Ombudsman: Lembaga Pemberi Pengaruh
Dalam keseharian masyarakat kita, ada kalimat yang sering menjadi obrolan di warung-warung kopi, di tempat ronda bapak-bapak, atau di lokasi arisan ibu-ibu, kalimat tersebut adalah "taat karena takut". Mereka banyak mengeluhkan tingkah anak-anaknya yang tertib jika dipantau secara langsung oleh orang tuanya, jika tidak dipantau? ah sudahlah, apa saja bisa dilakukan oleh anak-anak mereka yang pada umumnya dikenal dengan sebutan "nakal". Ternyata obrolan-obrolan mereka itu merupakan bahasa satire untuk para Pejabat pemerintah yang taat karena takut. Dalam konsep pengawasan pemerintahan, banyak sekali lembaga yang menjadi instrumen negara dalam melakukan pengawasan, baik yang bersifat represif seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, ada juga lembaga yang bersifat persuasif seperti BPK dan Ombudsman Republik Indonesia. Pada umumnya lembaga negara yang bersifat represif sangat ditakuti oleh para pejabat karena memiliki instrumen "penangkapan" dan bahkan dapat memenjarakan oknum pejabat yang terbukti melakukan kesalahan dalam bentuk korupsi dan sejenisnya.
 "SHM saya udah 3 (tiga) tahun belum
jadi, padahal saya sudah bayar lunas, saya juga udah bolak-balik ke Kantor
Pertanahan, tapi selalu dijawab suruh tunggu."
"Saya ini orang yang bener-bener nggak mampu, tapi nggak dapet bantuan, tetangga saya banyak yang lebih mampu tetapi dapat bantuan sosial, saya sudah tanya sana sini, tapi katanya itu data dari pusat."
"Saya mengurus pasang baru listrik sudah 6 bulan gak dipasang-pasang, padahal sudah bayar, katanya hanya 5 hari selesai, sudah tanya-tanya terus, hanya dijawab suruh tunggu, bisa apa lagi saya ini hanya masyarakat kecil".
Itulah beberapa contoh keluhan masyarakat ketika mengakses pelayanan publik, terhadap permasalahan-permasalahan tersebut mereka punya pertanyaan yang sama, kemana kami harus mengadu? Dan terhadap permasalah-permasalahan tersebut harapan mereka hanya satu yaitu urusan mereka dapat diselesaikan. Itulah alasan mengapa Ombudsman hadir sebagai salah satu lembaga pengawas yang dapat menerima dan menindaklanjuti keluhan masyarakat terhadap dugaan maladministrasi dalam pelayanan publik.
Ombudsman hadir dengan instrumen pengawasan
yang berbeda dengan lembaga lainnya, karena Ombudsman dalam menjalankan
tugasnya dituntut untuk memasuki relung inti dalam setiap permasalahan
pelayanan publik yang dialami oleh masyarakat. Ketika seseorang sudah berjuang
untuk mendapatkan pelayanan publik sebagaimana mestinya, Ombudsman dapat
dijadikan alternatif terakhir bagi masyarakat untuk memperjuangkan haknya dalam
pelayanan publik.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Ombudsman sama sekali tidak memiliki instrumen pengawasan yang menakutkan. Sebagai contoh, Ombudsman itu tidak memiliki borgol, tidak memiliki penjara, dan tidak memiliki senjata. Ombudsman hanya memiliki pengaruh yang sifatnya memberi kesadaran baik bagi masyarakat maupun penyelenggara pelayanan. Ombudsman harus mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat dan penyelenggara pelayanan tentang hak dan kewajiban masing-masing. Contohnya ketika ada masyarakat yang suka mengurus pelayanan tidak melalui loket resmi, maka Ombudsman harus menyampaikan bahwa setiap masyarakat yang mengakses pelayanan publik, harus memenuhi persyaratan dan prosedur yang telah ditetapkan, termasuk salah satu prosedurnya adalah mengakses pelayanan melalui loket atau instrumen resmi yang disediakan penyelenggara. Begitupun dengan penyelenggara pelayanan, harus memberikan pelayanan sesuai dengan standar yang ditetapkan bagi standar syarat, jangka waktu, maupun biaya sehingga terdapat asas kepastian hukum dalam setiap pelayanan publik. Melalui cara-cara seperti ini, diharapkan cerita tentang "taat karena takut" itu tidak terdengar riak lagi di sekitar kita.