Ombudsman DIY Sampaikan Saran ke Gubernur Terkait Pengelolaan Sampah Di Kartamantul (TPST Piyungan)
Di dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 disebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah. Pembiayaan bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Ketentuan mengenai pembiayaan diatur dengan Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Daerah. Di samping itu dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 disebutkan bahwa Pemerintah Daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang 18 Tahun 2008. Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang tersebut.
Hasil temuan Ombudsman RI Perwakilan DIY terkait dengan pemenuhan mandat Pasal 24 dan 44 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 dan kebijakan nasional pengelolaan sampah menunjukkan bahwa terdapat beberapa regulasi yang mengatur mengenai sampah di DIY. Namun regulasi atau kebijakan yang mengatur tentang penutupan tempat pemrosesan akhir sistem pembuangan terbuka sesuai mandat Pasal 44 Undang-Undang 18 Tahun 2008 justru tidak dirumuskan secara konkret.
TPST Piyungan dibangun pada tahun 1995 oleh Sub Dinas Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum DIY, kemudian pada tahun 1996-2000 dikelola oleh Pemerintah Provinsi DIY dan dilanjutkan dikelola oleh Sekretariat Bersama Kartamantul. Pada tahun 2014 pengelolaan sampah diserahkan kepada Balai Pengelolaan Infrastruktur Sanitasi dan Air Minum Perkotaan dan pada tahun 2019 pengelolaan TPST Piyungan dialihkan ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY. Hal ini tidak terlepas dari adanya pembagian urusan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perpindahan pengelolaan TPST Piyungan dari Kartamantul ke Pemerintah Daerah DIY menimbulkan beberapa masalah, antara lain penurunan etos kerja karena ketidakjelasan status kepegawaian. Petugas tidak selalu berada di lokasi TPST. Akibatnya jika ada permasalahan, tidak ada upaya antisipasi yang cepat.
Temuan Perwakilan Ombudsman RI Daerah Istimewa Yogyakarta lainnya menunjukkan bahwa TPST Piyungan melakukan pemrosesan akhir sampah dengan menggunakan metode partially controlled landfill atau semi control landfill karena tidak setiap hari dilakukan penimbunan. Hal ini lebih mengarah pada penumpukan sampah di areal terbuka tanpa pengolahan teknologi yang ramah lingkungan sehingga berdampak pada kondisi lingkungan bagi warga sekitar. Bahkan hasil pengumpulan data Ombudsman RI Perwakilan DIY di lapangan menunjukkan bahwa dalam prakteknya, metode yang digunakan dalam pengolahan sampah di TPST Piyungan adalah open dumping yaitu pembuangan sampah dibuang begitu saja dalam sebuah tempat pembuangan akhir tanpa perlakuan lebih lanjut.
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY, Sutarto, timbunan sampah per hari di DIY mencapai 2.100 ton. Khusus untuk Kota Yogya, Sleman dan Bantul bisa menghasilkan sebanyak 1.683 ton per harinya sehingga menjadikan TPST Piyungan Bantul kelebihan kapasitas dan perlu pengolahan sampah dengan teknologi tinggi.
Permasalahan yang lain yang dihadapi oleh Kartamantul adalah rendahnya kesadaran warga dalam pemilahan dan pengurangan sampah. Besaran tarif dan fungsi retribusi pembuangan sampah yang masih tergolong murah menjadikan kesadaran untuk melakukan pengurangan sampah masih kurang. Sesuai dengan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 99 Tahun 2014 mengatur bahwa tarif setiap tonase sampah yang dibuang oleh orang pribadi atau lembaga swasta di TPA Regional sebesar Rp. 24.383,00 (dua puluh empat ribu tiga ratus delapan puluh tiga rupiah).
Bank sampah yang seharusnya berperan dalam pemilahan dan pengurangan sampah tidak semuanya aktif. Kondisi tersebut tidak menjadi bagian yang diselesaikan di tingkat provinsi. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya pengawasan yang komprehensif dilakukan Pemerintah Provinsi DIY dalam penegakan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga maupun Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 21 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Sampah, Perizinan Usaha Pengelolaan Sampah, dan Kompensasi Lingkungan.
Selain itu, dari sisi anggaran juga menjadikan pengelolaan sampah di TPST Piyungan belum maksimal. Pada tahun 2018 Pemerintah DIY memberikan anggaran sebesar Rp. 8.700.000.000. Menurut Kasi Pengelolaan dan Pemrosesan Sampah Balai TPST Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY, saat ini pengelolaan menggunakan metode open dumping karena adanya keterbatasan anggaran untuk pembelian pasir atau tanah yang digunakan untuk menimbun sampah.
Berdasarkan hal di atas, Perwakilan Ombudsman RI Daerah Istimewa Yogyakarta menyimpulkan bahwa:
1. Pemerintah Daerah DIY telah menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Kebijakan Nasional Pengelolaan Sampah dengan menerbitkan Perda DIY Nomor 3 tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Rumah Tangga, Pergub DIY Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penanganan Sampah, Perizinan Usaha Pengelolaan Sampah, dan Kompensasi Lingkungan, dan Pergub DIY Nomor 99 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Penggunaan Fasilitas dan Jasa Pelayanan Pengelolaan Sampah di Tempat Pemrosesan Akhir Regional Pada Balai Pengelolaan Infrastruktur Sanitasi dan Air Minum Perkotaan. Akan tetapi, kebijakan anggaran Pemerintah Daerah DIY tidak cukup mendukung, sehingga implementasinya di lapangan menjadi kurang optimal.
2. Pemerintah Daerah DIY tidak secara konkret mengatur dalam regulasi dan kebijakan daerah tentang batasan waktu penutupan TPST dengan sistem pembuangan terbuka. Padahal Pasal 44 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 membatasi maksimal lima tahun tempat pemrosesan akhir dengan sistem pembuangan terbuka sudah harus ditutup.
3. Peralihan pengelolaan TPST Piyungan ke Pemerintah Daerah DIY belum menjadikan pengelolaannya lebih baik. Tidak banyak upaya signifikansi yang dilakukan Pemerintah Daerah DIY untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Padahal telah banyak rekomendasi dari berbagai kalangan disampaikan untuk perbaikan.
4. Sebagai instrumen pengawasan, penegakan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga dan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penanganan Sampah, Perizinan Usaha Pengelolaan Sampah, dan Kompensasi Lingkungan belum berjalan secara optimal.
5. Ditemukan fakta lapangan bahwa di TPST Piyungan tidak cukup terlihat adanya aktivitas penanganan dan pengelolaan sampah oleh petugas. Kegiatan yang mirip dengan penanganan dan pengelolaan sampah lebih banyak dilakukan oleh masyarakat di sekitar TPST Piyungan yang memanfaatkan sampah sebagai sumber pencaharian ekonomi. Selain itu, partisipasi masyarakat di Kartamantul membentuk Bank Sampah sedikit banyak mengurangi laju volume sampah ke TPST Piyungan.
Menimbang kesimpulan tersebut di atas, Perwakilan Ombudsman RI DI Yogyakarta menyarankan agar Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta :
1. Melakukan optimalisasi manajemen serta SDM penanganan dan pengelolaan sampah, antara lain dengan membentuk tim percepatan khusus lintas sektoral, atau mengefektifkan tim yang sudah ada untuk:
a. Mengantisipasi permasalahan kelebihan kapasitas sampah di TPST Piyungan melalui pembangunan infastruktur dan pengadaan teknologi pengelolaan sampah mutakhir yang ramah lingkungan dengan memperhatikan berbagai masukan yang pernah disampaikan.
b. Mengevaluasi besaran tarif dan fungsi retribusi pembuangan sampah menjadi alat pengendali laju dan volume pembuangan sampah di TPS dan TPST Piyungan.
2. Menambah besaran alokasi anggaran yang lebih memadai dalam APBD untuk optimalisasi penanganan dan pengelolaan sampah pada TPS juga TPST Piyungan.
3. Melakukan pengawasan dan penegakan hukum secara konsisten atas pelanggaran terhadap berbagai ketentuan mengenai pengelolaan sampah, tanpa terkecuali terhadap hotel-hotel, apartemen, rumah sakit, dll.
4. Memfasilitasi dan mendorong adanya partisipasi publik, serta gerakan dan kampanye secara masif untuk penyadaran masyarakat berkenaan dengan penanganan dan pengelolaan sampah.
Sumber:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
2. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
3. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penanganan Sampah, Perizinan Usaha Pengelolaan Sampah, dan Kompensasi Lingkungan.
4. Peraturan Gubernur Nomor 99 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Penggunaan Fasilitas dan Jasa Pelayanan Pengelolaan Sampah di Tempat Pemrosesan Akhir Regional Pada Balai Pengelolaan Infrastruktur Sanitasi dan Air Minum Perkotaan