Ombudsman Babel Gagalkan Pungli Jutaan Rupiah dari PTSL
Dewasa ini kepemilikan hak tanah merupakan sesuatu yang bernilai bagi manusia. Nilai tersebut seringkali dikaitkan dengan aspek ekonomi, budaya, politik, serta sosial sehingga perbedaan waktu, letak tempat dan tata ruang akan berakibat pada adanya perbedaan tata nilai terhadap tanah. Kepemilikan hak atas tanah di Indonesia mengalami berbagai perubahan. Ketika jumlah penduduk masih sedikit dan jumlah tanah tak terbatas, maka tanah hanyalah sekadar komoditi yang diolah dan dimanfaatkan untuk kepentingan individu dan tidak diperjualbelikan. Seiring bertambahnya penduduk maka tanah mulai diperjualbelikan, terjadi peristiwa permintaan dan penawaran kemudian membuat kepemilikan tanah berubah dari konsep land as commodity menjadi land as property (Rosmidah, 2013). Dampaknya cukup luar biasa, perolehan hak atas tanah tersebut dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk dijadikan objek investasi jangka panjang yang cukup menjanjikan. Mungkin sebagian masyarakat itu tergolong mereka yang memiliki financial capital dengan sumber-sumber ekonomi yang menjanjikan pula.
Lalu, terselip pertanyaan bagaimana dengan sebagian masyarakat lain yang jangankan mengharapkan kepemilikan tanah untuk investasi, untuk tempat tinggal mereka sendiri pun masih tidak jelas secara prosedur dan terkadang tidak mampu secara ekonomi untuk melakukan pendaftaran tanah serta perolehan hak atas tanah. Syukurnya, Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional meluncurkan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) tanpa dipungut biaya oleh petugas, namun bukan berarti masyarakat tidak mengeluarkan biaya pribadi. Biaya pribadi yang mungkin dikeluarkan oleh masyarakat diantaranya biaya materai, patok, dan fotokopi dokumen. Selain itu, adapula kewajiban masyarakat untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)Â sebagai syarat yang harus dilunasi untuk memperoleh hak atas tanah berupa sertifikat tanah.
Â
Program PTSL dan Studi Kasusnya
Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018, PTSL merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua objek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya. Kepala Kantor Pertanahan dapat menetapkan lokasi kegiatan PTSL di wilayah kerjanya dalam satu wilayah desa/kelurahan atau secara bertahap dalam satu hamparan dengan ketentuan tertentu, pastinya berkoordinasi dengan aparat pemerintah setempat.
Pada tahun 2020 yang lalu, Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Bangka Belitung menerima laporan dari salah satu masyarakat  desa yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terkait dengan program PTSL Tahun 2017 yang sertifikatnya tidak bisa diambil sampai Tahun 2020. Terlapor dari permasalahan tersebut adalah oknum aparat pemerintah desa dimaksud.  Pelapor telah berupaya mempertanyakan ke kantor desa setempat karena yang giat mengurus berkas-berkas yang dipersyaratkan saat itu adalah salah satu aparat pemerintah desa tersebut, namun Pelapor tidak memperoleh kejelasan mengenai sertifikat tanahnya. Setelah ditelusuri, menurut Pelapor dirinya sempat dimintai uang senilai jutaan rupiah oleh oknum aparat pemerintahan desa untuk pengambilan sertifikat miliknya, namun Pelapor tidak memiliki uang senilai tersebut sehingga saat itu Pelapor tidak mau memenuhi permintaan oknum aparat pemerintah desa tersebut.
Singkat cerita, setelah  Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Bangka Belitung melakukan klarifikasi terhadap aparat pemerintahan desa setempat, Kantor Pertanahan setempat dan Badan Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah setempat, didapatkan informasi bahwa permasalahan utama terganjalnya sertifikat milik Pelapor selama 3 (tiga) tahun ini adalah karena belum dibayarnya Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) milik Pelapor sejumlah sekitar Rp 185.000,-. Setelah diberitahukan mengenai jumlah yang harus dibayar tersebut, Pelapor merasa sangat kecewa karena selama 3 (tiga) tahun ini dirinya memperoleh informasi dari oknum pemerintah desa bahwa untuk mengambil sertifikat miliknya harus mengeluarkan uang senilai jutaan rupiah. Sehingga, untuk mempercepat penyelesaian masalah yang dihadapinya Pelapor lebih memilih untuk bersedia membayar BPHTB tersebut serta membayar Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang dinilai Pelapor masih sanggup untuk dirinya bayar. Pelapor difasilitasi Ombudsman berkoordinasi dengan Kantor Pertanahan serta Badan Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah setempat untuk melakukan pembayaran BPHTB tersebut sehingga pada hari yang sama Pelapor telah memperoleh sertifikat hak milik tanahnya yang selama 3 (tiga) tahun ini 'tidak bisa' diambilnya.
Â
Tugas Masyarakat dan Aparat Pemerintahan dalam Program PTSL
Kewajiban membayar BPHTB memang suatu kewajiban wajib pajak sebagaimana ketentuan dalam pasal 90 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Namun, bukan berarti oknum aparat pemerintahan tertentu boleh memanfaatkan kesempatan itu dengan memberikan informasi yang salah denqan tujuan memperoleh keuntungan dari masyarakat karena hal tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 34 huruf l Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Berkenaan dengan Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan atau BPHTB, sebaiknya Pemerintah Kabupaten/Kota agar segera dapat mengkaji dan menyusun perangkat peraturan daerah untuk mengurangi atau bahkan membebaskan BPHTB sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dapat berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Kantor Pertanahan setempat untuk merealisasikan hal baik bagi masyarakat luas tersebut. Sebab bukan tanpa alasan, sudah selayaknya Bupati/Walikota memberikan pengurangan pajak terutang kepada wajib pajak yang memperoleh hak baru melalui Program Pemerintah bidang pertanahan seperti Program PTSL, karena masyarakat yang mengikuti program PTSL mayoritas adalah dari kalangan masyarakat kurang mampu.