Pemilu 2019: Pilih Caleg yang Syantik
Lampung - Kabar gembira datang untuk para calon anggota legislatif (caleg) yang pernah menjadi narapidana kasus korupsi. Pada perhelatan pesta demokrasi pemilihan umum (pemilu) 2019 mereka diperbolehkan menjadi kontestan yang bisa dipilih sebagai wakil rakyat untuk pemilihan legislatif (pileg).
Padahal sebelumnya sesuai Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota, para mantan nara pidana kasus korupsi tidak diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Pro dan kontra PKPU tersebut berakhir dengan keluarnya Putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia yang membatalkan peraturan itu dengan pertimbangan bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Legislator Mantan Napi Korupsi
Jika diamati sepanjang hampir 5 (lima) tahun ke belakang, cukup banyak anggota legislatif yang diproses hukum karena tersangkut kasus korupsi. Beritanya tidak hanya menjadi konsumsi di tingkat lokal namun sampai skala nasional. Tetapi hal tersebut tidak cukup menjadi pertimbangan bagi partai untuk tidak mencalonkan mereka pada Pemilu 2019, partai masih cukup kompromistis terhadap mereka.
Dikutip dari baranews.co, 24/09/2018, Partai Golkar diketahui tetap mencalonkan dua kadernya yang berstatus terpidana korupsi untuk DPR. Mereka adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah I Golkar Aceh TM Nurlif dan Ketua Harian DPD I Golkar Jawa Tengah Iqbal Wibisono. Selain Golkar, beberapa partai yang diduga mencalonkan bekas napi korupsi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Partai Gerindra misalnya, mengajukan M. Taufik untuk DPRD DKI Jakarta, sementara Partai Nasdem mencalonkan Mandra yang pernah dipidana satu tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor. PDI-P pun mengusung Sumi Harsono untuk kursi DPRD Sidoarjo.
Upaya Pencegahan
Dilihat dari sisi pemberantasan korupsi di Indonesia Putusan MA tersebut tidak populer. Apalagi belakangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjebloskan banyak tersangka kasus korupsi dari kalangan anggota dewan. Terakhir yang cukup heboh hampir semua Anggota DPRD Kota Malang Jawa Timur ditahan oleh KPK dalam kasus korupsi.
Keadaan tersebut cukup miris dan menyakiti perasaan publik. Jargon-jargon dan janji kampanye mereka membela kepentingan rakyat dikala pencalonan bisa dibilang isapan jempol belaka. Janji tinggal janji, rakyat terus dibohongi dengan kelakuan mereka. Lantas apakah rakyat masih percaya dengan mereka, caleg mantan nara pidana korupsi? Hal ini tentu relatif. Tapi upaya KPU mengeluarkan PKPU di atas menunjukkan bahwa para caleg mantan narapidana kasus korupsi jangan diberi tempat lagi. Kenapa? karena kita menyadari tingkat kecerdasan dan toleransi pemilih kita besar kemungkinan masih kalah tajam dan kuat dengan 'tawaran kotor atau janji manis' mereka.
Upaya yang dilakukan oleh KPU dengan PKPU tersebut merupakan bentuk pencegahan korupsi agar tidak terulang kembali dengan pelaku yang sama sekaligus membangun generasi baru penyelenggara negara yang bersih dan punya komitmen anti korupsi. Jauh sebelum adanya putusan MA tersebut, sistem pencalonan caleg dan calon kepala daerah yang tadinya melarang mantan napi untuk ikut serta dalam pileg telah dianulir dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 04/PUU-VII/2009.
MK menilai bahwa aturan larangan napi tidak boleh mencalonkan diri dalam pileg ialah inkonstitusional. Namun demikian, MK membuat keputusan bahwa agar rakyat dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya, perlu ada ketentuan bahwa mantan narapidana yang maju menjadi caleg harus menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati diri mereka agar tidak ditutup-tutupi atau disembunyikan latar belakangnya.
Klausul tersebut yang kemudian diadopsi dalam Pasal 240 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dimana dalam ketentuannya bahwa seorang mantan terpidana yang di pidana lima tahun penjara tetap bisa mendaftar sebagai caleg selama ia mengumumkan kepada publik terkait statusnya sebagai mantan terpidana.
Memperhatikan aturan itu semua, sekarang penting untuk diketahui publik adalah adanya informasi yang bermutu dari para calon, partai, dan KPU menyangkut para napi korupsi yang masih ikut mencalonkan diri sebagai caleg. KPU sebagai penyelenggara pemilu sepantasnya mampu melaksanakan transparansi penyelenggaraan untuk membangun informasi calon tersebut.
Menurut Krina (2003 : 13) mendefinisikan transparansi sebagai prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaanya serta hasil-hasil yang dicapai. Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan, sedangkan yang dimaksud dengan informasi ialah mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat beradasarkan preferensi publik.
Dengan demikian harapan terbangunnya kualitas pemilu dan iklim pro anti korupsi dapat dilihat dari hasil penyelenggaraan KPU yang transparan terhadap caleg mantan narapidana korupsi. Bentuk dari transparansi itu seperti adanya produk informasi caleg tersebut yang mudah diakses oleh publik. Sehingga rakyat pada Pemilu 2019 nanti benar benar jelas dalam memilih caleg, khususnya bisa memilih mereka yang siap melayani dan anti korupsi atau disingkat syantik! (ORI-Lampung)