Ombudsman: Jangan Coba-Coba Maladministrasi
Ketika Ibu Susi Pudjiastuti diangkat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, alasan presiden ketika itu adalah "Negara ini butuh orang 'gila' seperti Ibu Susi," sekilas ini terdengar seperti lawakan, tapi bermakna mendalam.
Orang 'gila' kerap kita maknai dengan orang yang tidak waras atau berperilaku aneh. Dalam hal ini, orang-orang yang melawan arus dan nyeleneh  biasanya disebut orang tidak waras. Tidak waras ditengah orang yang waras, dimana orang-orang menganggap remeh korupsi karena lazim arusnya demikian. Mereka yang melawan arus ini kadang membuat gerah para waras, orang-orang yang terbiasa tidak bekerja dengan benar.
Orang 'gila' disini adalah orang-orang yang berani dan tegas melakukan penegakan hukum, orang-orang yang bersih ditengah orang-orang yang berfikir tak perlu bersih-bersih, orang-orang yang tak memikirkan kekayaan diri sendiri ditengah orang-orang yang aji mumpung mengeruk kekayaan negeri, orang-orang yang priceless karena memang harga dirinya tak bisa ditukar dengan uang ditengah orang-orang yang gampang saja melanggar aturan karena uang. Di Ombudsman, saya bertemu banyak orang 'gila' semacam ini.
Tak jauh contohnya, rekan-rekan kerja saya sendiri. Ombudsman, di Bangka Belitung bukan hanya sekadar profesi mengumpulkan pundi rupiah agar hidup terus berlanjut tapi lebih dari itu. Kata maladministrasi bukan hanya sekadar retorika, tapi tertanam dan terpatri. Loyalitas asisten dan pegawai Ombudsman tak pernah menjadi pertanyaan orang-orang di Negeri Serumpun Sebalai ini. Semua hormat dan salut. Ketika Ombudsman turun mereka siap memfasilitasi, karena lembaga ini bukan pemberi sanksi tapi pendorong pembenahan diri.
Bekerja dengan teladan adalah hal terdepan di Ombudsman Bangka Belitung. Kesederhanaan dan ketulusan hati dalam bekerja adalah hal jarang ditemukan dewasa ini, tak pernah saya temukan semua orang bekerja dengan efisien dan begitu rajin, berdedikasi dengan loyalitas yang tak diragukan lagi. Bagi saya setiap insan di Ombudsman Bangka Belitung adalah orang-orang yang luar biasa.
Kecenderungan sistem kerja yang baik, membuat orang-orang yang melenceng dari kebaikan, jadi malu. Maladministrasi kadang tidak sebesar permintaan imbalan atau penyimpangan prosedur yang merugikan rakyat, dengan datang terlambat atau pulang sebelum waktunya, sering izin tidak masuk kerja, bekerja santai mengalir apa adanya, menunda pekerjaan, itupun adalah maladministrasi. Orang-orang 'gila' disini kalau orang Bangka bilang "Sepuluh betul". Penjelasan atas "Sepuluh betul" ini begitu sederhana, yaitu teladan.
Ombudsman mengajarkan teladan bahwa pengawas pelayanan publik harus lebih baik dari yang diawasi. "Harus lebih baik"Â adalah wajib di Ombudsman. Orang-orang di Ombudsman yang tidak menerima makanan dan minuman dari terlapor menurut saya adalah cara Ombudsman menunjukkan ke-'gila'-annya. Mana ada orang yang menolak makanan? padahal hanya sekadar segelas air minum atau kue sepotong yang berasa manis dimulut setelah berjam-jam pemeriksaan. Tegas, etika dan loyalitas menjadi pilihan diatas segalanya.
Seperti Ibu Susi yang ditawari sekian "T" untuk ekspor  .... (teman-teman tau maksud saya), tapi tegas beliau tolak, terbukti yang menerima tawaran itu kini masuk bui. Bukan, orang-orang 'gila' di Ombudsman bukan takut masuk bui, tapi takut mengkhianati diri sendiri, menghancurkan begitu banyak upaya yang dibangun untuk membangun sistem yang penuh integritas. Upaya bertahun-tahun yang dapat tercoreng hanya karena hujan sehari, adalah penyesalan yang bisa bertahan lama hingga kemudian hari.
Dengan integritas ini, respek datang dengan sendirinya dari masyarakat bahwa Ombudsman adalah lembaga yang terpercaya dan netral dalam menangani pengaduan pelayanan publik. Sudah paham hubungan Ombudsman dan orang 'gila'? Jangan coba-coba maladministrasi. Â