• ,
  • - +

Artikel

Menyingkirkan Budaya ‘Enggan’ Melapor di Masyarakat
• Rabu, 12/02/2020 • Tari Mardiana
 
Tari Mardiana, Asisten Ombudsman Republik Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat. (foto istimewa)

Banyak ahli telah menjelaskan definisi masyarakat atau dikenal dengan istilahsociety, sebagai sekumpulan kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang relatif lama, dan mampu membuat keteraturan dalam kehidupan bersama yang mereka menganggap sebagai satu kesatuan sosial. Sedangkan Koentjaraningrat, seorang guru besar Antropologi Universitas Indonesia menyebut masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang saling 'bergaul', atau dengan istilah ilmiah, saling 'berinteraksi'.

Dalam perkembangannya, masyarakat mengalami proses perubahan yang mengikuti kondisi zaman. Hal ini diakibatkan adanya perkembangan dalam bidang keilmuan, teknologi, industri hingga ekonomi sosial. Sistem tradisional secara tidak langsung dipaksa berubah ke sistem modern atau dikenal dengan istilahsocial change(perubahan sosial).Keadaan ini mendorong anggota masyarakat untuk melakukan adaptasi dalam pergaulan hidup dan meningkatkan kemampuan pemenuhan kebutuhan atau hak hidup dasar.

Salah satu hak dasar yang harus terpenuhi adalah kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkeadilan oleh penyelenggara pelayanan. Untuk melindungi hak-hak masyarakat, dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 telah jelas diatur hak dan kewajiban warga negara, mulai dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 34.  

 Jika merujuk pada Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik, dalam Pasal 1 ayat (6) disebutkan masyarakat adalah seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung.

 

Partisipasi Masyarakat Dalam Pelayanan publik

Masyarakat dan pelayanan diibaratkan dua sisi yang tidak bisa saling dipisahkan. Masyarakat tidak lagi hanya dianggap sebagai pengguna layanan, tetapi juga sebagai pemilik dari layanan tersebut. Tidak juga salah jika masyarakat menganggap dirinya raja yang harus mendapat pelayanan terbaik dari penyelenggara pelayanan.

Masyarakat juga memiliki kewenangan pengawasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 Ayat (3) UU 25/2009 yaitu, pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui pengawasan oleh masyarakat, berupa laporan atau pengaduan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Pengaduan ini kemudian dapat disampaikan kepada pimpinan maupun unit penyelenggara secara langsung, apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan, masyarakat punya hak yang besar untuk ikut berpartisipasi dalam pelayanan publik, untuk mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas dan sesuai dengan harapan masyarakat.

Metode partispasi masyarakat melalui keluhan atau pengaduan sudah pula dijabarkan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Dengan Partisipasi Masyarakat.  

Namun realitasnya, kenapa orang yang mengadu atau melapor atas pelayanan publik yang kurang baik malah di anggap salah? Partisipasi dari masyarakat seolah-olah menjadi presdir buruk yang sering direspon secara kurang baik oleh penyelenggara pelayanan. Padahal pengaduan pastilah didasarkan pada pelayanan yang tidak terselenggara secara prima, yang harusnya disikapi secara positif, tapi terkesan menjadi intimidasi.

Kepercayaan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat harusnya dapat dibangun dan dipertahankan oleh semua penyelenggara pelayanan. Bukan karena sudah merasa baik, kemudian menarik diri untuk menerima kritik. Pengaduan adalah sarana untuk perbaikan pelayanan dan jauh lebih efisien. Asas transparan, akuntabel dan berkeadilan adalah dasar pemberian pelayanan yang menjunjung kesamaan perlakuan dan kemudahan masyarakat dalam menjangkau pelayanan.

Partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik idealnya akan selalu beriringan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan ketersediaan standar pelayanan (mekanisme pelayanan, jangka waktu pelayanan, biaya) hingga sarana prasarana pelayanan. Untuk masyarakat di perkotaan yang aksesnya dekat dengan pelayanan mungkin sudahfamiliar dan akan bertanya jika tidak menemukan standar pelayanan. Tapi bagaimana dengan masyarakat yang ada didaerah yang minim fasilitas pelayanan? Tentu tantangan berat bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi akan pentingnya ketersediaan pelayanan publik demi mewujudkan sinergitas yang yang efektif bagi semua pihak.

 

Kenapa masyarakat masih enggan mengadu?

Salah satu masyarakat menyampaikan keluhannya kepada Ombudsman Republik Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat atas dugaan carut marutnya penggunaan dana desa di sebuah daerah. Dengan semangat penanganan laporan, tentunya informasi awal seperti ini menjadi bahan yang menarik untuk ditindaklanjuti. Tapi ternyata masyarakat tidak se-kooperatif yang dibayangkan. Telepon yang dapat dihubungi atau alamat tidak disertakan dengan jelas, seperti surat kaleng yang tak punya pemiliknya.

Sebagai informasi, dalam kurun 2 tahun terakhir (Tahun 2018 sampai dengan 2019 Ombudsman Republik Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat menerima konsultasi masyarakat mencapai lebih dari 400 konsultasi. Namun dari jumlah tersebut tidak sampai 10% nya yang dapat ditindaklanjuti sebagai laporan masyarakat.

Banyak pula masyarakat yang ketika datang ke Kantor Ombudsman menyatakan masih ragu permasalahannya dijadikan laporan karena adamindsetbahwa dengan mengadu akan semakin mempersulit yang bersangkutan untuk mendapatkan pelayanan ke depannya. Di satu sisi, masyarakat sudah merasa terlatih untuk memaklumi pelayanan yang tidak prima. Istilahnya mau cepat bisa pakai uang, dan kalau mau lancar harus ada orang dalam.

Membentuk kebiasaan masyarakat agar mau berpartisipasi aktif dalam mengawasi pelayanan publik pasti bukan pekerjaan sehari dua hari. Bukan hanya butuh keberanian, tetapi juga semangat perbaikan pada semua lini pelayanan. Masyarakat tidak dapat dibatasi untuk menyampaikan keluhan atau pengaduan kemana saja.

Sedikitnya pengaduan tidak menjadi ukuran pelayanan sudah baik, dan banyaknya pengaduan juga tidak menjadi jaminan pelayanan pada penyelenggara pelayanan buruk. Respon cepat oleh penyelenggara pelayanan atas pengaduan yang disampaikan adalah kunci membangun kepercayaaan masyarakat, serta menjamin bahwa dengan menyampaikan pengaduan tidak ada pihak pihak yang saling dirugikan.

Jika ingin pelayanan publik diawasi lebih maksimal, jangan ragu untuk melapor atau mengadukan, jangan enggan untuk bersuara. Puncak perbaikan yang sesungguhnya apabila semua masyarakat mau bahu-membahu dalam memberikan saran perbaikan, dan penyelenggara pelayanan pun mau menerima segala laporan dan pengaduan dengan lapang dada dan mau berubah untuk memberikan pelayanan yang prima. Karena, BERANI LAPOR ITU BAIK !





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...