• ,
  • - +

Artikel

Pajak: Pelayanan Publik yang Tidak Diinginkan???
ARTIKEL • Selasa, 31/12/2024 • Muhammad Wildan
 

"Tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali KEMATIAN dan PAJAK" (Benjamin Franklin).

Kutipan pembuka tersebut menegaskan bahwa pajak adalah pelayanan publik yang akan selalu mengikuti seseorang mulai dari beliau lahir hingga kematian menjemputnya. Pajak selain dapat melekat kepada aktivitas manusia tersebut (tangible), dapat juga dikenakan kepada benda yang ditransaksikan (intangible). Pajak dalam konteks pelayanan publik merupakan pelayanan yang bersifat memaksa oleh Negara. Hal tersebut sebagaimana definisi Pajak sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, bahwa "Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Negara secara tegas meminta setiap warga negara berkontribusi secara wajib dalam keperluan negara melalui Pajak.

Dalam pelaksanaannya, pemungutan pajak diwarnai resistensi dari masyarakat dan penyimpangan oleh oknum aparatur pemungut pajak atau fiskus fiskus. Dari sisi masyarakat atau wajib pajak, praktik yang biasa terjadi seperti penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion). Penyebab dari praktik tersebut bermacam-macam, mulai dari ketidakmampuan ekonomi, niat yang jahat, dan yang lebih membahayakan bagi negara adalah hilangnya kepercayaan publik (mutual trust) kepada negara. Sementara itu dari sisi negara selaku aparatur pembuat kebijakan pajak sekaligus aparatur pemungut pajak atau fiskus, terdapat beberapa praktik-praktik penagihan maupun pemeriksaan pajak oleh oknum fiskus yang mengarah kepada maladministrasi.

Dalam konteks pelayanan publik, dikenal istilah maladministrasi. Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia).

Penulis mengamati diskursus dalam masyarakat dan media sosial, setidaknya ada beberapa praktik-praktik oleh oknum fiskus dalam penagihan maupun pemeriksaan pajak yang mengarah kepada maladministrasi. Praktik-pratik tersebut diantaranya: ketidaktransparanan dalam pembuktian kesalahan pajak, ketidakjelasan batasan jangka waktu pemeriksaan pajak, intimidasi kepada wajib pajak dalam pemeriksaan pajak, hingga permintaan imbalan untuk mengurangi sanksi administrasi maupun pokok pajak. Tentunya hal-hal tersebut membutuhkan pemeriksaan dan analisis yang mendalam untuk membuktikan terjadinya maladministrasi.

Sejak dahulu sudah ada keresahan dari publik apabila terdapat praktik pemungutan pajak yang tidak sesuai prosedur dan profesional di belahan bumi manapun. Adam Smith dalam buku "An Inquiri into the Natura and Clauses of the Wealth of Nation" (dikenal denganThe Wealth of Nation) menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada asas:Equality (Keadilan),Certainty (Ketepatan), Convenience (Kenyamanan),Economy (Ekonomis/Efisien). Prinsip-prinsip tersebut telah sesuai dengan asas-asas pelayanan publik sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Lebih jauh dalam peraturan tersebut, penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan:

  • kepentingan umum;
  • kepastian hukum;
  • kesamaan hak;
  • keseimbangan hak dan kewajiban;
  • keprofesionalan;
  • partisipatif;
  • persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
  • keterbukaan;
  • akuntabilitas;
  • fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
  • ketepatan waktu; dan
  • kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Sebagai penutup, penulis berpesan kepada Pemerintah untuk melakukan reformasi pajak untuk mengurangi resistensi wajib pajak terhadap pelayanan publik sektor pajak sebagai berikut:

  1. Pajak harus mengedepankan upaya persuasif, bukan represif. Artinya bahwa fiskus harus mengedepankan edukasi pajak terutama bagi pengusaha maupun perseorangan yang baru merintis usaha dan dikenai nominal pajak yang cukup besar. Negara harus memberikan pelayanan konsultasi dan asistensi perpajakan secara pro bono atau tidak dipungut biaya, karena tidak semua warga negara paham terkait aturan perpajakan.
  2. Pajak harus berasal dari kesadaran, bukan paksaan. Artinya bahwa Wajib Pajak harus diberikan pemahaman bahwa uang yang wajib pajak bayarkan kepada negara akan memiliki timbal balik positif terhadap pelayanan publik yang akan wajib pajak tersebut dapatkan pada sektor lainnya, seperti Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur, Keamanan, dan lain sebagainya. Sanksi-sanksi administrasi yang tidak rasional apabila ada kesalahan yang disebabkan oleh ketidakpahaman wajib pajak diharapkan dapat dihilangkan.
  3. Pajak harus membuka ruang diskusi dan komunikasi secara adil dan kredibel. Artinya selain membuka ruang untuk menyanggah suatu ketetapan pajak. Negara harus memastikan bahwa data yang digunakan untuk membuat suatu ketetapan pajak harus kredibel. Serta adil dalam menetapkan suatu ketetapan waktu bagi wajib pajak untuk menyampaikan suatu keberatan, sanggahan, maupun pengaduan. Apabila Fiskus dapat menetapkan pajak hingga 5 (lima) tahun pajak ke belakang, maka kurang adil sepertinya apabila Wajib Pajak hanya diberikan waktu 3 (tiga) bulan untuk memberikan Keberatan kepada fiskus.
  4. Hukuman dan penghargaan harus diberikan kepada Instansi Pengguna uang hasil Pajak. Uang hasil pajak harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran negara. Artinya bahwaoutcome dari pajak harus jelas berdampak kepada perbaikan pelayanan publik bagi masyarakat. Pengawasan tidak hanya dilakukan terhadap pembukuan penggunaan anggaran, melainkan juga yang tak kalah penting adalah hasil dan dampak terhadap pelayanan publik pun harus jelas. Berdasarkan hal tersebut, Ombudsman RI sebagai pengawas pelayanan publik harus diperkuat dan didukung anggaran maupun fasilitasnya sebagaimana halnya instansi lain yang bertugas mengawasi penggunaan keuangan negara.

 "Pajak tanpa Representasi adalah Tirani" (James Otis Jr., 1761).

 

Muhammad Wildan,

Asisten pada Keasistenan Utama III Ombudsman RI Pusat





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...