• ,
  • - +

Artikel

Pengelohan Izin Teknis yang Akuntabel
• Kamis, 23/08/2018 • Muslimin B. Putra
 
Muslimin B. Putra (Asisten Ombudsman RI Kantor Perwakilan Sulawesi Selatan)

Oleh : Muslimin B. Putra (Asisten Ombudsman RI Kantor Perwakilan Sulawesi Selatan)

Izin (vergunning) dalam konteks Hukum Administrasi Negara karena adanya kewenangan yang dimiliki oleh pejabat Administrasi Negara sebagai pelaksana undang-undang. Sebagai pelaksana undang-undang, pejabat administrasi negara berwenang memberikan izin kepada setiap individu, dan/atau kelompok masyarakat yang berbadan hukum melalui surat keputusan atau surat ketetapan.

Pemberian izin dari pemerintah kepada individu atau kelompok masyarakat yang berbadan hukum untuk mengendalikan dan membatasi aktifitas agar tidak merugikan orang lain sehingga pemegang izin mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. Karena itu pemberian izin adalah instrumen bagi pemerintah untuk melakukan pencegahan (preventive) dampak hukum dari pemberian izin.

Pada sisi lain, pemberian izin juga bisa dimaknai sebagai instrumen pengendalian (controling) bagi pemerintah kepada pemegang izin yang dimiliki orang per orang atau kelompok masyarakat yang berbadan hukum. Pemerintah berkewajiban mengendalikan setiap tindakan yang dilakukan pemegang izin agar tidak menyimpang dari ketentuan perundang-undangan dan memperhatikan kepentingan umum.

Fungsi pengaturan juga melekat pada pemberian izin oleh pemerintah. Dengan memberikan izin, pemerintah memiliki perangkat untuk mengatur setiap kegiatan dan tindakan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh pemegang izin.

Menurut Bagir Manan, izin dalam arti luas adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan suatu tindakan atau perbuatan tertentu yang selama ini dilarang.

Perspektif lain tentang pemberian izin adalah fungsi melindungi (protective) bagi pemerintah. Dengan memberikan izin, pemerintah bisa melindungi obyek-obyek tertentu dari gangguan akibat kegiatan atau tindakan yang dapat merusak obyek yang dimaksud. Izin yang diberikan untuk membatasi kebebasan individu atau kelompok terhadap obyek tertentu yang dilindungi pemerintah.

Prayudi Atmosoedirdjo (pakar Administrasi Negara) mengatakan izin atau vergunning adalah "dispensasi dari suatu larangan". Dispensasi beranjak dari ketentuan yang dasarnya "melarang" suatu perbuatan, sebaliknya "izin" beranjak dari ketentuan yang pada dasarnya tidak melarang suatu perbuatan tetapi untuk dapat melakukannya dipersyaratkan prosedur tertentu yang harus dilalui.

Selain dispensasi, dikenal juga istilah konsesi. Menurut Kranenburg-Vegting, "izin" dimaknai sebagai suatu perbuatan hukum bersegi satu yang dilakukan oleh pemerintah, maka "konsesi" adalah suatu perbuatan hukum yang bersegi dua. Jadi pengertian "Konsesi" adalah suatu perjanjian yang diadakan antara pemberi konsesi (pemerintah) dan yang diberi konsesi (badan hukum privat).


Izin Teknis

Secara sederhana, izin teknis bisa diartikan sebagai izin yang dikeluarkan/diterbitkan oleh dinas teknis. Sejak berlakunya Peraturan Presiden (Perpres) No. 97 Tahun 2014, izin teknis diintegrasikan kedalam satu dinas yang terdiri dari berbagai dinas teknis dalam satu pintu yang sering disebut Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

PTSP adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses, dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu.Pada awalnya PTSP dibentuk untuk mempermudah izin usaha (easy doing bussiness) di Indonesia. Pada tahun 2009 melalui pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. Izin yang diterbitkan hanya yang terkait dengan aktifitas bisnis yang dikelola oleh BKPM (Pusat) dan BKPM (Daerah) seperti surat izin usaha perdagangan, tanda daftar perusahaan, izin usaha industri, dan sebagainya.

Tiga tahun sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu untuk menjadi pedoman pelayanan publik pada level pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota).

Pada tingkat pemerintah daerah, dibuat berbagai peraturan yang lebih teknis yang memuat standar pelayanan dan standar operasional baik berupa peraturan walikota/peraturan bupati atau peraturan kepala dinas penanaman modal untuk memperlancar pelayanan izin-izin teknis bagi masyarakat yang membutuhkan.

Guna memacu peningkatan pelayanan masyarakat, beberapa pemerintah daerah memberikan insentif dan dis-insentif bagi petugas pelayanan publik. Bagi petugas pelayanan yang berhasil melaksanakan tugasnya sesuai standar waktu pelayanan, biasanya diberikan insentif. Sebaliknya petugas pelayanan yang melakukan tidak sesuai dengan standar waktu pelayanan diberikan pula dis-insentif atas keterlambatan terbitnyabproduk layanan yang dimohonkan masyarakat pengguna layanan. Aturan insentif dan dis-insentif biasanya dituangkan dalam bentuk surat keputusan bupati/walikota sebagai dasar hukum.

Saat ini izin teknis sudah berkembang jenisnya, selain izin yang berkaitan dengan dunia usaha, beberapa produk izin kategori non usaha seperti izin penelitian, izin survey, izin PKL/KKN yang menyasar dunia kampus sebagai masyarakat pengguna layanan.


Standar Pelayanan Izin Teknis

setiap aktifitas penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat hendaknya memiliki standar pelayanan sebagai parameter tindakan petugas pelayanan publik. Standar pelayanan dikenal dengan beragam konsep, seperti standar pelayanan publik (SPP), standar pelayanan minimal (SPM) dan standard operational precedurs (SOP) atau standar prosedur operasional (SPO).

Standar pelayanan publik menurut ketentuan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah tolok ukur yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas (Pasal 1 Ayat 7).

Komponen standar pelayanan publik sesuai Undang-undang Pelayanan Publik meliputi: dasar hukum; persyaratan; sistem, mekanisme dan prosedur; jangka waktu penyelesaian; biaya/tarif; produk pelayanan; sarana, prasarana, dan/atau fasilitas, kompetensi pelaksana, pengawasan internal; penanganan pengaduan, saran, masukan; jumlah pelaksana, jaminan pelayanan; jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan; dan evaluasi kinerja pelaksana.

Sementara konsep standar pelayanan minimal (SPM) berdasarkan bidang/sektor tertentu yang menjadi urusan wajib pemerintah dan kebutuhan dasar masyarakat, misalnya bidang kesehatan, bidang pendidikan, bidang sosial, bidang pekerjaan umum, dan perumahan rakyat. Ketentuan tentang SPM diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM. Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahub 2018, SPM merupakan ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib pemerintahan yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal.

Sedangkan standar prosedur operasional (SPO) sangat bersifat teknis yang mengatur tindakan petugas pelayanan setiap individu dalam suatu uraian bidang tugas. Setiap individu petugas pelayanan diatur beban tugas dan uraian pekerjaannya dalam suatu rangkaian kegiatan pelayanan publik.

Penyusunan standar prosedur operasional inilah yang menjadi domain kewenangan kepala dinas teknis untuk membuat regulasi yang bersifat teknis pelaksanaan kegiatan dan tindakan pelaksana dan petugas pelayanan izin teknis. Kepala dinas berwenang membuat regulasi yang berkaitan dengan standar kinerja dan standar presedur operasional pelayanan izin teknis, agar pelaksana dan petugas pelayanan dapat bekerja sesuai standar untuk mempengaruhi kinerjanya secara keseluruhan.


Akuntabilitas Pelayanan Izin Teknis

Penyusunan standar pelayanan publik hendaknya melibatkan masyarakat untuk menjamin akuntabilitas pelayanan publik yang diselenggarakan penyelenggara layanan izin teknis dalam hal ini Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Pelibatan unsur masyarakat didasarkan pada perwujudan asas umum pemerintahan yang baik (good governance) yakni aspek partisipasi publik sehingga nampak adanya transparansi penyelenggaraan pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel).

Aspek akuntabilitas dalam pelayanan publik sejak lama diatur melalui Keputusan Menteri PAN No. KEP/26/M.PAN/2/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang Teknik Transparansi dan Akuntabilitas Penyelenggaraan Pelayan Publik. Ketentuan ini mengatur tentang aspek pertanggungjawaban oleh penyelenggara pelayanan publik kepada masyarakat dan kepada atasan/pimpinan pada unit pelayanan instansi pemerintah sesuai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2005), ada tiga akuntabilitas pelayanan publik yakni akuntabilitas kinerja, akuntabilitas biaya, dan akuntabilitas produk pelayanan publik. Akuntabilitas kenerja berkaitan dengan proses kerja tingkat ketelitian, kedisiplinan kerja, kejelasan aturan, bekerja sesuai janji layanan dan masyarakat diberi akses melakukan penelitian terhadap kinerja pelaksana pelayanan publik.

Sedangkan akuntabilitas biaya berkaitan dengan biaya pelayanan yang dipungut sesuai ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, dan membuka kanal pengaduan jika terdapat penyimpangan biaya pelayanan.

Sementara akuntabilitas produk pelayanan publik yang dimaksud adalah persyaratan teknis, prosedur, mekanisme kerja yang sederhana dan harus jelas sehingga dapat dipertanggungjawabkan dari segi kualitas dan keabsahan produk pelayanan. Aspek akuntabilitas ini menjadi perhatian Ombudsman RI dalam program penilaian kepatuhan pada Undang-undang Pelayanan Publik yang dilaksanakan setiap tahun pada setiap kantor PTSP baik pada pemerintah provinsi, maupun PTSP pada kabupaten/kota. (ORI-Sulsel)


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...