Ombudsman RI dan Kultur Birokrasi di Indonesia
Menjadi Insan Ombudsman bisa jadi merupakan profesi yang melelahkan. Insan Ombudsman sering dihadapkan pada masalah birokrasi yang sama oleh orang yang berbeda ataupun orang yang sama dengan masalah berbeda. Lebih lagi, terkadang Insan Ombudsman dihadapkan pada masalah birokrasi yang sama dan dengan orang yang sama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat permasalahan serius yang terjadi dalam kultur birokrasi dan iklim pelayanan publik kita.
Setiap hari, Insan Ombudsman bertemu dengan pelapor/masyarakat yang mencari bantuan untuk memecahkan masalah terkait birokrasi. Ombudsman ditugaskan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai yang sama sampai seorang birokrat melakukannya dengan benar. Di titik ini, mereka terkadang mengalami perasaan déjà vu ketika dihadapkan pada tantangan sama yang berulang karena akar konflik dan kepentingan dari permasalahan pelayanan publik tersebut sering kali tidak tertangani. Peran Ombudsman ini bisa dikatakan sama dengan memadamkan api pada rumah-rumah yang berbeda.
Hal-hal sebagaimana disebutkan, mungkin dapat dicegah jika kultur birokrasi kita memiliki image dan perilaku yang positif, bersatu/kompak, dan menolak perilaku beracun di tempat kerjanya. Ketika kultur birokrasi yang konstruktif ada di seluruh organisasi atau di dalam unit tertentu, maka para predator birokrasi tidak akan memiliki kebebasan untuk terlibat dalam perilaku yang tidak pantas seperti penyimpangan, melampaui kewenangan, dan tindakan tidak patut terhadap masyarakat ataupun organisasinya. Ombudsman RI berperan sebagai stimulan dalam membangkitkan nilai-nilai positif dalam kultur birokrasi tersebut, sehingga dapat mengeleminir berbagai penyakit birokrasi.
Dalam bahasa universal, sebenarnya tiap unit pengawasan pelayanan publik dan pengaduan yang dibentuk oleh entitas publik merupakan "Ombudsman-Ombudsman" yang diistilahkan berbeda dalam sistem kenegaraan dan pembagian kewenangan kita, namun memiliki peran yang sama dengan fungsi Ombudsman sebenarnya. Inspektorat, Auditor Internal, dan unit-unit pengawas lain merupakan pengawas pada entitas publiknya dalam menerima komplain dan mendeteksi potensi maladministrasi yang berlangsung di lingkungan internalnya. Namun tidak cukup pada lingkungan internal, sehingga dalam spektrum lingkungan yang lebih luas, negara mendirikan Ombudsman RI berlandaskan Undang-Undang 37 Tahun 2008 (UU 37/2008) yang merupakan unit pengawasan eksternal manakala seluruh unit-unit pengawasan internal pada entitas internal publik yang dibiayai oleh negara tersebut belum melakukan fungsinya dengan maksimal.
Dengan demikian, sudah seharusnya setiap unit pengawasan internal dan pimpinan pada organisasi layanan publik perlu memandang Ombudsman RI sebagai konstituen bagi organisasinya guna melancarkan proses pengawasan yang objektif dan bukan sebaliknya. Hal sebaliknya tersebut bermakna seperti apa yang disebut oleh Conger (2019:63) dalam disertasinya mengenai tiga kesalahpahaman umum yang cenderung dimiliki para pimpinan organisasi (Terlapor) tentang Ombudsman, yakni: mereka berlebihan, mereka bersaing dengan kepemimpinan, dan mereka menciptakan lebih banyak risiko.
Teori tersebut tampak relevan dengan kultur birokrasi kita yang terkadang menganggap Ombudsman RI berlebihan dalam penanganan kasus dugaan maladministrasi (utamanya kasus dengan isu besar). Ombudsman RI dianggap abuse of power, berpihak/memiliki kepentingan tertentu, dan lain sebagainya. Ombudsman dianggap bersaing dengan kepemimpinan karena kewenangannya dapat mengintervensi (mempengaruhi) hasil keputusan yang telah dibuat oleh pimpinan organisasi. Terakhir, Ombudsman dianggap menciptakan resiko karena dapat menganulir kepentingan-kepentingan terselubung yang tidak sesuai dengan kaidah dan prinsip good governance dalam pelayanan publik.
Anggapan-anggapan tersebut pada praktiknya sering terjadi walaupun tidak secara frontal disampaikan. Padahal pada dasarnya, dalam mendukung kultur birokrasi yang ideal, Ombudsman selalu menawarkan umpan balik kepada pimpinan organisasi, menawarkan solusi yang diperlukan dalam tata kelola administrasi, melakukan penilaian yang berkaitan dengan moral dan konflik, dan secara umum terlibat dalam cakupan kegiatan yang lebih luas yang dirancang untuk menilai, mencegah, dan memberikan solusi terhadap permasalahan pelayanan publik. Kultur birokrasi yang dibangun tersebut merupakan fondasi yang kuat guna mendukung suportifitas, inovasi, keterlibatan(participation), dan pencapaian visi/misi dalam organisasi. Idealnya, agar maladministrasi pelayanan publik dalam birokrasi dapat dicegah, dan diselesaikan maka diperlukan perhatian dari para organ-organ pengawasan pada tiap tingkatan (internal) termasuk Ombudsman pada ranah eksternal. Walaupun demikian, dari puluhan ribu kasus yang ditangani, sebenarnya Ombudsman lebih banyak untuk tidak menonjolkan diri agar tidak menarik perhatian pada peran mereka dan dampaknya, sebagian karena kekhawatiran tentang menjaga kerahasiaan dan anonimitas Pelapor/Terlapor sebagaimana asas-asas di dalam UU 37/2008 tentang Ombudsman RI .
Sejatinya, dengan mengidentifikasi isu-isu spesifik terhadap objek pengawasan serta mengeksplorasi opsi-opsi dengan pihak lain dalam penyelesaian persoalan di dalam birokrasi dan pelayanan publik merupakan peran Ombudsman dalam membangun kultur birokrasi yang lebih baik. Namun demikian, praktik tersebut bukan tanpa hambatan. Guna membangun kultur birokrasi yang ajeg terkadang sulit menemukan garis yang tegas dan pendulum yang sama tentang sejauh mana batas-batas pengawasan mengenai pelayanan publik itu diselenggarakan agar tidak terjadi subduksi terhadap batas-batas kewenangan lain. Fenomena tersebut dikarenakan fungsi pengawasan pada sistem ketatanegaran di Indonesia yang beragam dan berbeda-beda. Selain itu, terdapat pula fenomena dimana kelompok/individu yang menyebarkan isu dengan cara meremehkan dan mendiskreditkan instansi/lembaga yang dianggap tidak sepaham dengan mereka sehingga menorehkan citra buruk terhadap budaya baik yang telah dibangun sedemikian lama.