Paradigma Baru Pelayanan Publik Prima

Mengacu pada judul di atas, tulisan ini akan menjelaskan paradigma atau pandangan atau perspektif baru terkait dengan pelayanan publik. Dalam beberapa literature, istilah paradigma diartikan sebagai cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Dengan pengertian ini maka saya akan fokuskan kajiannya bagaimana cara pandang baru (perspektif) atau yang secara akademis sering disebutkan dengan paradigma baru tentang pelayanan publik.
Paradigma lama dan fakta selama ini dalam pelayanan publik dimana para petugas bekerja sekedar telah melaksanakan kewajibannya. Pelayanan seadanya, tanpa standar. Masih banyak kantor pemerintah yang tidak memiliki standar pelayanan. Padahal standar pelayanan adalah kewajiban yang harus diadakan pada setiap instansi pelayanan publik, yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Selain pelayanan seadanya dan tanpa standar, ditemukan pula adanya maladministrasi, adanya pungli, lemahnya profesionalitas aparatur pelaksana, dan rendahnya komitmen pimpinan untuk melayani publik. Inilah fakta dan paradigma lama yang harus direvisi menuju paradigma baru pelayanan publik prima.
Hemat saya pelayanan publik prima (service of excellent) adalah pelayanan sebaik-baiknya yang menimbulkan kepuasan pada warga masyarakat. Pelayanan prima berorientasi pada pemenuhan harapan publik (public expectation) mengenai kualitas barang, jasa, dan pelayanan administrasi. Jadi bukan pelayanan biasa saja. Tetapi pelayanan excellent.
Saya yakin, jika mau kita pun bisa melakukan hal ini di Aceh. Pelayanan prima sangat penting dilakukan oleh setiap aparatur guna mengotimalkan kepercayaan publik kepada penyelenggara pelayanan publik (Pemerintah, BUMN/BUMD, BHMN, dll). Intinya, pelayanan publik prima akan memberikan kepuasan kepada warga masyarakat. Dan, kepuasaan warga masyarakat akan menumbuhkembangkan kepercayaan publik kepada pemerintah. Inilah yang selama ini seperti tergerus. Padahal kepercayaan publik kepada pemerintah penting sekali agar semua regulasi dan kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah diapresiasi dan dipatuhi warga masyarakatnya.
Hemat saya, diperlukan beberapa syarat untuk mewujudkan pelayanan publik prima, yaitu pertama, pemenuhan standar pelayanan. Ini wajib dilaksanakan dan dipampangkan pada tempat yang jelas terlihat oleh warga masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Ini indikator utama pelayanan publik prima. Kedua, pelayanan yang diberikan harus mengacu pada hukum sehingga memberikan kepastian hukum. Ketiga, petugas yang memberikan pelayanan harus yang kompeten. Idealnya minimal memenuhi kompetansi akademis dan kompetansi teknis. Keempat, pelayanan yang diberikan harus cepat dan tepat serta sesuai dengan janji layanan. Misalnya, suatu paspor dijanjikan secara terpampang diselesaikan dalam tiga hari kerja, maka jadwal tersebut mesti dilaksanakan. Kelima, informasi yang disampaikan mesti jelas, akurat dan dipahami para pengguna layanan.
Untuk menciptakan pelayanan publik prima perlu dilakukan dengan sikap bersahabat, ramah dan keterbukaan baik antara petugas dengan pengguna layanan. Penampilan yang enak pandang (good looking) ditambah senyum hangat dari petugas merupakan nilai tambah melahirkan pelayanan prima. Petugas harus bekerja secara efektif dan efesien. Tidak boleh rasis. Tidak boleh diskriminasi membedakan pelayanan berdasarkan suku, warna kulit dan lain-lain.
Dalam paradigma baru pelayanan publik prima, para petuga pemberi layanan perlu menciptakan suasana agar publik merasa dipentingkan. Publik mesti dianggap sebagai mitra. Jangan dianggap sebagai orang yang levelnya lebih rendah. Upayakan seoptimal mungkin pelayanan yang diberikan ada sentuhan passion dari para petugas. Maknanya, petugas memang benar-benar tulus dan berupaya sebaik mungkin dalam menberikan pelayanan. Bukan hanya sekedar melepaskan kewajiban, lalu mengharapkan gaji di awal bulan. Jangan seperti itu. Upayakan seoptimal mungkin memberikan pelayanan yang dapat memuaskan warga masyarakat.
Dalam era kekinian, pelayanan publik prima mesti berbasis teknologi informasi. Sehingga, pelayanannya dapat dilakukan secara mudah, murah dan objektif. Jika pelayanannya berbayar, maka lakukan pembayaran secara nontunai yang dapat menghilangkan potensi pungli. Hemat saya, hal ini penting dilakukan karena selain dapat memberika kepuasan keapda warga masyarakat, juga akan dapat memberikan dampak (outcome) berupa citra positif pada pemerintah.
Adanya penanganan pengaduan juga merupakan suatu paradigm baru dalam pelayanan publik. Sediakan wadah dimana warga masyarakat yang sedang membutuhkan pelayanan bisa menyampaikan keluhan atau pengaduannya. Jangan biarkan warga yang membutuhkan pelayanan terbengong-bengong tanpa dipedulikan oleh petugas. Jika pengguna layanan merasa tidak puas terhadap pelayanan baik terhadap sikap atau kinerja petugas ataupun terhadap mekanisme layanan, bahkan mungkin pula terhadap prasarana/sarana layanan, maka tampung keluhan (complaint) tersebut untuk dijadikan bahan masukan dan bahan pertimbangan untuk mengkoreksi keadaan.
Dalam perspektif baru tentang pelayanan publik di negara maju saat ini, masyarakatnya menginginkan pelayanan yang selalu ada dan mudah diakses (they want services that are easy to use, simple to access, reliable and available).  Mereka pun menginginkan fleksibilitas untuk terhubung melalui saluran yang sesuai dengan kebutuhan mereka (they want the flexibility to connect through the channel that suits their particular needs). Mereka menginginkan para petugas pelaksana pelayanan yang cerdas dan inovatif dalam menggunakan teknologi (they want public agencies to be smart and innovative about using technologies). terakhir, mereka menghendaki adanya tempat untuk menyalurkan keluhan atau pengaduan yang secepat mungkin dapat direspon oleh pihak penyelenggara pelayanan publik (they want their complaints to be addressed immediately).
Untuk mencapai paradigma baru di atas, maka tentu perlu didukung dengan the phenomenon of Big Data yang segala sesuatunya berbasis internet. Konsekuensinya maka ponsel android atau smartphone telah menjadi kebutuhan dasar. Seakan tak bisa apa-apa tanpa ponsel. Hampir sepanjang kehidupan warga milineal saat ini hidupnya memakai ponsel. Bangun tidur langsung ponsel dulu yang dilihat. Bahkan sebelum ke kamar mandi pun. Begitu kuatnya pengaruh ponsel yang endless communications and paperless, sehingga jarak yang faktanya begitu jauh menjadi seakan begitu dekat saja. Saya sehari bisa dua kali melihat pekarangan rumah atau kantor Yusra Habib Gani di Denmark. Begitu pula misalnya, dengan menggunakan aplikasi WA saya bisa berkonsultasi tentang bagaimana pelayanan listrik di Amsterdam Belanda pada Mirjam Dueser. Benar-benar komunikasi tanpa batas, yang tak pernah terbayangkan oleh saya waktu SMA dulu.
Selanjutnya, perlu pula saya kemukakan bahwa dalam tataran realitas selama ini, konsep penyelenggaraan pelayanan publik hanya dimaknai sama dengan pelaksana pelayanan saja. Padahal dalam Pasal 8 ayat (2) UU Pelayanan Publik telah tegas ditentukan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik sekurang-kurangnya meliputi pelaksana pelayanan, pengelolaan pengaduan masyarakat, pengelolaan informasi, pengawasan internal, penyuluhan kepada masyarakat, dan pelayanan konsultasi.
Mengacu pada pasal di atas, tegaslah bahwa penyelenggaraan pelayanan publik bukan hanya pelaksana pelayanan. Tetapi termasuk juga pengelolaan pengaduan. Faktanya, nyaris hampir semua atau sebagian besar institusi pelayanan publik di Aceh tanpa unit pengelolaan pengaduan masyarakat. Padahal keberadaan pengelola pengaduan masyarakat bisa menjadi unit penting. Karena dengan adanya pengaduan atau keluhan warga masyarakat, institusi bisa memiliki dasar fakta untuk memperbaiki kinerja, guna menghadirkan pelayanan yang lebih prima.
Adanya unit pengelolaan pengaduan pengaduan masyarakat sebaiknya bersinergi dengan pengawasan internal. Komplain-komplain dari warga masyarakat terhadap pelayanan dapat menjadi bahan analisis bagi unit pengawasan internal. Keluhan-keluhan warga masyarakat pengguna layanan yang telah dianalisis oleh unit pengawasan internal akan bermanfaat bagi pengembangan penyelengaraan pelayanan publik, yaitu untuk menghindari atau mencegah kekeliruan penyimpangan seperti yang sudah pernah terjadi (preventif), untuk memperbaiki kekeliruan atau penyimpangan agar sesuai dengan apa yang telah direncanakan dan mengacu pada  peraturan perundang-undangan (korektif), dan untuk membentuk pemerintahan yang baik dan masyarakat yang sejahtera sesuai tujuan bernegara.
Mengakhiri tulisan ini saya ingin tegaskan bahwa penting bagi aparatur pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang prima kepada warga masyarakatnya. Dengan kinerja aparatur yang benar-benar memiliki passion dalam melayani warga, didukung dengan fasilitas prasarana/sarana yang memadai serta menggunakan tehnologi informasi canggih, maka diharapkan akan menimbulkan kepuasan bagi warga masyarakat. Â Terbangunnya kepuasan warga terhadap pelayanan publik, maka akan semakin memperkuat kepercayaan warga kepada pemerintah. Semoga dan Insya Allah!