Ombudsman Minta Pemprov Jatim Peduli Nelayan Tradisional
SURABAYA - Nasib nelayan tradisional saat pandemi sungguh mengenaskan. Selain bertahun-tahun tidak menerima subsidi BBM sebagaimana yang dijanjikan pemerintah, mereka juga menjadi korban rumitnya birokrasi layanan administrasi perikanan. Mereka berharap Pemprov Jawa Timur mencarikan solusi atas permasalahan tersebut.
Aspirasi tersebut disampaikan Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jawa Timur Misbahul Munir saat beraudiensi dengan Ombudsman RI Jawa Timur di kantornya di Ngagel Timur, Surabaya, Kamis (5/8/2021). Munir didampingi peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Jatim Habib Mustofa.
Misbahul mengatakan, Jawa Timur memiliki Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 36 Tahun 2017 yang menjadi dasar pemberian subsidi BBM bagi nelayan. Hanya saja, aturan subsidi BBM yang tercantum dalam pasal 2 huruf a tersebut tidak dapat terlaksana.
''Selama empat tahun ini, pergub itu belum ada juknis (petunjuk teknis). Dengan demikian, nelayan tradisional di Jawa Timur belum menikmati subsidi BBM tersebut,'' kata Misbahul. Padahal, lanjut dia, subsidi BBM tersebut sangat dibutuhkan, mengingat kondisi perekonomian nelayan benar-benar terpuruk saat pandemi.
Menurut dia, belum adanya juknis membuat pemprov dan Pertamina kesulitan membuat skema penyaluran subsidi. Akibatnya, mayoritas nelayan tradisional tidak menikmati subsidi BBM. ''Dari survei di lima kabupaten/kota, 85 persen nelayan kecil yang tidak pakai BBM bersubsidi. Mereka terpaksa membeli BBM eceran meski harganya jauh lebih mahal,'' kata Misbahul. Survei itu berlokasi di Surabaya, Gresik, Bangkalan, Sumenep, dan Banyuwangi.
Di lima kabupaten/kota tersebut, lanjut dia, KNTI juga menemui hambatan mengakses besaran alokasi subsidi BBM. ''Hanya di Gresik saja yang bisa diketahui subsidinya. Itu pun hanya persentase dari total anggaran dinas yang membawahi kelautan atau perikanan. Persentasenya 0,35 persen dan 0,28 persen pada 2019 dan 2020. Sedang 2021 naik menjadi 0,57 persen,'' jelasnya. Itu pun belum tersalur ke nelayan, mengingat belum ada juknis penyaluran subsidi BBM.
Selain itu, lanjut Misbahul, nelayan kecil dihadapkan permasalahan rumitnya akses layanan publik administrasi perikanan. Sejumlah dokumen yang harus dilengkapi sebelum nelayan melaut, antara lain, pas (izin) kapal, kartu kusuka, kartu nelayan, BPKP (bukti pencatatan kapal perikanan), rekomendasi BBM bersubsidi, dan lain-lain. Semua dokumen itu dikeluarkan di kantor yang terpisah alias tidak melalui pelayanan terpadu satu pintu (PTSP).
''Mayoritas nelayan berpendidikan rendah, kalau dibebani banyak urusan administrasi perikanan tentunya ini menjadi beban tersendiri,'' ujar dia. Akibatnya, mayoritas nelayan tradisional tidak mengurus dokumen-dokumen tersebut. Dari data survei di lima kabupaten/kota terungkap, 95 persen nelayan tidak mengurus surat rekomendasi, 91 persen tidak tahu cara atau prosedur mengurus surat rekomendasi, 69 persen nelayan tidak memiliki kartu nelayan atau kartu kusuka, dan mayoritas nelayan memliki pengetahuan minim mengenai pas kapal dan BPKP.
KNTI mengusulkan, penyederhanaan administrasi perikanan, misalnya satu identitas multifungsi (satu data) sehingga identitas yang telah terkumpul itu bisa digunakan oleh instansi lain.
Di tempat sama, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur Agus Muttaqin meminta agar pemprov memberikan perhatian terhadap keluhan para nelayan tradisional tersebut. Diakuinya, perikanan tangkap laut memang bukan urusan yang diprioritaskan saat pandemi, sebagaimana kesehatan dan pendidikan. Namun, hal tersebut tidak bisa menjadi alasan pemprov untuk mengabaikannya.
''Para nelayan tradsional tetap memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik. Demikian pula, hak-haknya untuk mendapatkan subsidi BBM, mengingat para nelayan tradisional adalah kelompok masyarakat yang rentan menjadi koirban terdampak Covid-19,'' pungkas Agus. (*)