Ombudsman Jakarta Raya: Fokus Resolusi Penyelesaian Revitalisasi Monas Untuk Penyelamatan RTH Jakarta
Jakarta (31/01/2020) - Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya meminta semua pihak untuk fokus pada upaya resolusi penyelesaian kasus Revitalisasi Monumen Nasional (Monas) dalam kerangka pelayanan publik dan penyelamatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Jakarta. Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho, menyatakan hal itu pada Kamis (30/01/2020). "Kalau mau mencari kesalahan, mudah. Pihak Pemprov jelas dapat diduga melakukan Maladministrasi terkait perizinan ke Mensesneg selaku Ketua Komisi Pengarah Kawasan Medan Merdeka sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka di Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Pasal 5 ayat (1) dalam Keppres itu mengatakan tugas dari Komisi Pengarah ialah memberikan persetujuan terhadap perencanaan dan pembiayaan pembangunan Taman Medan Merdeka yang disusun oleh Badan Pelaksana," tutur Teguh.
Namun hal tersebut sebenarnya dapat diantisipasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta sebelum pelaksanaan proyek yaitu ketika bertemu dengan mitranya dari Pemprov DKI Jakarta sehingga kesalahan itu dapat dikoreksi dari awal jika sungguh-sungguh menggali informasi proyek per-SKPD. Selain itu, sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, DPRD di tingkat provinsi merupakan bagian dari pemerintah daerah. Jika Pemprov salah, maka DPRD juga ikut bersalah ketika proyek ini berjalan tanpa sepengetahuannya, karena SKPD pelaksananya merupakan mitra kerja DPRD.
Pembangunan proyek revitalisasi tersebut dilakukan di Monas di tengah-tengah antara Gedung Kantor Gubernur dan Istana Presiden, lokasi di mana Menteri Sekretariat Negara (Mensesneng) berkantor. Sebagai Ketua Komisi Pengarah Kawasan Medan Merdeka, tidak sulit bagi Mensesneg untuk mengkonfimasi hal tersebut kepada Gubernur DKI Jakarta selaku Sekretaris Komisi. Jika komunikasi tersebut baru terjadi saat proses revitalisasi sedang berlangsung, maka dapat diduga bahwa komisi tersebut hanya bekerja ketika ada masalah muncul ke permukaan dan tidak secara rutin menggelar rapat koordinasi. "Kami khawatir, jangan-jangan keduanya, baik Mensesneg maupun Gubernur, baru menyadari posisinya sebagai Ketua Komisi Pengarah dan Sekretaris Pengarah juga setelah kasus ini muncul ke permukaan. Kalau keduanya saling menyadari posisi masing-masing dari awal, niscaya hal ini tidak perlu terjadi, apalagi revitalisasi tersebut terjadi di tengah-tengah kantor Mensesneg dan Gubernur," tegas Teguh lagi.
Ombudsman Jakarta Raya berpendapat bahwa hal terpenting saat ini adalah penyelamatan kawasan Monas sebagai RTH. "Jumlah RTH di Jakarta setiap tahun tidak bertambah secara signifikan, kami malah menduga RTH Jakarta berkurang karena banyaknya pelaporan ke kami terkait penyalahgunaan RTH tanpa penindakan setiap tahunnya," lanjut Teguh. Berdasarkan data dari Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan (Citata) Provinsi DKI Jakarta yang terakhir kali melakukan pemetaan Ruang Terbuka Hijau tahun 2017, luasan RTH Murni di Jakarta hanya 7% dan RTH Kombinasi sekitar 2% saja dari keseluruhan luas DKI Jakarta.
Untuk itu, Ombudsman Jakarta Raya menghargai permintaan Mensesneg dan DPRD DKI Jakarta untuk menghentikan Revitalisasi Monas sebelum ada persetujuan dari Komisi Pengarah. Ombudsman Jakarta Raya juga menghargai penghentian pelaksanaan proyek tersebut oleh Pemprov DKI Jakarta dan jajaran. "Saatnya para pihak duduk bersama dan memastikan bahwa Revitalisasi Monas tidak mengurangi RTH di wilayah Jakarta secara umum, jika diperlukan perlu adare-design terhadap proyek tersebut," ujarnya lagi.
Namun demikian, terkait dengan penebangan pohon di Kawasan Monas, Ombudsman Jakarta Raya berharap Inspektorat dan DPRD Provinsi DKI Jakarta dapat melakukan pemeriksaan kepada SKPD terkait mengapa hal tersebut sampai terjadi. "Penebangan pohon di Jakarta memiliki aturan yang cukup ketat, mengapa desain proyek yang melibatkan banyak penebangan pohon bisa lolos dan proses penebangan pohon bisa berjalan cukup cepat," lanjut Teguh. Pemeriksaan juga perlu dilakukan kepada SKPD-SKPD terkait yang sampai meloloskan rekomendasi penebangan pohon dan mengizinkan pembangunan revitalisasi berjalan tanpa persetujuan Komisi Pengarah Kawasan Medan Merdeka. Teguh menyayangkan hal itu bisa terjadi padahal Pemprov DKI Jakarta memiliki Biro Hukum dan Bagian Hukum di masing-masing SKPD sehingga menurutnya hal ini menjadi aneh jika pihak Pemprov tidak mengetahui aturan tersebut.
Pemeriksaan penting untuk dilakukan karena hasilnya dapat dijadikan oleh Gubernur untuk memperbaiki tata kelola, koordinasi, dan sinkronisasi pelaksanaan proyek-proyek di Provinsi DKI Jakarta ke depannya. Tentunya, hal tersebut juga terkait dengan proyek-proyek lain yang dikelola Kemensetneg seperti Kawasan eks Bandara Kemayoran dan Senayan. Menurut Teguh, Kemensetneg dan Pemprov DKI Jakarta harus berkomunikasi lebih intens. "Kami misalnya, mendapat laporan pembangunan apartemen di Kemayoran yang menyebabkan 720 KK warga mengalami kekeringan sejak apartemen tersebut menyedot air tanah. Ketika PDAM hendak masuk untuk memberikan pelayanan kepada warga terdampak, pengelolaanya harus dilakukan dengan tarif perhitungan Pengelola Kawasan Kemayoran," jelas Teguh.
Selain koordinasi dengan pihak Kemensetneg dan sebaliknya, Ombudsman Jakarta Raya meminta Pemprov DKI Jakarta memperbaiki koordinasi dan sinkronisasi program dan proyek-proyek di lingkungan Pemprov sendiri. "Sejauh ini, itu PR terbesar Pemprov DKI berdasarkan laporan yang masuk ke Ombudsman Jakarta Raya yaitu buruknya koordinasi dan sinkronisasi program-program dan proyek di Provinsi DKI Jakarta. Sudah saatnya Gubernur melakukan koordinasi langsung dengan para SKPD-nya," tutur Teguh. Sejumlah peristiwa, seperti kesalahan penunjukan Direktur Utama PT Transportasi Jakarta (Dirut Transjakarta) yang ternyata terpidana serta proses Revitalisasi Monas yang belum mengantungi izin Mensesneg ini menunjukan kuatnya indikasi banyak laporanAsal Bapak Senang yang tidak terverifikasi dengan baik oleh Gubernur.