• ,
  • - +

Artikel

"Pasar yang Adil, Negara yang Hadir: Peran Ombudsman dalam Mengawasi Layanan Publik Ekonomi"
ARTIKEL • Kamis, 03/07/2025 • M Ilham Setiawan Bahri
 

Pedagang pasar dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan poros utama ekonomi rakyat. Mereka menyumbang lebih dari 61% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menyerap 97% tenaga kerja. Namun dalam praktik pelayanan publik, kelompok ini kerap kali tidak hanya dilupakan, tetapi bahkan diposisikan sebagai sumber masalah. Kebijakan revitalisasi pasar, penertiban ruang kota, dan skema pembiayaan UMKM justru memperlihatkan bias struktural (ketidakadilan/ketimpangan karena aturan, kebijakan, atau sistem yang secara tidak langsung merugikan) yang menyulitkan mereka, baik dalam mengakses ruang usaha, mendapatkan pembiayaan, maupun mendapatkan perlindungan dalam berusaha.

Salah satu program monumental di era Presiden Joko Widodo adalah Program Revitalisasi 1.000 Pasar Rakyat pada tahun 2015, dengan target pembangunan 5.000 pasar selama lima tahun. Hingga 2024, tercatat lebih dari 5.400 pasar telah dibangun atau direvitalisasi. Secara kuantitatif, angka ini sangat mengesankan. Namun secara kualitatif, banyak pasar hasil revitalisasi justru berpotensi menjadi sumber beban baru bagi pedagang, karena kenaikan tarif sewa, biaya perawatan, dan pembebanan retribusi tambahan dari pengelola, baik pemerintah daerah maupun BUMD/BUMN.

Revitalisasi pasar dalam beberapa kasus dilakukan tanpa terlebih dahulu melakukan kajian sosial dan konsultasi dengan pengguna pasar. Fasilitas fisik yang diperbarui, misalnya gedung bertingkat, area parkir, dan sistem drainase baru, menghasilkan biaya operasional yang lebih tinggi. Ini kemudian dibebankan ke pedagang dalam bentuk kenaikan sewa kios, atau pungutan pemeliharaan pasar. Situasi ini menjadi ironis, karena bangunan yang secara fisik lebih "modern" justru memperbesar beban usaha bagi mereka yang secara ekonomi paling lemah.

Tak hanya itu, desain pasar hasil revitalisasi seringkali tidak mempertimbangkan kebutuhan pedagang dan perilaku konsumen. Banyak pasar yang disusun dalam denah tertutup, kios terisolasi dari jalur utama, atau tidak memperhitungkan alur pergerakan pengunjung. Alhasil, kios yang berada di lokasi tidak strategis cenderung sepi, dan pedagang terpaksa "keluar" ke area luar pasar demi bertemu konsumen. Fenomena ini terjadi secara masif di berbagai kota dan menjadi penyebab munculnya pedagang kaki lima di badan jalan. Namun sayangnya, setiap kali terjadi kesemrawutan atau kemacetan, yang disalahkan adalah pedagang, bukan desain pasar yang gagal merespons kebutuhan riil.

Di tempat lain, seperti bandara atau pusat wisata, desain ruang usaha dirancang untuk membuat pengunjung secara alami melewati seluruh toko dan kios, sebuah sistem rekayasa sosial yang adil dan adaptif. Namun dalam pasar rakyat, pendekatan seperti ini justru diabaikan. Padahal, ruang pasar bukan sekadar bangunan, tetapi adalah arena interaksi sosial dan ekonomi rakyat. Kebijakan publik yang baik seharusnya melihat pasar sebagai ruang pelayanan, bukan hanya sumber retribusi atau target PAD dan sumber peningkatan profit perusahaan pengelola (BUMN/BUMD).

Kondisi semakin kompleks ketika ruang usaha yang terjangkau menjadi langka. Skema sewa jangka panjang 10-20 tahun dengan pembayaran ratusan juta rupiah di muka membuat pedagang kecil tersisih. Dalam situasi ini, muncullah celah layanan yang kemudian diisi oleh pihak-pihak yang memiliki modal. Mereka membeli atau menyewa banyak kios sekaligus, lalu menyewakannya kembali kepada pedagang kecil.

Fenomena ini sering dicap negatif, namun sejatinya berakar dari kebutuhan layanan yang tidak disediakan oleh negara atau penyelenggara pasar. Logikanya mirip dengan penjualan bensin eceran atau LPG 3 kg di tingkat pengecer: ketika distribusi formal tidak menjangkau titik-titik kebutuhan mikro, maka ekonomi informal mengisi celah tersebut sebagai mekanisme adaptif. Dalam konteks pasar, ketika pemerintah tidak menyediakan ruang usaha yang fleksibel dan terjangkau, maka pihak pemodal melihatnya sebagai peluang distribusi ekonomi. Ini adalah konsekuensi langsung dari kegagalan layanan publik, bukan semata persoalan moralitas pelaku.

Kondisi ini seharusnya menyadarkan negara bahwa kebutuhan akan ruang usaha mikro dan fleksibel sangat nyata. Maka yang dibutuhkan adalah pengaturan, bukan penertiban sepihak. Pemerintah perlu membuka opsi sewa kios bulanan, mingguan, bahkan harian, untuk merespons kebutuhan ibu rumah tangga, usaha rumahan musiman, hingga pelaku usaha baru yang ingin mencoba menjajakan produknya. Skema ini tidak hanya adil, tetapi juga membuka mobilitas ekonomi warga dari informal ke formal secara bertahap.

Masalah lain yang tidak kalah penting adalah akses terhadap pembiayaan. Meski program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dirancang sebagai solusi, pelaksanaannya di lapangan masih jauh dari ideal. Ombudsman RI mencatat bahwa masih banyak bank penyalur KUR yang meminta agunan untuk kredit di bawah Rp100 juta, padahal sesuai Peraturan Menko Perekonomian Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Menko Perekonomian Nomor 1 Tahun 2023, mengatur bahwa agunan tambahan untuk KUR mikro tidak diperbolehkan. Pelanggaran ini menciptakan hambatan sistemik yang menjauhkan UMKM dari akses pembiayaan yang dijanjikan negara.

Selain itu, sistem KUR sendiri lebih berpihak pada pelaku usaha yang sudah mapan secara administratif, memiliki NPWP, NIB, dan rekening bank. Padahal, pelaku UMKM di pasar rakyat sebagian besar masih berada di luar sistem formal dan belum terintegrasi dalam ekosistem keuangan formal. Tanpa kebijakan afirmatif yang membuka jalan masuk bagi kelompok ini, program pembiayaan hanya akan dinikmati oleh segelintir UMKM yang sudah relatif mapan.

Meskipun negara telah melakukan investasi besar dalam pembangunan pasar dan pembiayaan UMKM, struktur kebijakan yang tidak inklusif justru memperbesar ketimpangan. Revitalisasi pasar seharusnya bukan hanya mempercantik bangunan, tetapi juga menguatkan fungsi sosial pasar sebagai ruang hidup ekonomi rakyat. Kunci utamanya terletak pada: desain ruang yang adil, distribusi kios yang merata, skema sewa yang fleksibel, serta pembiayaan yang inklusif dan tanpa syarat memberatkan.

Negara tidak cukup hadir sebagai pembangun, ia harus menjadi pelayan. Pelayanan publik harus mengutamakan keadilan, bukan hanya ketertiban. Pedagang pasar dan pelaku UMKM bukan obyek penertiban atau sumber kemacetan, melainkan penggerak ekonomi yang membutuhkan perlindungan. Saatnya penyelenggara pemerintahan berhenti melihat pasar dari sudut pandang retribusi dan profit semata, dan mulai melihatnya sebagai fondasi ekonomi rakyat yang harus diberdayakan, difasilitasi, dan dilibatkan sejak awal dalam setiap perumusan kebijakan.

Sebagai lembaga negara yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, Ombudsman RI memiliki peran strategis dalam membenahi tata kelola pasar dan pelayanan kepada UMKM. Sejumlah pendekatan yang dapat dilakukan meliputi:

1. Melakukan Investigasi Atas Prakarsa Sendiri atas dugaan praktik maladministrasi dalam pengelolaan ruang usaha, distribusi kios, hingga penetapan tarif sewa pasar yang tidak adil.

2. Melakukan sistemic review tata kelola kebijakan perpasaran agar skema revitalisasi pasar disesuaikan dengan daya beli dan karakteristik pedagang.

3. Mendorong partisipasi publik melalui saluran laporan pengaduan masyarakat untuk memastikan bahwa dalam setiap proyek pembangunan pasar, dilakukan pelibatan pedagang dan UMKM selaku pengguna layanan, sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 dan PP No. 96 Tahun 2012 tentang Pelayanan Publik.

4. Mendorong OJK dan bank penyalur KUR untuk tunduk pada ketentuan tanpa agunan bagi pinjaman di bawah Rp100 juta, serta membuka kanal pengaduan KUR di kantor pusat dan perwakilan Ombudsman daerah.

5. Mengembangkan indikator pengawasan terhadap pasar rakyat yang mengukur aspek keadilan akses, proporsionalitas sewa, keterjangkauan ruang usaha, dan inklusi pelaku usaha informal.

Dengan pendekatan-pendekatan ini, Ombudsman RI dapat memainkan peran penting sebagai empowering bridge antara negara dan rakyat, bukan hanya menjadi "wasit pelanggaran", tetapi juga fasilitator kebijakan yang mendorong afirmasi terhadap kelompok rentan seperti pedagang pasar dan UMKM.

Revitalisasi pasar dan kebijakan pemberdayaan UMKM tidak boleh berhenti pada angka dan gedung. Keadilan pelayanan publik menuntut kepekaan terhadap kebutuhan sosial, ekonomi, dan realitas mikro pelaku usaha. Negara harus hadir tidak semata sebagai operator proyek, tetapi sebagai pelindung ruang hidup ekonomi rakyat. Pedagang pasar dan pelaku UMKM bukan beban tata kota, melainkan subyek pembangunan yang layak dilibatkan, difasilitasi, dan dilindungi.

M Ilham Setiawan Bahri

Asisten Ombudsman RI





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...