Omnibus Law dalam Teori dan Melompati Praktik
Kebijakan Omnibus law yang digulirkan oleh pemerintah terus berkembang dan mewarnai jagat dunia nyata serta maya, diskursus dari kebijakan tersebut menuai aksi pro dan kontra. Berbagai elemen baik dari akademisi, buruh, pengusaha, NGO, dan elemen lainnya turut bersuara dalam mewarnai proses dialog dari kebijakan yang disebut sebut sebagai senjata pamungkas untuk membawa Indonesia keluar dari hambatan birokrasi dalam mengejar pertumbuhan ekonomi dan jebakan kelas menengah(middle income trap).
Maraknya perbincangan mengenai omnibus law tidak diimbangi dengan tingkat pemahaman masyarakat di Indonesia mengenai konsep omnibus law itu sendiri. Definisi Omnibus Law dimulai dari kata Omnibus. Kata Omnibus berasal dari bahasa Latin dan berarti untuk semuanya. Di dalamBlack Law Dictionary Ninth Edition Bryan A.Garner disebutkan omnibus :relating to or dealing with numerous object or item at once ; including many thing or having various purposes, di mana artinya berkaitan dengan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus; termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan. Bila digandeng dengan kata law yang maka dapat didefinisikan sebagai hukum untuk semua ( Satjipto Rahardjo dalam Fitryantica, 2019:302).
Omnibus Law merupakan sebuah konsep yang akan diterapkan pada empat Rancangan Undang-Undang yang kesemuanya merupakan usulan dari pihak pemerintah. RUU yang menganut konsep omnibus law yakni RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, RUU tentang Perpajakan dan RUU tentang Ibu Kota Negara. Untuk RUU cipta lapangan kerja sendiri memiliki 11 klaster pengaturan, dari 11 kluster tersebut sedikitnya terdapat 3 kluster yang telah menjadi perhatian Ombudsman RI yakni kluster penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, dan kemudahan berusaha.
Secara teori perundang-undangan di Indonesia, kedudukan UU dari konsep omnibus law belum diatur. UU hasil konsep omnibus law merupakan tradisi dari sistemcommon law dan bukancivil law yang dianut oleh Indonesia. UU hasil omnibus law bisa mengarah sebagai UU payung karena mengatur secara menyeluruh dan kemudian mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain. Tetapi, Indonesia justru tidak menganut UU Payung karena posisi seluruh UU adalah sama sehingga secara teori peraturan perundang-undangan apabila ingin dijadikan undang-undang payung maka kedudukannya harus diberikan legitimasi dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.Â
Praktik untuk melakukan perubahan kedudukan melalui undang-undang akan memakan waktu yang cukup lama ditambah lagi memang tidak ada ikhwal kegentingan yang memaksa sehingga konsep tersebut hanya dapat dilihat melalui isi ketentuannya, apakah bersifat umum atau detail seperti UU biasa. Jika bersifat umum, maka tidak semua ketentuan yang dicabut melainkan hanya yang bertentangan saja. Tetapi jika ketentuannya detail, akan menjadi soal jika dibenturkan denganasas lex spesialis derogat legi generalis (Firiyantica, 2019: 307), karena dengan adanya omnibus law, maka secara otomatis peraturan tingkat daerah juga harus mematuhi aturan baru dari konsep omnibus law sehingga akan menambah rantai perubahan dan penyesuaian konsep tersebut di level pelaksana daerah.
Pada kenyataannya beberapa negara di dunia sudah menjalankan dan menerapkan omnibus law, seperti di negara Amerika. Salah satu peraturan payung yang dibuat merupakan peraturan terbesar di Amerika yaitu peraturanTransportation Equity Act for the 21st Century (TEA-21) adalah Undang - Undang pengganti dariIntermodal Surface Transportation Efficiency Act (ISTEA). Di Indonesia, praktek omnibus law bisa dilihat dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan jo UU Nomor 9 Tahun 2017 dan Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Berkaitan dengan tiga kluster yang telah disinggung di atas (penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, dan kemudahan berusaha), sebenarnya melalui Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menggunakan konsep tersebut yakni terletak pada pasal 16 berupa Pemerintah Pusat berwenang menetapkan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK) dan melaksanakan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan kewenangan daerah namun secara praktik kurang maksimal diimplementasikan. Pasal ini ditafsirkan berupa pengaturan teknis di berbagai sektor urusan konkuren yang berjumlah 32 sektor yang terdiri dari urusan wajib dan pilihan pada  pemerintah daerah yang ketentuannya diatur oleh Pemerintah Pusat.
Â
Berikut temuan Ombudsman RI dalam memantau pelaksanaan investasi dan kemudahan berusaha dalam program OSS(Online Single Submission) yang dicanangkan Pemerintah Pusat :
Â
a.   Produk pelayanan yang tidak seragam
Pada Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2018 terdapat pemangkasan dan penggabungan izin namun dalam prakteknya banyak pemerintah daerah masih mempublikasikan produk izin mempergunakan nomenklatur lama sehingga membingungkan pengguna layanan. Beberapa Pemerintah Daerah juga belum menyesuaikan izin berusaha yang telah tergabung dalam OSS. Hal ini dibuktikan dengan perbedaan antar pemerintah daerah dalam menyusun daftar produk layanan yang dilayani di DPMPTSP (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu satu Pintu) baik melalui peraturan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Â
Dalam pelaksanaan perizinan berusaha ditemukan DPMPTSP yang menerbitkan 2 (dua) bentuk izin yang berbeda (versi OSS dan versi manual DPMPTSP) untuk izin yang sama, salah satunya yaitu izin usaha jasa konstruksi (IUJK). Hal ini diesebabkan karena pihak lain belum mengetahui dan mengakui keabsahan produk izin melalui OSS, sebagai contoh adalah pihak perbankan. Selain itu, beberapa pemerintah daerah masih menerbitkan izin gangguan atau surat izin tempat usaha padahal izin tersebut sudah dihapus dengan tujuan untuk mempercepat iklim investasi melalui paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan.
Â
b.   Lambannya Penyesuaian Standar Operasional Prosedur (SOP)
Belum rampungnya norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) di beberapa kementerian dan lembaga menyebabkan pemerintah daerah tidak bisa mengakomodasi dengan cepat penyesuaian SOP untuk program OSS. Program tersebut merubah cara kerja permohonan, proses, hingga penerbitan izin berusaha sehingga penyesuaian SOP merupakan kebutuhan mendesak, hal ini diperparah denganmanual book yang kurang operasional sehingga pengguna layanan rawan menginput data izin yang tidak sesuai kondisi sebenarnya.
Â
c.    Sistem Teknologi Informasi yang Belum Terintegrasi
Pelaksanaan Online single Submission menitikberatkan pada penggunaan teknologi informasi. Beberapa DPMPTSP di daerah bahkan telah memiliki sistem aplikasi tersendiri dalam pemrosesan perizinan namun hingga sekarang sistem aplikasi OSS belum bisa terintegrasi dengan sistem yang telah dibuat oleh DPMPTSP yang mengakibatkan tidak efisiennya proses tersebut. Sistem OSS juga belum terintegrasi dengan sistem teknologi perizinan sektoral yang lebih dulu ada seperti Sistem Informasi Manajemen Bangunan untuk pemrosesan izin mendirikan banguanan (IMB).
Â
Berbagai permasalahan tersebut seyogyanya dievaluasi terlebih dahulu sehingga permasalahan yang terjadi di lapangan menghasilkan sebuah kesimpulan. Tidak dijalankannya norma yang sudah ditetapkan di dalam peraturan yang ada atau norma yang ada tidak berjalan efektif merupakan langkah awal untuk pengambilan keputusan bahwa perlu diterbitkan aturan berkonsep omnibus law atau tidak. Apabila norma yang sudah ada tidak dijalankan maka keputusan untuk memakai konsep omnibus law perlu dikaji ulang khususnya untuk ketiga kluster yang telah disinggung.Â
Â
Sisi positif konsep omnibus law akan mengembalikan kewenangan pemerintah pusat dalam mengatur NSPK yang kurang efektif yang disebabkan banyak terjadi tumpang tindih pada 42 ribu peraturan perundang-undangan yang ada. Pengaturan NSPK oleh Presiden akan mempertegas kewenangan dan sinkronisasi pelaksanaan kewenangan dan pelaksanaan UU Â dan menghapus ego sektoral. Namun hal tersebut wajib memperhatikan pengalaman evaluasi secara empirik dan landasan teori yang ada terutama teori perundang-undangan.