• ,
  • - +

Artikel

Ombudsman: Ganjil Genap Bukan Penyelesaian Akar Masalah Kemacetan Selama PSBB Transisi!
• Minggu, 02/08/2020 • Teguh P. Nugroho
 
Teguh P. Nugroho, Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya

Jakarta (02/08)  - Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya (Ombudsman Jakarta Raya) mempertanyakan alasan Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi DKI Jakarta yang memberlakukan ganjil genap pada tanggal 3 Agustus 2020. "Pemberlakuan ganjil genap di tengah kenaikan angka Covid yang terus naik di Jakarta merupakan keputusan yang tergesa-gesa dan tidak memiliki perspektif yang utuh tentang kebencanaan", ujar Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho.

Penyelesaian kemacetan di Jakarta selama masa PSBB transisi I dan II harus berangkat dari akar masalahnya. Ombudsman Jakarta Raya menengarai tingginya angka pelaju dari wilayah penyangga Jakarta yang menyebabkan kemacetan di jam-jam sibuk dan penumpukan penumpang di transportasi publik khususnya CommuterLine disebabkan oleh ketidakpatuhan instansi pemerintah, BUMN dan BUMD juga perusahaan swasta dalam membatasi jumlah pegawainya yang harus masuk bekerja.

Dalam Focus Group Discussion yang diadakan oleh Ombudsman Jakarta Raya pada tanggal 26 Juni 2020, lembaga pengawas pelayanan publik tersebut menemukan fakta dari data yang disampaikan para pemangku kepentingan di bidang transportasi, termasuk PT KCI, Dirlantas Polda Metro Jaya, Trans Jakarta, Dishub dan Organda bahwa kenaikan pengguna transportasi pribadi dan transportasi publik naik sejak pemberlakuan PSBB transisi I dan II di jam-jam sibuk.

"Dengan segala upaya yang luar biasa, termasuk memberlakukan contra flow di beberapa lajur tol dan rekayasa lalu lintas, Dirlantas Polda Metro Jaya memang sudah mengakui perlunya dilakukan evaluasi terkait pemberlakukan ganjil genap di Jakarta", tutur Teguh lagi. "Saat FGD, disampaikan bahwa angka kepadatan lalu lintas pada jam sibuk di ruas tol wilayah Jakarta dan arus jalan dalam kota sudah mencapai kepadatan 96% dari angka normal sebelum pandemi," lanjutnya.

"Sementara PT KCI juga mencatatkan pertumbuhan penumpang Commuter Line mencapai angka 4-7% per minggunya dan pada bulan Juli 2020 mencatatkan angka tertinggi mencapai 420.000 penumpang/hari atau mendekati angka psikologis 50% dari total penumpang harian sebelum pandemi berlangsung," ulasnya. Angka ini belum mencakup para pelaju yang mempergunakan kendaraan roda dua sebagai alat transportasi harian mereka ke tempat kerja.

Menurut Ombudsman, masalah utama dalam kepadatan lalu lintas di Jakarta dan sekitarnya adalah tingginya jumlah pelaju yang berangkat dan pulang dari tempat kerja. "Kami memperkirakan dengan total penggabungan angka pelaju pengguna CommuterLine, kendaraan pribadi roda empat dan roda dua, jumlah warga yang berangkat dan pulang dari tempat kerjanya diatas angka 75%", terang Teguh.

"Jadi yang harus dibatasi adalah jumlah pelaju yang berangkat dan pulang kerja ke Jakarta. Itu hanya mungkin dilakukan jika Pemprov secara tegas membatasi jumlah pegawai dari Instansi Pemerintah, BUMN, BUMD dan swasta yang bekerja di Jakarta", ujarnya. Memberlakukan ganjil genap tanpa didahului melakukan pengawasan dan penindakan terhadap instansi, lembaga dan perusahaan yang melanggar hanya akan mengalihkan para pelaju dari penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik.

"Kebijakan Dishub DKI yang memberlakukan ganjil genap pada hari Senin, 3 Agustus 2020 jelas mendorong munculnya cluster transmisi Covid-19 ke transportasi publik," papar Teguh. Dishub juga tidak tanggung-tanggung mewacanakan pemberlakukan ganjil genap tersebut mungkin saja diberlakukan 24 jam dan melibatkan pengguna kendaraan roda dua. "Kalau itu sampai terjadi sementara pengawasan dan penegakan aturan pembatasan kerja karyawan belum menunjukan hasil yang memadai, maka yang akan terjadi adalah penumpukan penumpang yang mengular di stasiun-stasiunCommuter Line", tegas Teguh lagi.

Ombudsman Jakarta Raya meyakini, kebijakan tersebut berpotensi meningkatkan penyebaran Covid di Commuter Line. "Jujur saja, saat ini hanya Commuter Line yang masih mampu mengangkut pelaju dalam jumlah besar, angkutan lain seperti bus sudah tidak mungkin diandalkan", kata Kepala Perwakilan Ombudsman yang membawahi Provinsi DKI Jakarta dan wilayah penyangganya tersebut.

"Dengan relaksasi untuk sektor transportasi darat yang tidak kunjung cair, Organda sebetulnya sudah angkat tangan untuk melayani pelaju," lanjut Teguh. "Sementara bantuan dari Pemprov DKI dan Kemenhub sebetulnya tidak cukup membantu menurunkan angka jumlah pelaju Commuter Line, karena keberadaan bis gratis tersebut justru memicu konsumen baru yang memanfaatkan bus gratis daripada peralihan konsumen Commuter Line ke fasilitas perbantuan tersebut."

Di sisi lain, PT KCI telah mengerahkan seluruh daya upaya yang mampu mereka lakukan, dengan pengerahan armada secara maksimal, waktu keberangkatan yang sudah sangat pendek antar kereta, dan penerapan protokol kesehatan. "Jika limpahan dari pengguna kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat sangat tinggi, maka kemungkinan yang bisa dilakukan PT KCI hanya dua, membiarkan penumpang mengular di antrian atau membuka gerbong-gerbong mereka untuk mengangkut penumpang sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkanphysical distancing", tegas Teguh.

Selain pengawasan dan penindakan terhadap instansi, lembaga dan perusahaan swasta yang membandel terhadap ketentuan pembatasan jumlah karyawan yang boleh masuk hanya 50%, Ombudsman Jakarta Raya menyoroti waktu shift kerja yang diberlakukan selama ini sesuai dengan SK 1477/2020 yaitu shift pertama pukul 07.00 - 16.00 WIB dan shift kedua pukul 09.00 - 18.00.

"Shift tersebut terlalu pendek dan itu yang menyebabkan para pelaju tetap berangkat kerja di jam yang sama dengan saat belum ada pembagian shift," kata Teguh P. Nugroho. "Data dari PT KCI dan Dirlantas Polda Metro Jaya terkait kenaikan jumlah penumpang selalu terjadi di jam sibuk pukul 06.00 - 08.00 WIB dan pukul 16.00 - 19.00 WIB, sementara angka kemacetan di ruas jalan kota dan tol juga terjadi di waktu yang sama," tegasnya lagi.

Ombudsman Jakarta Raya mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan kajian terhadap kebijakan tersebut. "Hal yang sangat mungkin adalah memberi rentang waktu shift yang lebih panjang dengan jumlah jam kerja yang lebih pendek, misalnya shift pertama mulai pukul 07.00 WIB dan pulang pukul 14.00 WIB, sementara shif kedua mulai pukul 11.00 WIB dan pulang pukul 18.00 WIB", ujar Teguh. "Kekurangan jam kerja bisa di kompensasi ke hari kerja, menjadi 6 hari kerja agar jumlah jam kerja satu minggu tetap terpenuhi", paparnya lagi.

Untuk itu, Ombudsman Jakarta Raya akan meminta keterangan kepada Dishub DKI Jakarta terkait penerapan kebijakan tersebut. "Kami juga akan meminta keterangan kepada Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Jakarta, apakah kebijakan tersebut telah mendapat persetujuan mereka dan melalui proses kajian dan dampak kebijakan yang memadai," tutupnya.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...