• ,
  • - +

Artikel

Ombudsman RI, Definisi Sahabat Sejati
ARTIKEL • Jum'at, 29/01/2021 • M. Tegi Galla Putra
 
M. Tegi Galla Putra

Banyak persepsi tentang sahabat sejati, tidak terkecuali bagi tokoh-tokoh masyhur dunia. Hellen Keller mengatakan "Berjalan dengan seorang sahabat di kegelapan lebih baik daripada berjalan sendirian dalam terang." Virginia Woolf juga berkata, "Beberapa orang pergi ke pendeta, yang lain melampiaskan dengan puisi, tapi aku pergi kepada sahabatku." Bahkan yang dikatakan Plutarch, seorang penulis cerdas berkebangsaan Yunani lebih menarik lagi, "Saya tidak membutuhkan seorang teman yang berubah ketika saya berubah dan yang mengangguk ketika saya mengangguk, bayangan saya melakukan itu jauh lebih baik. Sangat seksi bagi mereka yang memahami." Singkatnya sahabat sejati adalah orang yang menyayangi dengan caranya sendiri, bukan tentang mereka yang memiliki banyak persamaan, tetapi tentang "kita" yang memiliki pengertian terhadap setiap perbedaan.

Dari berbagai definisi dan narasi tentang sahabat sejati, perspektif seperti ini mungkin termasuk anomali dalam realitas suatu pertemanan atau bahkan persahabatan. Tidak melulu sahabat sejati tentang orang yang selalu mengatakan kata-kata indah, selalu memuji, selalu setuju dengan pendapatmu atau perilakumu, sekalipun hal itu kurang benar. Yang kita bahas disini adalah kontradiktif dari semua itu namun dengan niat yang mulia, dengan cara yang sedikit jenaka. Meningkatkan kualitas yang ada pada dirimu dan berusaha mengubah dirimu menjadi insan terbaik adalah nilai tertinggi nyaris sempurna definisi dari sahabat sejati, sekali lagi dengan caranya sendiri.

Menjadi semakin menarik ketika definisi sahabat sejati yang kontradiktif bagi sebagian pemikiran banyak orang tersebut menjelma sebagai institusi/lembaga negara yang berada di luar pemerintahan, tidak memihak, dan bertugas menjadi pengawas eksternal bagi instansi-instansi penyelenggara pelayanan publik lainnya. Ombudsman RI merupakan lembaga negara di Indonesia yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD. Pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman terhadap penyelenggaraan pelayanan publik merupakan bentuk pengawasan eksternal yang bersifat represif karena pengawasan tersebut dilakukan oleh lembaga di luar lembaga atau organ pemerintah yang diawasi (Ayu Desiana, 2013).

Memahami Ombudsman Sebagai Sistem Sumber

Menurut Max Siporin (dalam Sukoco,1991),"A resource any valuable thing, or recerve or at hand, that one can mobilie and put to instrumental use in order to function, meet a need resolve a problem." Lebih lanjut Allen Pincus dan Anne Minahan (1973:4) berpendapat sistem sumber dapat diklasifikasikan dari beberapa hal yakni sistem sumber informal atau alamiah, sistem sumber formal, dan sistem sumber kemasyarakatan. Dalam konteks problem solving, sistem sumber merupakan hal yang sudah tersedia di sekitar kita, yang tidak sulit kita jangkau, yang entah sedikit atau banyaknya siap mengambil peran dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Singkatnya, sistem sumber adalah segala sesuatu yang bernilai/memiliki potensi baik terlihat ataupun tidak terlihat yang keberadaannya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan atau memecahkan masalah. Tugas Ombudsman  berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yaitu menerima dan menindaklanjuti laporan/pengaduan masyarakat terkait dugaan maladministrasi dalam pelayanan publik. Namun, bukan berarti karena positioning  Ombudsman sebagai pihak yang menerima laporan dari masyarakat,  serta merta Ombudsman berpihak pada masyarakat yang menjadi Pelapor tersebut. Tidak juga Ombudsman berpihak pada instansi yang menjadi Terlapor, dan tidak juga Ombudsman menjadi "musuh" bagi instansi yang menjadi Terlapor. Ombudsman secara tegas berposisi di tengah-tengah atau tidak memihak dan bersikap independen atau tidak dapat dipengaruhi pihak manapun. Oleh karenanya Ombudsman dan instansi pemerintah yang sama-sama sebagai sistem sumber kemasyarakatan, tidak juga berarti tidak bisa saling berkoordinasi atau tidak saling membutuhkan. Sistem sumber merupakan suatu hal yang fleksibel selama peruntukannya untuk kepentingan masyarakat umum dan bermanfaat dalam pembenahan sistem.

 

Terkesan 'Berkonflik' dengan Penyelenggara Pelayanan Publik

Stephen P. Robbins dalam bukunya Perilaku Organisasi (Organizational Behaviour) menjelaskan bahwa terdapat banyak definisi konflik. Akan tetapi, makna yang diperoleh secara definisi tersebut berbeda, beberapa ikhtisar utamanya mendasari sebagian besar dari konflik dimaksud. Menurut Wood, Walace, Zeffane dan rekan (1998:580), yang dimaksud dengan konflik dalam konteks organisasi yaitu suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya. Dari penjelasan diatas, yang seharusnya mampu kita pahami bersama adalah bahwa Ombudsman dalam menjalankan tugasnya mengawasi penyelenggaraan  pelayanan publik jauh dari kata kepentingan karena posisinya yang independen. Satu-satunya hal yang mungkin berpotensi menjadi suatu kepentingan bagi Ombudsman yaitu segala sesuatunya harus berjalan sesuai aturan dan kepatutan. Sehingga cukuplah bagi kita agar dapat melihat bahwa seharusnya tidak ada kata konflik antara Ombudsman dengan penyelenggara pelayanan publik sebab tujuan masing-masing pihak tersebut sejalan, memberikangood services bagi masyarakat. Sudah menjadi takdir Ombudsman melakukan penerimaan dan pemeriksaan laporan masyarakat dengan pihak yang dilaporkan yakni instansi penyelenggara pelayanan publik. Hal inilah yang biasanya menimbulkan kesan bahwa seolah-olah Ombudsman mencari-cari kesalahan dan ingin memperburuk citra suatu instansi. Hal serupa kerap kali juga terjadi saat Ombudsman melaksanakan tugas-tugas pencegahan maladministrasi berupa kajian. Seolah-olah dalam melakukan kajian tersebut, Ombudsman sengaja memotret apa yang menjadi kekurangan suatu instansi tanpa berekspektasi bahwa apabila kekurangan tersebut diperbaiki akan bermanfaat bagi banyak masyarakat dan meningkatkan kepercayaan publik pada organisasi itu sendiri.

 

Bukan Memukul Tetapi Merangkul

Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia,  Ombudsman dituntut untuk mengutamakan pendekatan persuasif kepada para pihak agar Penyelenggara Negara dan pemerintahan mempunyai kesadaran sendiri dapat menyelesaikan Laporan atas dugaan Maladminsitrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan menggunakan pendekatan ini berarti tidak semua laporan harus diselesaikan melalui mekanisme Rekomendasi. Hal ini yang membedakan Ombudsman dengan lembaga penegak hukum atau pengadilan dalam menyelesaikan laporan. Bagi Ombudsman, kesadaran instansi untuk selalu melakukan perbaikan, melakukan inovasi, dan mengelola pengaduan dengan sepenuh hati dalam konteks pelayanan publik merupakan ukuran suatu instansi dapat dikatakan sudah 'matang'. Walaupun sesungguhnya peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan kepada Ombudsman untuk 'memukul' instansi Terlapor, misalnya dengan pemanggilan paksa bekerjasama dengan Kepolisian RI, mengeluarkan Rekomendasi yang bersifat wajib dan mengikat, dan lain sebagainya. Namun Ombudsman berpandangan akan jauh lebih baik jika menjadi sahabat sejati penyelenggara pelayanan publik dengan tujuan agar secara perlahan penyelenggara pelayanan publik dengan kesadaran sendiri melakukan inovasi-inovasi perubahan sistem pelayanan yang lebih baik lagi. Mungkin sesekali dalam menjalankan tugasnya, Ombudsman akan menjadi pihak yang mengingatkan, menegur, dan memberi saran.  Namun untuk dipahami hal tersebut dilakukan semata-mata agar instansi penyelenggara pelayanan publik dapat mencapai output  tatanan tata kelola yang baik, kemudian menghasilkan outcome kepuasan serta kepercayaan masyarakat yang terus meningkat. Bukankah sahabat sejati adalah sahabat yang berani berterus terang menunjukkan dan membetulkan kesalahan kita agar kita tidak terus terlena dengan kesalahan itu sendiri?





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...