Menguji Integritas Para ASN pada Pilkada serentak 2020
"Netralitas itu gak perlu diuji, sebab netralitas adalah fungsi. Yang diuji adalah integritas, integritaslah yang akan menentukan netral atau tidak, bukan netralitasnya yang diuji," begitu ujar Rocky Gerung dalam salah satu acara di televisi suatu ketika.
Masalah integritas para ASN dalam konstelasi Pilkada bukan sekali-dua kali dibicarakan. Tetapi mengapa hal ini selalu menjadi masalah setiap kali adanya proses demokrasi melalui Pilkada? Khusus untuk Pilkada tahun 2020 yang diundur pelaksanaannya pada 9 Desember 2020 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang, hal ini bisa dikatakan simbiosis mutualisme. Para calon Kepala Daerah membutuhkan dukungan, begitu juga para ASN (baca: PNS berharap calon Kepala Daerah yang mereka dukung menang dan kemudian mereka mendapat "job"). Terus-menerus berulang dan berefek tentu kepada layanan di masyarakat yang bisa terhambat. Para menteri yang berkepentingan selalu menekankan netralitas, dan berjanji bagi para ASN yang terlibat politik praktis akan diberi sanksi berat! Efektifkah? Bisa ya, bisa juga tidak. Hal ini bisa jadi merupakan kebiasaan jika tidak ingin disebut budaya dalam birokrasi itu sendiri dan beberapa faktor x lainnya. Lalu, bagaimana sebenarnya masalah netralitas birokrasi menurut teori dan larangan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Serta bagaimana juga peran Ombudsman dalam hal ini. Artikel ringan ini mencoba menjelaskannya dengan sederhana, singkat namun tetap mencoba untuk tetap berisi.
Netralisasi Birokrasi
Persoalan netralisasi birokrasi sebenarnya bukan barang baru. Menurut perkembangan awal dari konsepsi birokrasi ini, kenetralan birokrasi itu sudah ramai dibicarakan oleh para pakar. Pertama yang memuat polemik adalah Karl Marx dan Hegel yang menyoroti tentang konsep kenetralan birokrasi. Walaupun konsepsi birokrasi tidak menduduki posisi sentral dari seluruh konsep pemikirannya, Karl Marx merupakan orang pertama yang meramaikan masalah netralisasi birokrasi ini. Marx memulai mengelaborasi konsep birokrasi dengan menganalisis dan mengkritik falsafah Hegel mengenai Negara. Hal ini bisa dibaca dalam buku yang ditulis oleh Moerdiono, Sarwono Kusumaatmadja, Kristiadi Pudjosukanto, Tanri Abeng, Miftah Thoha dengan judul Birokrasi dan Administrasi Pembangunan dengan Penerbit Pustaka Sinar Harapan halaman 52.
Masih dalam sumber buku yang sama, analisis Hegelian menggambarkan bahwa administrasi Negara atau birokrasi sebagai suatu jembatan antara Negara (the state) dan masyarakat rakyatnya (the civil society). Masyarakat rakyat ini terdiri dari para profesi dan pengusaha yang mewakili berbagai kepentingan khusus (particular interests), sedangkan negara mewakili kepentingan umum (general interests). Di antara keduanya, birokrasi Pemerintah itu merupakan perantara yang memungkinkan pesan-pesan dari kepentingan khusus tersebut tersalurkan kepentingan umum. Tiga susunan ini (Negara, birokrasi, dan masyarakat rakyat) diterima oleh Marx akan tetapi diubah isinya. Birokrasi Hegel meletakkan pengertiannya dengan melawankan antara kepentingan khusus dan umum.
Dalam buku yang sama pula, menurut Marx meletakkan posisi birokrasi semacam itu tidak mempunyai apa-apa, karena Negara tidak mewakili kepentingan umum tetapi mewakili kepentingan khusus dari kelas dominan. Dari persfektif ini maka birokrasi sebenarnya merupakan perwujudan dari kelompok sosial yang amat khusus. Tepatnya, birokrasi menurut Marxis merupakan suatu instrumen di mana kelas dominan melaksanakan dominasinya atas kelas sosial lainnya. Masa depan dan kepentingan birokrasi menurut konsepsi Marxis pada tingkat tertentu menjalin hubungan sangat intim dengan kelas dominan dalam suatu Negara. Di sinilah kenetralan atau ketidaknetralan birokrasi sudah ramai dibahas.
Dari perang pendapat antara Hegel dan Marx itu dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Hegel menghendaki kenetralan birokrasi. Bahwa birokrasi itu letaknya di tengah-tengah sebagai perantara antara masyarakat yang terdiri dari kaum profesi dan pengusaha dan Negara atau pemerintah. Sedangkan Marx yang terkenal dengan teori kelasnya itu, menyatakan dengan tegas bahwa birokrasi tidak bisa netral dan harus memihak, yakni memihak pada kelas dominan.
ASN harus netral: Cara Negara Mengantisipasi
Negara, dalam hal netralitas ASN ini telah mengantisipasinya melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri disertai Surat Edaran lainnya.
Pasal 2 huruf (f) UU No. 5 Tahun 2014 menyatakan "Penyelenggara kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada asas netralitas". Kemudian, dalam pasal lainnya yakni Pasal 87 ayat (4) huruf c "PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik". Masih dalam UU yang sama, tepatnya pada Pasal 119 "Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon". Masih dalam aturan yang sama, yakni Pasal 123 ayat (3) "Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon."
Ketentuan lainnya, misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri, tepatnya pasal 4 angka (15) menyatakan "Setiap PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye, membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Peran Ombudsman pada Pelayanan Publik pada Masa Pilkada
Ombudsman selaku pengawas penyelenggaraan pelayanan publik tetap akan melakukan tugas dan fungsinya sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tugas Ombudsman diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman R.I. antara lain menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan, menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman, melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga Negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan, membangun jaringan kerja, melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, dan melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.
Dengan melihat ketentuan di atas serta dihadapkan dengan contoh kasus misalnya terdapat PNS yang dilaporkan pada Ombudsman karena masalah netralitasnya yang diduga memihak pada salah satu pasangan calon, tentu Ombudsman akan menyampaikan kepada Pelapor untuk meneruskan kepada instansi yang tepat, yaitu Bawaslu mengenai tindak lanjut penanganan laporannya. Namun, dalam hal pelaksanaan pelayanan publik Ombudsman akan menyampaikan kepada Penyelenggara untuk tetap menyelenggarakan pelayanan publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi, Ombudsman harus memastikan bahwa Pelayanan Publik harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. Untuk urusan Pilkada, Ombudsman tidak bisa "masuk", karena Negara telah membentuk lembaga yang memang memiliki tugas dan fungsi di bidang tersebut.
Kesimpulan
Tidak dapat dipungkiri lagi, sampai saat ini birokrasi masih memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat modern. Sebagai alat atau mekanisme dari keputusan politik, birokrasi mempunyai posisi yang strategis. Di satu sisi menjadi penerjemah kebijakan publik, di sisi lain sebagai pelayan publik yang harus responsif terhadap kebutuhan maupun aspirasi masyarakat. Birokrasi berada dalam posisi sebagai 'man in the middle', sebagai kepanjangan tangan penguasa (negara) sekaligus juga 'penyambung lidah' bagi tuntutan dan harapan publik akan sistem kepemerintahan yang baik dan bersih. Akan tetapi, para aparatur birokrasi juga membutuhkan "sesuatu" yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Selain itu bisa menjadi sangat serius sebagaimana sudah kita lihat terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kita telah mengantisipasi hal tersebut dengan ketentuan peraturan-perundang undangan beserta sanksinya. Tinggal dalam hal implementasinya dilakukan pengawasan yang ketat. Tapi, lebih dari itu semua harus punya kesadaran bahwa ASN tersebut adalah pelayan masyarakat. Terhadap Ombudsman juga, lembaga yang sangat penting ini akan tetap dan terus mengawasi jalannya Pelayanan Publik yang baik sebagaimana harapan kita semua. Untuk kita, untuk Indonesia.