• ,
  • - +

Artikel

Menguji Sisi Imparsial Ombudsman
• Kamis, 14/05/2020 • Atika Mutiara Oktakevina
 

"Saya sudah putus asa", "Entah kemana lagi saya harus bicara", "Hanya dengan Ombudsman saya berharap" dan kalimat-kalimat sejenis lainnya acapkali terdengar dari para Pelapor yang tengah menyampaikan pengaduan di Ombudsman. Hal itu bisa berlanjut dengan seorang Asisten Ombudsman (yang bertugas menerima laporan saat itu) bisa termenung seraya tetap mendengarkan, bahkan sangat berpotensi ikut hanyut dalam kalimat yang mengibakan dari Pelapor. Salah satu episode yang biasa terekam di Ombudsman Republik Indonesia (Ombudsman). Bak lembaga super power, para Pelapor tersebut melambungkan harapannya setinggi mungkin kepada Ombudsman setelah sekian panjang perjalanan telah ia lalui. Tak jarang air mata Pelapor menjadi saksi bisu perbincangan antara Pelapor dengan seorang Asisten Ombudsman. Seolah lelah, hingga Ombudsman menjadi tempat pengharapan kedua setelah Tuhan.

Beberapa kali emosi terpacu tatkala menyaksikan air mata para Pelapor yang tak lain hanyalah mereka yang berupaya untuk mengakses pelayanan yang sudah sepatutnya disediakan oleh Negara. Terenyuh saat melihat seorang ibu yang menangisi keadaanya putranya yang demam tinggi sementara ia mendapat kesulitan ketika mengakses pelayanan kesehatan di sebuah rumah sakit, atau seorang pria yang sudah berumur seketika mengeluarkan air mata setelah habis ceritanya tentang kesulitannya mengakses pelayanan di salah satu instansi. Atau cerita pilu seorang aktivis pejuang buruh migran yang dengan kebesaran jiwanya rela sering meninggalkan keluarganya demi memperjuangkan nasib para buruh migran di Indonesia.

Sebagai sebuah lembaga Negara pengawas pelayanan publik, mendengarkan laporan dari masyarakat adalah sebagian dari tugas yang dilakukan oleh Asisten Ombudsman. Setelah laporan dinyatakan lengkap syarat formil dan materiil, maka langkah awal yang biasa diambil adalah meminta klarifikasi kepada instansi yang dilaporkan (Terlapor). Kerap kali Ombudsman menemui sikap "Siap Salah" dari para Terlapor yang dengan sukarela bersiap untuk memperbaiki kesalahannya. Namun, tak jarang pula Ombudsman harus melalui lika-liku yang membentuk teka-teki panjang sebelum akhirnya menemui kesimpulan apakah benar terbukti maladministrasi oleh pihak Terlapor atau tidak. Kembali harus jujur, ketika pada akhirnya dugaan maladministrasi tidak terbukti, maka seringkali harus melawan rasa "empati" berlebih dengan Pelapor yang tentu berpotensi menggoyahkan kesimpulan akhir dari pemeriksaan atas laporan/pengaduan Pelapor.

Dalam episode yang lain, dapat disaksikan para penyelenggara pelayanan publik dengan penuh semangat mencoba menjalankan berbagai hasil inovasi dalam pelayanan yang mereka berikan. Beberapa bahkan rela melebihi jam kerja untuk sebuah hal, "kepuasan masyarakat". Tak jarang, inovasi tersebut menemui tantangan, ketika kerja keras masih dikeluhkan bahkan dicaci oleh sebagian masyarakat yang notabene adalah para pengguna layanan. Atau ide-ide cemerlang terkadang berbenturan dengan penolakan dari sebagian rekan kerja atau bahkan pimpinan yang mungkin belum siap berbenah. Ada pula beberapa pimpinan instansi yang rela pasang badan, ikut libatkan harta pribadi ketika pimpinan teratas masih belum tunjukkan dukungan atas ide-ide perubahan demi mewujudkan suatu pelayanan yang berkualitas.

Belum lagi ketika terbentur dengan pengakuan "siap salah" dari beberapa pimpinan instansi selaku Terlapor dalam suatu laporan/pengaduan masyarakat. Ketika mereka menyadari kesalahan mereka, namun terbentur pada suatu keadaan dan tidak tau bagaimana cara untuk memutar balik keadaan hingga kembali ke semula. Mereka sangat ingin memperbaiki, namun beberapa peraturan telah menutup akses atas niat perbaikan yang ingin dilakukan. Belum lagi terkait ungkapan ketakutan mereka akan imbas dari laporan/pengaduan Pelapor terhadap karir mereka. Apalagi ketika mereka mulai menghubungkannya dengan pekerjaan yang menjadi sarana mereka dalam menghidupi keluarga. Kembali, jika harus melibatkan emosional, pada saat itu mungkin segala upaya para penyelenggara pelayanan publik tersebut akan dengan mudah dihargai. Bahkan terlalu dihargai, hingga berujung mengesampingkan substansi laporan/pengaduan Pelapor atas pelayanan di salah satu penyelenggara pelayanan publik tersebut.

Dua episode di atas telah sangat dekat dengan Ombudsman. Tugas berat selanjutnya adalah, Ombudsman harus mampu memformulasikan segala fakta-fakta yang diperoleh dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, beberapa bahkan memerlukan pengkajian norma tertentu. Tak jarang, Ombudsman harus kembali pada tahap awal untuk menemukan fakta-fakta lain yang menguatkan, membongkar habis fakta di balik fakta, mengungkap kembali harapan di balik harapan para pelapor untuk selanjutnya kembali bergelut dengan analisa-analisa yang pada akhirnya akan membentuk suatu kesimpulan pemeriksaan. Hal terberat adalah memutuskan terbukti/tidaknya maladministrasi oleh terlapor. Setelah berbagai lika-liku yang terjadi di atas, di sinilah sisi imparsial Ombudsman akan dibuktikan.

Sebenarnya, tak ada aturan yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Ombudsman harus imparsial. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia menyatakan bahwa Ombudsman berasaskan kepatutan, keadilan, non diskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan dan kerahasiaan. Namun acap kali, Ombudsman digadang sebagai lembaga yang imparsial, yang mana imparsial tersebut diartikan sebagai suatu sikap yang tidak berpihak pada salah satu pihak. Bahkan sering kali sisi imparsial Ombudsman juga digaungkan oleh Insan Ombudsman itu sendiri.

Imparsial sendiri secara arti kata merupakan tidak memihak, netral. Bedasarkan kamushukum.web.id (2020), imparsial diambil dari kata impartial. Dalam, dictionary.cambridge.org/imparsial diartikan sebagai sebuah kata sifat yang berarti not supporting any of the sides involved in an argument. Wikipedia mencatat bahwa imparsial diambil dari kata impartial yaitu pandangan yang memuliakan kesetaraan hak setiap individu - dalam keberagaman latarnya - terhadap keadilan, dengan perhatian khusus terhadap mereka yang kurang beruntung (the less fortunate). Selanjutnya dictionary.cambridge.org mengartikan impartiality sebagai the fact of not supporting any of the sides involved in an argument. Kata impartiality juga dipersamakan dengan equity (keadilan).

Pada banyak kesempatan, imparsial lebih terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM), karena sebagai sebuah prinsip, imparsial merupakan prinsip yang menghargai individu, memberlakukan setiap orang dengan adil. Imparsial bahkan dapat diterjemahkan sebagai sebuah perlindungan kepada masyarakat atas hak-hak individu yang mereka miliki.

Sisi Imparsial Ombudsman

Ketika imparsial selanjutnya dikaitkan erat dengan Ombudsman, ada sekilas harapan bahwa Ombudsman akan berkecenderungan kepada siapa yang terlihat dirampas hak-haknya. Bisa jadi, akan muncul kecenderungan terhadap pihak yang mengaku terampas haknya dalam penyelanggaraan pelayanan publik. Namun, jika menelaah secara arti kata, maka Ombudsman diharuskan untuk berdiri di tengah. Tidak boleh ada kecenderungan terhadap salah satu pihak dalam melalui proses pemeriksaan sampai dengan dihasilkannya suatu Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP).

Menurut hemat saya, dengan segala proses tugas yang ada pada Ombudsman, maka imparsial yang kerap disandingkan dengan Ombudsman bukan sekedar netral atau tidak memihak apalagi harus berkecenderungan pada pihak yang pertama kali terlihat "teraniaya". Saya memandang, bahwa sisi imparsial Ombudsman juga harus diartikan sebagai sebuah prinsip yang dipegang teguh yang pada akhirnya akan melahirkan sikap memandang secara menyeluruh. Ombudsman harus melihat duduk persoalan secara utuh. Tidak terjebak pada kejadian yang terlihat membuat Pelapor "teraniaya", pun juga tidak secara mudah percaya dengan "tangguh" nya para Terlapor dalam berinovasi maupun rasa bersalah disertai dengan "niat mulia" untuk berbenah dari Terlapor.

Maka, imparsial bukan sekedar netral. Bukan pula sekedar berdiri di tengah dan memperlakukan kedua pihak (Pelapor dan Terlapor) dengan sama. Kerena Ombudsman tidak hanya memutuskan, tetapi juga memeriksa, maka harus cerdas memaknai fakta, cermat menganalisa dan tak segan mundur beberapa langkah ketika ragu. Kecenderungan pada suatu pihak tidak mutlak harus disingkirkan. Justru kecenderungan dibutuhkan, namun bukan kecenderungan terhadap pihak yang terlihat "teraniaya", melainkan kecenderungan yang muncul atas berbagai proses pemaknaan fakta yang dilanjutkan dengan analisa yang cermat. Kepiawaian dalam memilah fakta yang dibutuhkan serta menemukan pisau analisis yang tepat juga dibutuhkan. Hingga menghasilkan sebuah keyakinan sebelum sampai pada suatu kesimpulan.

Bahkan untuk beberapa laporan/pengaduan tertentu, yang mana tidak lagi dapat diselesaikan dengan berpedoman mutlak pada peraturan, sedikit subyektifitas terkadang dibutuhkan. Dalam kondisi ini, maka level pembahasan bukan lagi soal terbukti atau tidaknya maladministrasi, tetapi bagaimana solusi atas kedua belah pihak agar sama-sama tidak merasa dirugikan. Untuk itulah Ombudsman dapat memfasilitasi mediasi antara Pelapor dan Terlapor. Terkadang, subyektifitas dibutuhkan dalam mencari solusi, karena subyektifitas tidak selalu tidak obyektif. Hal ini sebagaimana dibutuhkannya keyakinan pada diri seorang hakim saat memutuskan suatu perkara.

Ombudsman bukanlah hakim. Akan tetapi Ombudsman dituntut untuk dapat memutuskan ada/tidaknya suatu maladministrasi dalam pelayanan publik. Mungkin masih jauh jika harus disandingkan dengan kata equity (keadilan) sebagaimana kata impartiality dipersamakan dengan equity. Namun setidaknya, di setiap penanganan laporan/pengaduan masyarakat, di setiap itu pulalah sisi imparsial Ombudsman akan selalu diuji dan semakin terasah. 





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...