPS RI, tahun 2019 rata-rata lama sekolah penduduk di Provinsi Lampung usia 15 (lima belas) tahun keatas adalah 8,36 tahun dan Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 16 s.d 18 tahun di Provinsi Lampung adalah 71,05%. Berdasarkan kedua data tersebut, dapat menjelaskan setidaknya sekitar 28% anak lulusan SMP di Provinsi Lampung tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Salah satu faktor yang mendasari masalah tersebut tidak dapat dipungkiri adalah masalah pembiayaan pendidikan, masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu tentu merasa keberatan dengan pembiayaan pendidikan jenjang SMA. Dalam konteks pelayanan publik yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik, hal mendasar yang perlu diperhatikan oleh penyelenggara pelayanan adalah adanya standar yang jelas, yang salah satunya mengatur tentang kepastian standar biaya. Ketidakjelasan standar biaya pendidikan terutama sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah pada jenjang SMA/SMK/MA akan memberikan persepsi pada masyarakat bahwa sekolah untuk jenjang SMA/Sederajat adalah mahal. Pada tahun 2019, Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Lampung menerima 15 laporan masyarakat (14%) dengan substansi pendidikan yang sebagian besar mengeluhkan ketidakjelasan biaya pendidikan untuk jenjang SMA/Sederajat.
Pada praktiknya terdapat sekolah yang menerapkan biaya
pendidikan dengan 2 (dua) istilah yaitu biaya komite dan biaya SPP, biaya
komite ini biasanya dilakukan setiap awal tahun ajaran baru sedangkan biaya SPP
biasanya berupa iuran per bulan dengan nominal tertentu. Selain itu, terdapat
juga sekolah yang menerapkan hanya salah satunya biaya SPP saja atau biaya
komite saja.
Untuk meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang SMA/Sederajat, pemerintah Provinsi Lampung perlu mengeluarkan kebijakan pendidikan dengan mengedepankan sudut pandang pelayanan publik. Pertama, pemerintah harus memiliki konsep standar biaya pendidikan yang jelas terutama untuk sekolah yang diselenggarakan pemerintah. Kedua, Pemerintah perlu memberikan kebebasan biaya pendidikan kepada masyarakat yang tidak mampu dengan menyiapkan instrumen yang jelas terhadap kategori masyarakat yang dianggap tidak mampu sehingga bantuan tersebut tepat sasaran. Ketiga, Pemerintah perlu mengkaji terhadap keberadaan Sekolah Kejuruan yang peminatnya sedikit dan mengambil langkah yang kontruktif untuk meningkatkan efektifitasnya.
KESEHATAN UNTUK SEMUA
Pada sektor kesehatan, sub indikator yang digunakan untuk mengukur Indeks Pembangunan Manusia adalah Angka Harapan Hidup Saat Lahir (AHH). AHH dapat didefinisikan sebagai rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang sejak lahir. AHH mencerminkan derajat kesehatan suatu masyarakat. Kondisi kesehatan masyarakat sangat dipengaruhi oleh Pelayanan dan Kebijakan di bidang kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah baik untuk tujuan upaya kesehatan kuratif untuk menyembuhkan penyakit maupun upaya kesehatan preventif melalui berbagai instrumen yang dimiliki pemerintah.
Saat ini, salah satu permasalahan di bidang kesehatan yang sering muncul pada kalangan masyarakat adalah masalah BPJS Kesehatan, yang secara langsung juga terkait dengan standar biaya pada pelayanan kesehatan. Banyak masyarakat yang berpendapat bahwa pelayanan kesehatan dengan menggunakan biaya sendiri (umum) lebih diutamakan daripada yang menggunakan BPJS Kesehatan. Anggapan ini tentu harus ditepis oleh pemerintah dan fasilitas kesehatan dengan tidak membeda-bedakan pelayanannya.
Selain itu, ada juga keluhan terkiat pemutusan bantuan BPJS PBI secara sepihak oleh Pemerintah, sehingga terkadang terdapat masyarakat yang akan berobat kemudian dinyatakan bahwa BPJSnya sudah tidak aktif karena sudah tidak membayar iuran beberapa bulan padahal yang bersangkutan merasa bahwa BPJSnya merupakan BPJS PBI bantuan pemerintah daerah. Selain masalah BPJS Kesehatan, dalam laporan IPM Provinsi Lampung Tahun 2019 yang dikeluarkan oleh BPS juga dijelaskan masalah terbatasnya akses menuju fasilitas kesehatan yaitu sekitar 1% desa atau sebanyak 27 Desa di Provinsi Lampung beranggapan sulit menjangkau Puskesmas yang diukur dari lokasi kantor desa dan permasalahan terbatasnya ketersediaan dokter spesialis.
Terkait perbaikan pelayanan kesehatan, maka Pemerintah Provinsi Lampung juga perlu melihat dari sudut pandang pelayanan publik, sehingga perbaikan tersebut dapat menyentuh hal yang fundamental. Pada konsep dasar pelayanan publik, terdapat beberapa hal fundamental yang harus dilakukan. Pertama, Pemerintah perlu memiliki standar pelayanan yang jelas sebagai pedoman bagi fasilitas kesehatan baik di puskesmas, klinik, maupun rumah sakit dalam memberikan pelayanan. Kedua, standar pelayanan yang telah ditetapkan tersebut perlu dipublikasikan sehingga menjadi informasi publik yang juga menjadi panduan bagi masyarakat dalam mengakses layanan. Ketiga, Pemerintah perlu memiliki sistem pengelolaan pengaduan yang mudah diakses, agar ketika masyarakat mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dapat dengan mudah menyampaikan pengaduan agar menjadi bahan evaluasi bagi penyelenggara pelayanan. Keempat, pemerintah perlu secara berkala melakukan survei kepuasan masyarakat terhadap pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan. Survei tersebut dapat dilakukan setiap bulan, triwulan, atau minimal setiap tahun. Keempat hal fundamental tersebut juga dapat dilakukan untuk seluruh sektor pelayanan publik sehingga dapat mencapai pelayanan publik yang prima sesuai dengan yang kita cita-citakan bersama.