Metrologi Legal sebagai Layanan Dasar
Layanan dasar dalam pelayanan publik mengacu pada jenis layanan yang paling mendasar dan penting yang wajib disediakan oleh pemerintah kepada masyarakat. Layanan ini biasanya mencakup kebutuhan pokok yang harus dipenuhi untuk memastikan kesejahteraan, keamanan, dan kualitas hidup masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, keamanan, dan administrasi kependudukan. Secara umum, layanan dasar dalam konteks pelayanan publik di Indonesia mencakup layanan yang langsung berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara, yang juga sering disebut sebagai hak sosial-ekonomi yang diakui oleh negara.
Pasal 28H UUD 1945 mengatur tentang hak setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, tempat tinggal yang layak, dan lingkungan hidup yang baik. Pasal 12 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa pemerintah daerah wajib menyediakan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, infrastruktur dasar, dan administrasi kependudukan sebagai bagian dari kewenangan wajib yang harus diberikan kepada masyarakat. Permendagri No. 100 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) mengatur ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib pemerintah yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal. Layanan dasar yang diatur dalam SPM meliputi: Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan umum dan penataan ruang, Perumahan rakyat dan kawasan permukiman, Ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat, dan Sosial.
Layanan kemetrologian adalah layanan yang terkait dengan ilmu pengukuran (metrologi) yang berfungsi untuk memastikan kebenaran dan keadilan dalam setiap aktivitas pengukuran, terutama dalam perdagangan. Kemetrologian berperan penting dalam memverifikasi akurasi dan keandalan alat-alat ukur yang digunakan dalam transaksi perdagangan seperti timbangan, meteran, dan alat ukur lainnya. Layanan ini meliputi berbagai aktivitas, seperti: 1) Kalibrasi Alat Ukur (menjaga agar alat ukur seperti timbangan, meteran, atau alat pengukur lainnya tetap akurat sesuai dengan standar yang berlaku); 2) Pengujian Alat Ukur (memastikan bahwa alat ukur yang digunakan dalam transaksi perdagangan atau industri bekerja dengan benar dan memberikan hasil yang tepat); 3) Pengawasan dan Inspeksi (melakukan pemeriksaan rutin terhadap alat ukur yang digunakan dalam berbagai bidang, termasuk perdagangan, industri, pertanian, dan sektor lainnya, untuk mencegah kecurangan); 4) Sertifikasi Alat Ukur (memberikan sertifikasi atau stempel resmi pada alat ukur yang telah diuji dan diverifikasi agar alat tersebut dapat digunakan secara legal); dan, 5) Penegakan Hukum Kemetrologian (melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran, seperti kecurangan dalam pengukuran atau penggunaan alat ukur yang tidak sesuai standar).
Fungsi utama layanan kemetrologian ini adalah menjamin kepercayaan dalam transaksi perdagangan, menjaga keadilan dan kebenaran pengukuran, dan melindungi konsumen dan produsen. Konsumen dan pedagang dapat merasa aman bahwa alat ukur yang digunakan sudah terverifikasi keakuratannya, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.Layanan kemetrologian memastikan bahwa alat ukur yang digunakan, baik oleh konsumen maupun pelaku usaha, memberikan hasil yang akurat dan adil.Kemetrologian bertujuan melindungi kedua belah pihak dalam transaksi agar tidak ada yang dirugikan akibat ketidakakuratan alat ukur. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1985 tentang Wajib dan Pembebasan Untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang serta Syarat-Syarat Bagi Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 115 Tahun 2018 tentang Unit Metrologi Legal.
Di dalam peraturan perundangan tersebut diatur bahwa pengujian alat ukur atau Tera/Tera Ulang harus dilakukan secara berkala yang dilakukan setiap tahun untuk memastikan alat ukur tetap akurat dan tidak mengalami perubahan fungsi atau kinerja yang dapat memengaruhi hasil pengukuran. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam UU 2/1981 tentang Metrologi Legal Pasal 19 dan Pasal 24, bahwa setiap alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya yang digunakan dalam transaksi perdagangan wajib menjalani tera pertama kali dan tera ulang secara berkala, yang dilakukan oleh lembaga metrologi yang berwenang, dan alat ukur yang sudah memenuhi standar akan diberikan tanda tera (stempel atau segel) sebagai bukti kelayakan penggunaan. Terdapat sanksi apabila tidak melakukan tera/tera ulang berupa pencabutan izin penggunaan alat ukur, denda atau hukuman pidana bagi pelaku usaha yang dengan sengaja menggunakan alat ukur yang tidak sesuai standar.
Kemetrologian sangat mempengaruhi sektor-sektor lain yang dianggap sebagai layanan dasar, seperti kesehatan (misalnya pengukuran dalam alat medis) dan keamanan publik (misalnya pengukuran terkait keselamatan transportasi). Secara eksplisit, kemetrologian tidak dikategorikan sebagai layanan dasar dalam peraturan yang ada. Namun, kemetrologian memainkan peran pendukung yang krusial dalam menjaga keadilan ekonomi dan melindungi konsumen. Kemetrologian, dalam bentuk metrologi legal, menjamin bahwa pengukuran yang digunakan dalam transaksi ekonomi bersifat akurat dan andal, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas layanan publik secara keseluruhan.
Wakil Menteri Perdagangan RI, Dr. Jerry Sambuaga, dalam kegiatan Talk Show Hari Metrologi Sedunia pada tanggal 19 Mei 2022, mengatakan bahwa kesalahan 0,5% UTTP (alat-alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya) dalam satu kali transaksi pasar di seluruh Indonesia, berpotensi merugikan konsumen atau pelaku usaha sebesar Rp 3,378 triliun per hari atau ±Rp 1.233 triliun per tahun hanya untuk 1 komoditas. Nilai kerugian ini setara dengan 7,7% PDB Indonesia. Sebagai ilustrasi penghitungan potensi kerugian masyarakat dalam setiap kesalahan 50 gram setiap kilogram penimbangan di pasar. Dengan asumsi jumlah pedagang pengguna timbangan sebanyak 2.000 orang, jumlah pelanggan 10 orang, dengan rata-rata jumlah belanja per pelanggan 10 kg dengan harga rata-rata komoditas per kg Rp. 10.000, maka potensi kerugian masyarakat per hari adalah (50g/1000g)x10kgx10orgxRp 10.000x 2.000 pedagang = Rp 100.000.000, yang dalam satu tahun mencapai 36,5 miliar rupiah per kab/kota. Kalikan dengan seluruh jumlah kab/kota yang ada di Indonesia maka nilainya menjadi 18,7 triliun rupiah. Di sektor migas, setiap kesalahan -0,6% pada SPBU, yang setiap SPBU terdiri atas 10 Nozzle dengan omzet 100.000 liter/hari, dengan harga BBM Rp. 12.950 per liter, maka potensi kerugian masyarakat adalah (0,6-0,5)%x100.000xRp 12.950 = Rp 129.500.000/Hari/SPBU. Jika ada 10 SPBU di kab/kota yang memiliki karakter sama, maka kerugian masyarakat per hari mencapai Rp 1.295.000.000. Kalikan dengan seluruh jumlah kab/kota yang ada di Indonesia maka nilainya menjadi 665 miliar rupiah per hari.
Lalu apa yang ditemukan Ombudsman? Pada bulan Juli 2024 di Provinsi Lampung, Ombudsman RI menemukan segel tera ulang yang sudah dirusak pada mesin pompa SPBU. Pada bulan Agustus di Provinsi Riau Ombudsman RI menemukan timbangan dacin (gantung) yang digunakan dalam transaksi jual beli kelapa sawit tidak dilakukan tera ulang. Pada bulan yang sama di Provinsi Kalimantan Tengah, Ombudsman RI menemukan timbangan dacin dalam transaksi jual beli kelapa sawit tidak dilakukan tera ulang dan mengalami pengurangan berat timbangan 150 gram dalam setiap 110 kg. Jika semua timbangan dacin dalam jual beli kelapa sawit kepada petani kecil memiliki karakter yang sama, maka potensi kerugian seluruh petani sawit setiap tahun mencapai angka 1,9 triliun rupiah. Melihat besarnya dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan bagi masyarakat, seharusnya metrologi legal dapat dimasukkan sebagai bentuk layanan dasar di sektor ekonomi.
Telah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Metrologi Legal, tapi mengapa penyimpangan pengukuran atau penimbangan masih terjadi? Dari data yang diperoleh dari Direktorat Metrologi Legal Kementerian Perdagangan RI per Juni 2024 bahwa dari total 514 kab/kota baru 509 kab/kota yang memiliki UML (Unit Metrologi Legal). Dari 509 kab/kota tersebut terdapat 152 kab/kota yang UML nya tidak operasional. Sisanya sudah operasional, tapi dengan kondisi minimnya jumlah SDM dan anggaran operasional yang sangat rendah. Kita ambil contoh Kab. Kotawaringin Timur di Provinsi Kalimantan Tengah, yang telah memiliki UML tapi hanya didukung oleh SDM sebanyak 3 orang dengan alokasi anggaran operasional dari APBD sebesar 40 juta rupiah. Sedangkan jangkauan kerja pengawasannya meliputi 17 kecamatan, yang artinya anggaran operasional untuk setiap kecamatan hanya 2,3 juta rupiah. Dengan kondisi jumlah SDM yang terbatas dan dengan dukungan anggaran yang tidak memadai, maka sudah bisa dipastikan bahwa kegiatan layanan metrologi legal tidak akan berjalan efektif. Hal tersebut yang menyebabkan kepatuhan terhadap penggunaan alat ukur/timbang yang akurat sulit untuk dipenuhi, dan membuka potensi pelanggaran metrologi legal yang menimbulkan kerugian materil kepada masyarakat.
Maladministrasi salah satunya adalah adalah perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian materil bagi masyarakat. Aturan terkait metrologi legal sudah ada, pemerintah daerah telah memiliki UML (walau sebahagiannya belum operasional atau belum ada), kemudian Ombudsman RI masih menemukan penyimpangan penggunaan alat ukur yang sangat merugikan masyarakat secara materil, kemudian apa yang dapat dilakukan oleh Ombudsman untuk menyelesaikan masalah layanan tersebut? Sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, tentu terdapat beberapa kegiatan pengawasan yang bisa dilakuka oleh Ombudsman, seperti melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pelayanan kemetrologian. Yaitu dengan melakukan audit periodik terhadap layanan yang melibatkan pengukuran, seperti perdagangan ritel, bahan bakar, dan layanan kesehatan. Namun, melihat SDM yang terbatas dan struktur kelembagaan yang hanya sampai di level provinsi dengan wilayah kerja yang sangat luas, hal ini sangat sulit untuk dilaksanakan. Mengingat ruang lingkup pengawasan pelayanan publik yang diawasi oleh Ombudsman juga begitu luas.
Ombudsman RI memiliki rutinitas tahunan yaitu kegiatan survei kepatuhan standar pelayanan publik yang bertujuan untuk memastikan bahwa penyelenggara pelayanan publik, baik di tingkat pusat maupun daerah, mematuhi standar yang ditetapkan, serta memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat. Kemetrologian, yang berkaitan erat dengan keadilan ekonomi dan perlindungan konsumen, dapat menjadi salah satu aspek penting yang diperhatikan dalam survei ini, meskipun selama ini mungkin tidak dianggap sebagai fokus utama. Untuk memaksimalkan fungsi kemetrologian dalam kegiatan survei kepatuhan standar pelayanan publik, Ombudsman dapat melakukan integrasi kemetrologian ke dalam Indikator Survei. Ombudsman perlu memperluas cakupan survei kepatuhan dengan memasukkan kemetrologian sebagai salah satu aspek penilaian. Dimana keberadaan dan operasional UML, termasuk di dalamnya ketersediaan SDM dan dukungan anggaran yang memadai, sebagai salah satu komponen wajib yang harus dimiliki oleh setiap pemerintah daerah yang akan mempengaruhi hasil penilaian. Dengan begitu Ombudsman dapat menjalankan perannya sebagai magistrature of influence,untuk meningkatkan layanan kepada masayarakat di bidang metrologi legal.