• ,
  • - +

Artikel

Pelayanan Publik Milik Publik atau Milik Pemerintah?
• Selasa, 29/12/2020 • Eko Sutowo
 
Eko Sutowo ASN Ombudsman RI Perwakilan Lampung

Seringkali kita mendengar kisah rekan, teman atau siapapun di media berbagi pengalaman ketika baru pulang dari luar negeri. Saat berada di sana dan membandingkannya dengan negara kita, biasanya akan nampak perbedaan yang sedikit mencolok. Lalu dengan santai kita berseloroh nama nya juga warga +62.

Dalam pekan ini kita disuguhi sebuah fenomena menarik soal reshuffle menteri kabinet Presiden Jokowi. Bagi saya munculnya nama Sandiaga Uno sebagai salah satu menteri menjadi menarik. Lawan dalam pemilihan Presiden sekarang berkerja bersama membangun bangsa. Tidak hanya satu tapi Capres dan Cawapresnya sekaligus, lengkap.

Hal ini bisa jadi menjadi awal sebuah kesadaran baru bahwa untuk membangun bangsa menjadi besar maka kepentingan yang harus didahulukan oleh siapapun adalah kepentingan bersama bukan kepentingan pribadi atau golongan. Sama halnya dengan pelayanan publik di negeri ini, harusnya menjadi kepedulian bersama bukan hanya sebagian apalagi segolongan lembaga atau organisasi tertentu.

Berkaca pada refleksi akhir tahun yang dilakukan oleh Ombudsman RI, ada beberapa hal pokok yang menjadi prestasi produktif Ombudsman RI selama kurun waktu tahun 2020. Di antaranya adanya sekolah layanan publik yang intinya mengedukasi kesadaran masyarakat tentang kepemilikan pelayanan publik adalah tanggung jawab bersama. Ada juga penempatan nomor HP Insan Ombudsman RI di loket-loket layanan pemerintah ini juga punya nafas yang sama bahwa peningkatan kualitas layanan publik juga tanggung jawab bersama. Penulisan buku tentang bagaimana wajah layanan publik di negeri ini serta beberapa masukan dari masyarakat menunjukkan bahwa proses menuju pelayanan publik prima harusnya menjadi tanggung jawab bersama.

Ada masukan salah satu masyarakat agar pelayanan publik di negeri ini dikemas dalam bentuk yang lebih menarik dan luas seperti program ILCnya Bang Karni Ilyas. Ada semacam acara di televisi nasional kita yang mengangkat isu pelayanan publik dengan segala dinamikanya. Bila perlu ditayangkan di jam-jam utama. Ditayangkan stasiun ternama tentu akan menjadi lebih menarik lagi. Atau melakukan internalisasi nilai bahwa peningkatan kualitas pelayanan publik di neger ini adalah kewajiban bersama melalui acara talkshow atau acara hiburan.

Selama ini terkesan bahwa pelayanan publik hari ini adalah "hanya" milik pemerintah. Pemerintah pusat maupun daerahlah yang bertanggung jawab besar sebagai pemegang amanah untuk melayani, sementara masyarakat lebih berposisi menjadi "raja" yang harus dilayani. Pemerintah salah jika pelayanan publik buruk, namun rakyat menjadi tidak masalah jika melanggar aturan pelayanan, atapun sebaliknya. Jika demikian sebagai bangsa kita tidak akan pernah bisa mewujudkan sebuah pemerintahan yang baik jika masing-masing ego merasa bahwa kebersamaan hanya ada dalam kesenangan pribadi dan kelompok. Bukan pada sikap saling menghargai dan siap berkorban demi kebahagiaan bersama.

Sebagian besar kita tentu tahu kisah seorang pemuda Yaman yang berangkat haji bersama Ibundanya tercinta, dengan berjalan kaki sambil menggendong sang Ibu yang sudah tua dari kota Qarni hingga Mekkah. Kalau di Indonesiakan antara Jakarta sampai Surabaya. Dengan kondisi medan juang yang jauh berbeda, jalan yang dilewati padang pasir panas di siang hari dan gurun nan dingin di malam harinya. Belum lagi bicara soal kecukupan bekal makanan dan pakaian. Membayangkannya pastilah tidak seperti perjalanan traveling anak-anak milenial yang acaranya laris manis di stasiun TV Nasional.

Penyebabnya apa? Permintaan Ibunda tersayang yang sudah tua dan lumpuh "Nak tahun ini Ibu ingin melihat Ka'bah dan beribadah haji". Meski dalam kondisi fakir, respon seorang anak yang tulus mencintai dan berbakti melayani, sangat mengagumkan dalam segala keterbatasan. Tak mampu membeli Unta, akhirnya membeli anak lembu yang setiap hari dipakai berlatih dengan cara digendong naik turun bukit agar kelak kuat menggendong sang Ibu. Bahkan mengacuhkan hinaan orang yang menganggapnya gila. Bukan hal mudah melakukan perjalanan nun jauh tanpa sarana apapun hanya dengan kedua kaki dan punggungnya. Entah berapa banyak cucuran keringat dan darah untuk bisa mewujudkan keingian Ibundanya. Bahkan saat di depan Ka'bah pun ibunya heran karena Uwais hanya meminta agar Allah SWT mengampuni dosa-dosa Ibundanya. Ketika ibunya bertanya, ia dengan penuh bakti dalam senyum berkata bahwa cukuplah jika ibunya meridhoi dan menerima baktinya maka Allah SWT pasti akan mengizinkan ia untuk menemani ibunya di surga. Sikap mental ini berbuah kebaikan bagi sang anak hingga dua orang khalifah diminta oleh Sang Nabi untuk meminta di do'akan oleh pemuda tadi.

Bukankah Ibu pertiwi telah meminta kepada anak-anak negeri ini melalui UUD dan Pancasila bahwa Kemakmuran dan Keadilan Sosial (baca: Publik) bagi seluruh rakyat Indonesia. Adalah permintaan yang jika dijawab oleh Pemuda tadi dengan sikap rela berkorban demi kebahagiaan bersama. Bisa jadi wajah negeri ini akan berbeda, atau mungkin pemuda-pemuda masa lalu telah melakukannya. Semoga di akhir tahun ini sebagai pemuda-pemudi bangsa ini mendengarkan permintaan Ibu Pertiwi dan menyambutnya seperti Uwais hingga kita mempu mengantarkan negeri ini menuju negeri yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga tahun depan Ombudsman bersama masyarakat akan menjadi Uwais-uwais masa kini.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...