Menjadi Kepala Daerah Yang Melayani
Pilkada telah usai, beberapa calon kepala daerah yang bersengketa hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK) telah mendapatkan putusan. Jika tak ada aral melintang, akhir Februari ini, 13 pasangan kepala daerah di Sumbar, ditambah Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar akan dilantik.
Pasca dilantik, salah satu tugas akan diemban kepala daerah adalah membina penyelenggaraan pelayanan publik. Pasal 16 UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik menyebut kepala daerah adalah pembina pelayanan publik, tugas pokoknya adalah membina, mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan pelayanan publik di daerahnya masing-masing. Kepala daerah juga diwajibkan melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada DPRD.
Meminjam istilah Presiden Jokowi saat memberikan sambutan dalam peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman beberapa waktu lalu, Presiden mengatakan pelayanan publik adalah wajah kongkret kehadiran negara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, pemerintahan atau negara disebut "hadir" jika mampu melayani dengan cepat, prima dan berkeadilan.
Dalam pemahaman lain, hakikat dari pemerintahan adalah melayani bukan dilayani. Bekerja sepenuh hati guna menyejahterakan masyarakat. Memenuhi kebutuhan publik, baik dari aspek pelayanan administratif berupa dokumen, persuratan atau perizinan. Jasa publik dalam bentuk pendidikan dan kesehatan. Barang publik berupa obat-obatan, listrik, gas, BBM, hingga jalan dan jembatan serta trotoar.
Memimpin dan membina penyelenggaraan pelayanan publik, bukanlah tugas yang mudah. Ada puluhan OPD/instansi unit layanan publik, di level bawah ada lurah/nagari. Terdapat ribuan Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan segenap perilaku dan perangainya. Karena itu, dalam 8 tahun pengalaman saya selaku insan pengawas pelayan publik di Ombudsman Sumbar, saya sampai pada kesimpulan bahwa maju-mundurnya pelayanan publik di daerah sangat tergantung pada komitmen kepala daerahnya.
Jika kepala daerah inovatif, beriorientasi melayani, mampu mengelola keluhan dan pengaduan publik, mampu menjadi teladan role model, maka kepala daerah itu akan mampu memimpin dan membina penyelenggaraan pelayanan publik di daerahnya.
Mengelola Pengaduan Publik
Penyelenggaraan pelayanan butuh partisipasi publik dalam bentuk saran atau pengaduan. Itu juga antara lain yang juga disampaikan oleh Presiden Jokowi saat peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman tersebut. Presiden mengatakan, masyarakat harus lebih aktif memberikan kritikan, masukan, atau memberitahu potensi maladministrasi yang terjadi, agar pelayanan publik dapat diperbaiki.
Kepala daerah ke depan haruslah terbuka terhadap pengaduan publik, telinganya harus lebih lebar, jangan tipis, jangan cepat me-merah, risih terhadap kritik atau pengaduan publik. Kemampuan mendengarnya harus lebih baik, agar ia dapat menangkap kebutuhan masyarakat bawah, tidak hanya mendengar sepihak dari elit-elit bikorasi yang dipimpinnya.
Berkaitan dengan pengaduan pelayanan publik, Ombudsman Sumbar mencatat, setiap tahunnya pemerintah daerah masih menjadi instansi yang paling banyak dikeluhkan oleh masyarakat.
Khusus tahun 2020, Ombudsman Sumbar menerima 111 laporan atau 43% yang terkait dengan layanan pemerintah daerah, diikuti layanan instansi kepolisian sebanyak 30 laporan atau 11%, Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebanyak 28 laporan atau 10% lembaga pendidikan negeri sebanyak 25 laporan atau 10% dan BUMN/BUMD sebanyak 9 laporan atau 3%.
Uniknya, dari segi dugaan maladministrasi, yang paling banyak dilaporkan justru adalah dugaan tidak memberikan pelayanan. Itu artinya, masyarakat ditolak untuk dilayani sejak datang ke meja layanan. Jangankan layanan yang dimohonkan didapat, pertanyaan atau informasi yang dimintakanpun tak dijawab oleh penyelenggara pelayanan.
Padahal, dalam pelayanan publik berlaku pituah, "bialah kandak indak dapek, asa tanyo bajawab." Masyarakat yang datang, mesti dipersilahkan duduk, dicatat, didengar dan ditindaklanjuti keluhannya. Jika masyarakat bersurat, maka mesti dibalas. Ekspektasi pengaduan publik terkadang memang tinggi, melebihi kemampuan dan wewenang penyelenggara. Namun jika dikelola secara terbuka, diperlakukan dengan baik, diberikan penjelasan yang baik, maka masyarakat biasanya dapat menerima dengan lapang pula.
Karena itu, kepala daerah ke depan harus menjadikan saran dan pengaduan publik sebagai dasar perbaikan kebijakannya, baik yang disampaikan melalui layanan pengaduan internal instansi pemerintah daerah/Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP) atau yang disampaikan masyarakat melalui Ombudsman selaku pengawas eksternal.
Mengubah Wajah Layanan
Percaya atau tidak, birokrasi di daerah masih ada yang feodal. Jumawa dengan pangkat, silau dengan segenap fasilitas dan asesoris jabatan yang ada. Kian-kemari berlagak bak tuan yang harus dilayani oleh masyarakat dan oleh ASN/birokrasi di bawahnya. Karena itu, salah satu tugas berat kepada daerah adalah mengubah pola pikir (mindset), budaya kerja (culture set) dan wajah pelayanan, dari budaya senang dilayani menjadi budaya melayani.
Gedung, sarana dan infrastruktur layanan yang baik saja ternyata belum cukup, semua itu harus didukung oleh birokrasi, pejabat dan ASN yang inovatif dan berorientasi melayani masyarakat. Kepala daerah mesti mengubah layanan yang kaku dan cenderung lamban, menjadi lebih ramah, cepat, progresif sekaligus partisipatif.
Tekanan Pandemi Covid-19, tak boleh membuat birokrasi menjadi gugup, gagal bertransformasi dan beradaptasi. Pandemi diharapkan mampu men-trigger ekselerasi perubahan wajah layanan secara digital, agar pelayanan publik semakin cepat, mudah dan ekonomis, serta dapat meningkatkan tingkat kepuasan publik.
Adel Wahidi
Asisten Muda Ombudsman RI