Meruntuhkan Arogansi : Telaah Pengenaan Pasal Pencemaran Nama Baik dan Pengaduan Fitnah dalam Aspek Pelayanan Publik
Tidak jarang, pelaksana pelayanan publik yang dilaporkan oleh masyarakat ke Ombudsman mengutarakan niatnya untuk balik melaporkan masyarakat tersebut ke kepolisian atas dugaan pencemaran nama baik atau pengaduan palsu. Inflasi harga diri yang terus naik seiring dengan status jabatan yang diperoleh, membuat seolah harus selalu menerima penghormatan yang tinggi dari orang lain, menolak semua bentuk aksi yang dikira negatif bahkan menyikapinya dengan mempenalisasi orang-orang tersebut. Parahnya itu terjadi di era reformasi birokrasi dimana pelaksana pelayanan publik dituntut untuk merepresentasi asas akuntabel yang konsekuensinya tidak lain adalah bersedia menerima sorotan dari masyarakat. Sudah seharusnya pelaksana pelayanan publik lebih terbuka, termasuk dalam menerima kritik.
Benar bahwa kehormatan dan martabat adalah hak konstitusional yang dijamin UUD NRI 1945 sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28G ayat (1), namun perlu dilakukan dikotomi antara tindakan nyinyir masyarakat yang menyerang harga diri seorang pelaksana pelayanan publik, yang salah satunya dapat ditandai dari tindakan itu dilakukan tidak sesuai mekanisme atau sarana yang telah disediakan, dan pernyataannya bukan berupa spekulasi melainkan dalam bentuk narasi yang seolah pasti telah terjadi. Ini jelas berbeda dengan tindakan yang jika masyarakat melaporkan pelaksana pelayanan publik tersebut kepada lembaga negara salah satunya Ombudsman. Selain karena merupakan akses yang memang disediakan negara juga penyampaian pengaduan bersifat spekulatif, dan esensi pengaduan yang disampaikan ialah menyoal kualitas pelayanan yang tidak lain memang merupakan kewajiban bagi pelaksana dan sebaliknya hak bagi masyarakat. Menyampaikan pengaduan kepada lembaga negara tidak lain sebagai bentuk pengejawantahan hak untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
Menurut Sajtipto Rahardjo (Ilmu Hukum, 2012 : 67) dalam hukum pada dasarnya hanya dikenal dua stereotip tingkah laku, yaitu menuntut yang berhubungan dengan hak dan berhutang yang berhubungan dengan kewajiban. Jika penalisasi masyarakat terus dibiarkan, ini akan menimbulkan trauma dalam skala yang besar, karena takut berimbas pada persoalan pidana. Masyarakat menjadi takut menggunakan hak menyampaikan pengaduan, sementara masyarakat selaku pemegang hak atas pelayanan publik seyogianya mendapatkan jaminan. Akhirnya tanpa kritik dan koreksi penyelenggraan pelayanan publik justru akan terpuruk jauh meninggalkan standar pelayanan minimal yang seharusnya dipenuhi. Bukankah kondisi seperti ini justru kontraproduktif dengan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik yang terbuka dan akuntabel? Juga berlawanan dengan reformasi birokrasi yang selama ini digaungkan.
Pengaduan bukan Nyinyir
Berbeda dengan menyematkan tuduhan/serangan personal di media sosial, menyampaikan pengaduan kepada lembaga atau divisi yang oleh hukum bertugas menerima pengaduan haruslah dipandang sebagai pemanfaatan akses yang memang disediakan oleh negara atau penerapan prinsip demokrasi dalam menjalankan pemerintahan, dimana masyarakat berhak mengemukakan pendapat. Sehingga menyambut pengaduan masyarakat dengan langkah penalisasi justru menunjukkan kedangkalan berdemokrasi dalam pelayanan publik.
Dalam pengaduan itu sendiri, misalnya kepada Ombudsman, bersifat spekulatif berupa dugaan, sehingganya terdapat proses mekanisme yang akan berlangsung sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Di antaranya adalah pelaksana pelayanan publik sebagai pihak yang dilaporkan memiliki hak untuk mengklarifikasi, memberikan keterangan dan menyerahkan salinan dokumen yang dapat menjustifikasi tidak terjadi perbuatan maladministrasi, barulah kemudian setelah mendengar keterangan dari kedua pihak Ombudsman akan menyimpulkan terjadi atau tidaknya maladministrasi.
Dari proses ini sesungguhnya tercermin bahwa esensi dari penyampaian pengaduan oleh masyarakat bukanlah serangan kepada martabat dan kehormatan seorang pelaksana itu sebagai pribadi. Tetapi kepada kualitas layanan publik yang diberikan dan tentu dalam kapasitasnya yang memang sebagai pelaksana pelayanan publik yang terikat pada kewajiban.
Delik pencemaran nama baik dan pengaduan palsu harusnya tidak diposisikan sebagai senjata untuk menyerang balik masyarakat ketika mereka menyalurkan haknya menyampaikan keluhan ke lembaga negara. Bagaimanapun dalam iklim demokrasi, hujan kritik adalah konsekuensi, tidak perlu sangsi dengan menciptakanchilling effect. Selama masyarakat menyampaikan pengaduannya pada lembaga dan dengan mekanisme yang telah diatur, harusnya tidak berbuntut pada laporan polisi. Justru yang seharusnya terjadi adalah pelaksana pelayanan publik sangsi menggunakan delik aduan ini untuk memenjarakan masyarakat, sebab seolah mengukuhkan privilege di samping diskriminatif. Sejatinya mengingkari sistem demokrasi sedang pada poin lain mengeluarkan pendapat adalah hak konstitusional yang dijamin oleh negara. Maka seharusnya sepanjang masyarakat menyampaikannya pada wadah (lembaga dan mekanisme) yang tepat, hal ini tidak perlu menjadi persoalan.
Pembatasan Delik
Diharapkan ke depannya delik pencemaran nama baik dan pengaduan fitnah ini tidak lagi digunakan sebagai self defence untuk menyerang balik masyarakat. Sehingga keberadaan Ombudsman dan instansi/divisi lain seperti inspektorat, propam, dan lain-lain sebagai lembaga yang disediakan negara untuk masyarakat menyampaikan pengaduannya tidak berimbas penalisasi. Walau iya pelaporan ke polisi masih harus dibuktikan di hadapan persidangan, namun tetap saja proses pemidanaan semacam ini sudah cukup menciptakan chilling effect.
Pengenaan pasal 317 KUHP kepada masyarakat, seharusnya tidak dapat serta merta diterapkan. Pelaksana pelayanan publik semestinya mampu memaknai bahwa penyampaian pengaduan oleh masyarakat kepada lembaga yang disediakan secara sah oleh negara bersifat dugaan yang masih membutuhkan proses pemeriksaan sebelum sampai pada kesimpulan. Jadi bukan merupakan sebuah pengaduan yang bersifat pasti untuk tujuan menyerang kehormatan, tapi lebih kepada tuntutan agar pelaksana pelayanan publik melaksanakan kewajiban untuk memberikan pelayanan sesuai standar yang diatur. Sebagaimana pendapat Satjipto Rahardjo (Ilmu Hukum, 2012 : 67) seorang yang mempunyai hak oleh hukum diberi kekuasaan untuk mewujudkan haknya itu, yaitu dengan cara meminta pihak lain untuk menjalankan kewajiban tertentu.
Poinnya, sejauh yang dilaporkan oleh masyarakat kepada lembaga yang sah adalah menyoal dugaan atas perbuatan pelaksana dalam kapasitasnya sebagai pemberi pelayanan publik selaku pemangku kewajiban maka seharusnya delik pencemaran nama baik dan pengaduan fitnah tidak dapat diterapkan. Untuk itu sudah seharusnya ketentuan terkait kedua delik ini segera diubah dengan menegaskan batasannya, antara serangan terhadap kerhormatan dengan kritik atas performa seseorang dalam kapasitasnya sebagai pemberi pelayanan publik. Perubahan pasal yang mengatur kedua delik ini untuk menyudahi upaya penalisasi terhadap masyarakat atas pelaksanaan haknya mengadukan pelaksana pelayanan publik. Meruntuhkan arogansi aparat negara, menginternalisasi kesadaran bahwa pada sisi lain mereka memiliki kapasitas sebagai pelayan publik yang dituntut profesional dengan konsekuensi jika pelayanan di bawah standar maka masyarakat berhak mengadukannya kepada lembaga dengan mekanisme yang sah.
Namun sekedar mengalamatkan harapan pada aparat negara sebagai pemberi layanan publik agar tidak mempenalisasi masyarakat menggunakan pasal-pasal tersebut, hanya menyabung harapan semata, karenanya hukum harus mengambil perannya sebagai alat kontrol sosial. Untuk bisa demikian maka langkah pertama adalah membuat hukum itu sendiri menjadi jelas terlebih dahulu, melalui perubahan terhadap pasal-pasal yang mengatur pencemaran nama baik dan pengaduan fitnah.
Mengapa hanya mengubah dan bukan menghapuskan? Dikarenakan ketentuan yang mengatur kedua delik tersebut pada pokoknya mengakomodir perlindungan hak konstitusional setiap orang, hak seluruh rakyat Indonesia atas martabat dan kehormatan. Namun dalam praktiknya, pasal tersebut juga digunakan oleh oknum yang anti-kritik untuk menyerang penggunaan hak konstitusional lainnya, yaitu hak masyarakat untuk berpendapat, yang bentuknya berupa penyampaian pengaduan. Sehingga ketimbang menghapus, lebih tepat agar dilakukan perubahan yang menegaskan batas-batas agar tidak lagi memberi peluang kepada pelaksana pelayanan publik sebagai aparat negara untuk mempenalisasi masyarakat. Pada prinsipnya bukankah pasal-pasal haatzaai artikelen seperti penghinaan presiden pun sudah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Ini cukup menunjukkan bahwa rezim hukum kita telah mengamini penolakan terhadap privilege aparat negara dan adanya pemisahan antara kapasitas sebagai orang pribadi dengan pemegang jabatan yang melekat padanya kewajiban.
Delik pencemaran nama baik dan pengaduan fitnah relevan dengan paradigma Administrasi Publik Klasik, yang mensejajarkan posisi aparat negara sebagai priayi dengan tidak berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Pada sistem tertutup seperti itu, menimpali pendapat/kritik masyarakat dengan penalisasi dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Namun apakah saat ini kita sudi mengalami kemunduran kembali pada paradigma tersebut? Sementara upaya-upaya strategis selama ini telah ditempuh seperti Zona Integritas, Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4NLAPOR) dan lain seterusnya sebagai wujud bukti kemajuan kita menuju arah pelaksanaan paradigma New Public Management. Dengan paradigma ini maka akuntabilitas menjadi suatu keharusan, konsekuensinya penyelenggaraan pelayanan publik mesti ramah menerima kritik masyarakat termasuk yang direfleksi dalam bentuk pengaduan. Dengan demikian penggunaan kedua delik ini untuk mempenalisasi masyarakat sudah jauh ketinggalan dan melukai prinsip akuntabilitas. Berpikir ke depan, memberi pelayanan sesuai standar dan terbuka menerima kritik, menghormati porsi hak masyarakat, berupaya mewujudkan pelayanan prima.