Ombudsman dan Pemulihan Kerugian Masyarakat
10 Maret 2000 adalah tonggak sejarah pengawasan pelayanan publik di republik ini. Presiden Gusdur menetapkan Keppres 44/2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional (KON). Maka, 10 Maret ditetapkan sebagai hari jadi Ombudsman dan Gusdur sebagai Bapak Ombudsman Indonesia.
Bernafaskan Reformasi 1998, Ombudsman dibentuk untuk masyarakat. Keppres 44/2000 memuat dua tujuan KON. Pertama, melalui peran serta masyarakat membantu menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemberantasan KKN. Kedua, meningkatkan perlindungan hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan yang makin baik.
KON menjadi Ombudsman Republik Indonesia berdasarkan UU 37/2008. Tujuan Ombudsman bertambah dan lebih luas cakupannya. Inti lima tujuan itu adalah negara hukum, good governance, mutu pelayanan publik, pencegahan dan pemberantasan maladministrasi & KKN, serta budaya hukum. Pasal 4 butir d UU 37/2008 (UU Ombudsman RI) berbunyi "Ombudsman bertujuan membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktik-praktik maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme".
Maladministrasi dan korupsi
Maladministrasi berasal dari kata maladministration dalam bahasa Inggris. Secara sederhana ini merujuk pada administrasi yang buruk. Mirriam-Webster mengartikannya sebagai pemerintahan atau badan publik yang korup atau inkompeten.
UU Ombudsman RI telah mendefinisikan maladministrasi, yang memuat beberapa unsur. Pertama, maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum. Kedua, terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Ketiga, dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan. Keempat, menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Harus diakui bahwa masyarakat lebih mengenal istilah korupsi daripada maladministrasi. Istilah korupsi kerap tampil di layar kaca ataupun kolom-kolom berita media massa, seiring pejabat jadi tersangka atau punya harta tak wajar. Masyarakat ramai bicara soal korupsi di media sosial, warung kopi, maupun forum ilmiah. Sedangkan maladministrasi, menurut survey tahun 2019 hanya 22% dari 2.818 responden yang tahu istilah ini (Ombudsman RI, 2019).
Padahal secara internasional, maladministrasi diyakini sebagai pangkal korupsi. Independent Commission Against Corruption (ICAC) South Australia menyatakan, "Maladministration can cost more and cause more damage than corruption; hence, the fight against corruption begins with the fight against maladministration." Maladministrasi bisa lebih menelan banyak biaya dan lebih merusak. Karenanya, pemberantasan korupsi dimulai dari pemberantasan maladministrasi.
Memasyarakatkan kerugian masyarakat
Jika tindak pidana korupsi erat dengan kerugian negara, maladministrasi erat dengan kerugian masyarakat. Itu karena maladministrasi berdampak adanya kerugian masyarakat secara kolektif maupun orang perseorangan, baik berupa materiil maupun immateriil. Menurut Alfian Misran (2023), kerugian masyarakat akibat maladministrasi bisa berupa kerugian finansial, kerugian non-finansial, maupun kerugian ekonomi.
Pelayanan yang buruk seringkali menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan masyarakat jadi membengkak, yang berarti ada kerugian finansial. Belum lagi kerugian non-finansial seperti stres, ketidaknyamanan, kemarahan, hingga waktu yang terbuang percuma. Lebih jauh, pelayanan yang buruk dapat mengakibatkan hilangnya kesempatan mendapat keuntungan (loss of income opportunity) atas suatu kegiatan ekonomi.
Namun seperti halnya istilah maladministrasi, isu kerugian masyarakat ini belum populer di masyarakat. Publik kadang tidak sadar betapa besar kerugian yang ditanggung masyarakat akibat maladministrasi. Bisa jadi hal itu karena maladministrasi dalam pelayanan dianggap suatu hal yang biasa. Mungkin juga karena kerugian finansial yang ditanggung orang perorangan dianggap tidak besar. Padahal jika diakumulasikan, kerugian masyarakat akibat maladministrasi bisa jadi jauh lebih besar daripada kerugian negara akibat kasus korupsi.
Maka dari itu, upaya memasyarakatkan istilah maladministrasi dan kerugian masyarakat sangat urgen dewasa ini. Publik perlu semakin sadar akan haknya atas pelayanan yang baik, tanpa maladministrasi. Masyarakat harus berani menolak segala bentuk maladministrasi dan melaporkannya kepada kepada Ombudsman RI atau saluran pengaduan lainnya.
Simbol penolakan terhadap maladministrasi dan kerugian masyarakat itu harus dibuat semakin nyata. Misalnya, beberapa pihak menilai wacana Hari Anti Maladministrasi sebagai pengingat tahunan bagi publik terhadap bahaya maladministrasi perlu segera direalisasikan. Upaya lainnya yaitu dengan segera mengimplementasikan ganti rugi atas kerugian masyarakat akibat maladministrasi. Karena selain bertujuan memulihkan kerugian masyarakat, ganti rugi itu bersifat deterrence, yaitu mencegah maladministrasi serupa berulang kembali.
Peluang dan tantangan pemulihan kerugian
Pemulihan atau pengembalian kerugian publik melalui kompensasi atau ganti rugi dapat diwujudkan. Hal itu karena ganti rugi atau kompensasi layanan publik telah dipraktekkan di beberapa negara, seperti Inggris, Australia, Belanda, dan lain-lain. Selain itu, ganti rugi pelayanan publik juga telah diatur dalam UU 37/2008, UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik, serta beberapa undang-undang sektoral. Tetapi implementasi atas ketentuan perundang-undangan itu masih dihadapkan pada berbagai tantangan.
Memang berdasarkan UU 37/2008, Ombudsman RI berwenang mengeluarkan rekomendasi untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Hal itu dilakukan apabila maladministrasi dan kerugian masyarakat akibat maladministrasi itu dapat dibuktikan. Adapun UU 25/2009 menyatakan Ombudsman RI dapat melakukan mediasi, konsiliasi, dan ajudikasi khusus dalam menangani tuntutan ganti rugi dari pengadu.
Tetapi Peraturan Presiden mengenai mekanisme pembayaran ganti rugi sebagai peraturan pelaksanaan ketentuan dalam UU 25/2009 itu belum juga terbit. Di sisi lain, terdapat isu ketidakpatuhan sebagian penyelenggara negara atau pemerintahan terhadap Rekomendasi Ombudsman RI, khususnya yang memuat permintaan untuk membayar sejumlah uang kepada masyarakat.
Kini dalam momentum hari jadi Ombudsman RI ke-23, prosedur dan metode penilaian kerugian masyarakat merupakan salah satu agenda penting yang menjadi atensi pimpinan Ombudsman RI. Ombudsman RI juga dinilai perlu terus meningkatkan kompetensi Insan Ombudsman dalam membuktikan maladministrasi dan kerugian masyarakat.
Lebih jauh, kewenangan Ombudsman RI sebagai lembaga yang berwenang menghitung kerugian masyarakat juga perlu diatur lebih kuat dalam undang-undang. Hal ini sangat penting dalam rangka menjamin kepatuhan penyelenggara negara atau pemerintahan terhadap Rekomendasi Ombudsman RI yang memuat permintaan membayar ganti rugi kepada masyarakat.