Paguyuban, bukan Pintu Pungutan
Sejatinya paguyuban wali murid atau siswa di sekolah adalah upaya merekatkan para orang tua siswa untuk berpartisipasi dalam kemajuan pendidikan. Bersama mengawasi perkembangan dan kemajuan pendidikan anak dan juga sebagai pengawas eksternal untuk mencegah potensi maladministrasi di sekolah.
Paguyuban mestinya menjadi wadah kontrol sosial, menjembati kesenjangan yang kian jauh, gotong royongnya masyarakat, memberi masukan positif bagi pendidikan serta teladan dalam semangat menegakan amar maruf nahi mungkar
Sayangnya, Paguyuban di sejumlah sekolah beberapa tahun terakhir bermetamorfosis menjadi pintu pungutan dan akhirnya mencoreng kembali wajah pendidikan yang khitoh-nya seharusnya menjadi sumber nilai kejujuran, etika, keadilan, dan kebajikan.
Berbagai manuver oleh oknum Paguyuban terjadi. Bermula dari inisiatif sendiri atau yang paling banyak permintaan sekolah untuk meningkatkan sejumlah fasilitas: mulai dari ruang belajar, tempat ibadah, persetujuan pembelian LKS, kalender sekolah, seragam sekolah, biaya perpisahan di tempat mahal, tambahan biaya les guru di sekolah, sumbangan untuk guru/wali kelas dan modus lainnya.
Para pengelola atau pengurus utama Paguyuban biasanya para orangtua yang memiliki kemampuan finansial yang cukup, pejabat/tokoh, serta punya pengaruh komunikasi dengan sekolah, bahkan beberapa adalah kerabat atau teman dekat kepala/guru di sekolah
Demi kemajuan anak-anak mereka serta dorongan sekolah untuk partisipasi pendidikan, para orangtua melalui pengurus paguyuban berinisiasi mengelola sumbangan. Sekali lagi niat awal untuk membantu sekolah.
Akhirnya dibuat suatu grup antar mereka (biasanya per kelas/per angkatan), disebarkan bahwa diperlukan biaya sumbangan sebesar sekian dengan batas waktu dan jumlah yang telah di tetapkan serta di kumpulkan ke salah satu orang pengurus. Lagi-lagi dalilnya demi membantu sekolah.
Faktanya ada sebagian besar orangtua dari kalangan kurang mampu, tapi mereka hanya bisa diam atau hanya bisa pasrah. Padahal hati mereka menolak, tidak ikhlas. Namun karena unsur psikologis dan beban mental yang tak bisa di ungkapkan akhirnya orangtua yang kurang mampu ini setuju walau sebenarnya sangat berat.
Ombudsman juga menemukan ada juga pengurus Paguyuban dari unsur ibu-ibu sosialita, yang senang kumpul-kumpul di sekolah atau jalan-jalan selagi anak mereka jam belajar. Mereka rela mengeluarkan uang les tambahan dengan membayar guru di sekolah akhirnya anak belajar bisa sampai sore.
Uniknya, para ibu sosialita ini dengan segala kelebihannya mengakomodir sumbangan les tambahan sekolah, perpisahan, dan biaya jasa guru dengan nilai jumlah dan waktu yang ditentukan. Para orang tua lain pun terpaksa ikut, pasrah, meski hati menolak. Tapi terlanjur karena takut dan khawatir apabila berdampak pada psikologi anak anak mereka.
Para orang tua yang kurang mampu inilah yang biasanya datang konsultasi dan lapor ke Ombudsman. Mereka tertekan, bingung dan beberapa menangis karena tak tahu cara keluar atau solusi atas problem ini.
Dari informasi mereka, guru sekolah yang dibayar untuk les tambahan pun mengeluarkan bahasa "bersayap" apabila tidak ikut les, maka tidak bertanggungjawab atas kelulusan siswa/siswi itu. Dan ini disampaikan ke siswa. Akhirnya para siswa tersebut terbebani, sepulang dari sekolah mereka curhat kepada orangtua dan akhirnya orangtua memikul beban yang sama.
Kisah yang serupa juga kerap di laporkan ke Ombudsman. Dampaknya beragam. Ditahannya ijazah, tak bisa ikut ujian, mendapatkan perlakuan berbeda, bully, beban mental, dan lain sebagainya. Padahal paguyuban bukan komite sekolah, tapi fungsinya sama dengan sekolah.
Persoalan ini setiap tahun selalu terjadi, selalu dilaporkan dan selalu ditindaklanjuti Ombudsman. Tak sekali dua kali Ombudsman mengeluarkan saran dan tindakan korektif, menginisiasi sangsi bagi para oknum di sekolah, mediasi, bahkan juga sudah berkoordinasi dengan tim saber pungli, sampai kerjasama OTT (operasi tangkap tangan)
Korektif Ombudsman: Dinas Pendidikan dan sekolah terkesan lalai dan abai. Seolah main mata tanpa ada sistem deteksi dini. harusnya membuat aturan mengikat serta sangsi tegas agar problem pungutan illegal di sekolah ini tak berulang dan bisa di akhiri .
Berbagai aturan sebagai acuan sebenarnya acapkali di sampaikan Ombudsman untuk dikaji, dipelajari, disosialisasi dan diaplikasi. Diantaranya: UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar, PP No 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan Permendikbud No 75 Tahun 2016 tentang Komite sekolah Tapi lagi-lagi fungsi pengawasan selalu lemah.
Ke depan perlu ada ketegasan. Sekolah dan dinas harus sepakat untuk tidak patgulipat, tutup mata, atas problem sumbangan dan pungutan. Para wakil rakyatpun jangan acuh. Jangan jadikan pendidikan sebagai tempat ketidakjujuran, ketidakadilan dan menerima sesuatu yang haram. Semoga.