Pemeriksaan Ombudsman sebagai Magistrature Of Influence
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia tidak secara eksplisit menyebut Ombudsman sebagai lembaga pemberi pengaruh (Magistrature of Influence), implisitasnya tercermati dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 pada paragraf kesepuluh yang menjelaskan bahwa, "Ombudsman dituntut untuk mengutamakan pendekatan persuasif kepada para pihak agar Penyelenggara Negara dan pemerintahan mempunyai kesadaran sendiri dapat menyelesaikan Laporan atas dugaan Maladminsitrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik."
Ombudsman di seluruh dunia bekerja bukan dengan ancaman sanksi yang menakutkan, melainkan dengan persuasi atau sentuhan tanggung jawab yang menyadarkan. Ombudsman lebih memperlakukan aparat negara atau pejabat publik lebih sebagai pribadi-pribadi yang berhati nurani dan berakal budi, ketimbang sebagai sosok-sosok yang hanya berkapasitas fisikal jasmani.
Konsep Ombudsman yang memberikan Pengaruh (Magistrature Of Influence)
Ombudsman RI sebagai magistrature of influence dalam pengawasan pelayanan publik, memainkan peran meyakinkan institusi publik dan birokrasi bahwa koreksi dan rekomendasi atas laporan dugaan maladministrasi serta deteksi dan saran atas potensi maladministrasi, sangat menguntungkan institusi publik dan birokrasi dalam perbaikan sistem pelayanan publik sehingga praktik maladministrasi tidak terus berulang, yang secara langsung akan meningkatkan kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan kepada warga masyarakat.
Mengefektifkan peran Ombudsman sebagai magistrature of influence, perlu disinergikan dengan pengembangan sanksi sosial seperti budaya malu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terkhususnya praktik penyelenggaraan pemerintahan, serta pelembagaan politik dan nilai-nilai politik yang menciptakan transparansi dan ruang partisipasi publik dalam memberikan kontrol yang optimal terhadap tata kelola pemerintahan.
Dalam pelaksanaan tugas memeriksa Laporan, Ombudsman wajib berpedoman pada prinsip independen, non-diskriminasi, tidak memihak, dan tidak memungut biaya serta wajib mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para pihak dan mempermudah Pelapor. Dengan demikian Ombudsman dalam memeriksa Laporan tidak hanya mengutamakan kewenangan yang bersifat "memaksa", misalnya pemanggilan, namun Ombudsman dituntut untuk mengutamakan pendekatan persuasif kepada para pihak agar Penyelenggara Negara dan pemerintahan mempunyai kesadaran sendiri dapat menyelesaikan Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan menggunakan pendekatan ini berarti tidak semua Laporan harus diselesaikan melalui mekanisme Rekomendasi. Hal ini yang membedakan Ombudsman dengan lembaga penegak hukum atau pengadilan dalam menyelesaikan Laporan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga pengawasan masyarakat yang independen memiliki kewenangan melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara terkait dengan proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat.
Produk yang dikeluarkan Ombudsman khususnya dalam Pemeriksaan Laporan antara lain adalah, Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP), hingga Rekomendasi, yaitu tindakan korektif/saran tertentu kepada Penyelenggara Negara dalam rangka melakukan perbaikan proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Tindakan korektif, saran rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman tidak mengikat secara hukum (non-legally binding), tetapi mengikat secara moral (morally binding). Dengan demikian efektifitas kerja pengawasan dari Ombudsman di Indonesia pada masa akan datang sangat ditentukan oleh empat hal: ada tidaknya political will Penyelenggara Negara melakukan perbaikan mutu pelayanan umum, dukungan politik dari DPR dalam mengesahkan Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia, dukungan konstitusional dari MPR dalam mengesahkan pengaturan Ombudsman dalam amandemen UUD 1945, dukungan masyarakat termasuk Pers.
Sebagai lembaga pengawas eksternal yang independen, Ombudsman memiliki karakteristik yang relatif berbeda dengan pengawas-pengawas yang selama ini telah ada, dikarenakan Ombudsman berfungsi sebagai pemberi pengaruh bukan pemberi sanksi(magistrature of sanction). Misalnya dalam hal pemeriksaan Laporan Masyarakat Ombudsman lebih menggunakan tindakan persuasif, walaupun tidak dibekali atau tidak membekali diri dengan instrumen pemaksa (legally binding/sub poena power) pengaruh Ombudsman tetap sangat kuat.
Peran
Ombudsman Bengkulu sebagai Lembaga
Pemberi Pengaruh dalam hal Kepatuhan Terlapor melaksanakan Tindakan Korektif pada
Hasil Pemeriksaan Laporan
Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) yang disusun Ombudsman Bengkulu telah melewati semua tahapan pemeriksaan yang ada dan kemudian terdapat kesimpulan yaitu ditemukannya maladministrasi, tidak ditemukan maladministrasi, atau ditemukan maladministrasi namun telah mendapat penyelesaian dari instansi Terlapor. LAHP Ombudsman Bengkulu yang terdapat maladministrasi akan diberikan tindakan korektif sesuai dengan substansi laporan yang ada. Tindakan korektif inilah yang akan dijalankan oleh Terlapor terhadap tindakan maladminstrasi yang telah dilakukan. LAHP yang seperti inilah yang telah disusun akan diberitahu kepada Pelapor dan diberikan kepada Terlapor untuk ditindaklanjuti. LAHP yang terdapat tindakan korektif ini yang diminta untuk dipatuhi oleh Terlapor. LAHP yang ditemukan maladministrasi dan terdapat tindakan korektif inilah yang akan dilihat apakah dipatuhi atau tidak dipatuhi oleh Terlapor.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Manajemen Penyelesaian Laporan (SIMPeL) 3.0 data terkait Laporan Masyarakat pada Tahun 2018 jumlah laporan yang masuk sebanyak 117 Laporan, dan LAHP yang ditemukan Maladministrasi ada 5 Laporan: 4 Laporan dijalankan tindakan korektif, 1 Laporan yang tidak menjalankan tindakan korektif dan telah dilimpahkan ke Tim Resolusi dan Monitoring Ombudsman RI. Kemudian Laporan Masyarakat pada Tahun 2019 jumlah Laporan yang masuk sebanyak 105 Laporan. LAHP yang ditemukan Maladministrasi dan ada tindakan korektif sebanyak 2 Laporan dan telah dijalankan oleh Terlapor, Laporan Masyarakat pada tahun 2020 hingga September 2020 berjumlah 38 Laporan, dan LAHP yang ditemukan Maladministrasi ada 2 Laporan dan telah dijalankan oleh Terlapor.
Berdasarkan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Laporan, indikator yang dipakai oleh Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Bengkulu dalam melihat kepatuhan atau tidak patuh Terlapor adalah dijalankannya tindakan korektif dan jangka waktu. Dijalankannya tindakan korektif yang ada pada LAHP Ombudsman Bengkulu yang ditemukannya maladministrasi sebagian atau keseluruhan. Tindakan korektif yang dijalankan sebagian akan tetapi yang dijalankan merupakan substansi laporan dianggap telah patuh terhadap LAHP. Dijalankannya sebagian akan tetapi bukan merupakan substansi maka dianggap belum mematuhi LAHP. Dijalankan semua tindakan korektif maka dianggap telah patuh terhadap LAHP dan tidak dijalankan semua tindakan korektif artinya tidak mematuhi LAHP, dalam hal Terlapor menjalankan tindakan korektif ini disinilah peran Ombudsman dalam hal mempengaruhi Terlapor untuk menjalankan tindakan korektif dalam rangka upaya perbaikan pelayanan publik.
Kepatuhan
terhadap LAHP juga dilihat dari indikator jangka waktu yang telah ditentukan.
Jangka waktu yang ditentukan adalah 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
LAHP. Dijalankannya tindakan korektif sebelum jangka waktu 30 (tiga puluh)
diterimanya LAHP, maka dianggap mematuhi LAHP. Belum dijalankan tindakan korektif
sebelum jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja maka dianggap belum mematuhi
LAHP. Terlapor yang belum menjalankan tindakan korektif sebelum jangka waktu 30
(tiga puluh) hari kerja maka akan dilakukan monitoring. Hasil monitoring akan
dilihat, apakah ada tindak lanjut ataukah tidak. Jika tetap tidak ditindaklanjuti maka laporan akan dilimpahkan kepada tim resolusi dan monitoring yang
ada di Ombudsman
Republik Indonesia.
Ombudsman RI dan Ombudsman RI Perwakilan berdasarkan sejarah awal berdirinya termasuk
kepada lembaga pemberi pengaruh, bukan sebagai lembaga pemberi sanksi. Sehingga
memang dalam menjalankan fungsi, tugas, dan kewenangannya Ombudsman Republik
Indonesia dan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan
mengedepankan penyelesaian dan perbaikan pada pelayanan publiknya.  Â