• ,
  • - +

Artikel

Mengkritik Layanan Listrik Antar Distrik
• Kamis, 09/04/2020 • Rizki Arrida, S.S
 
Rizki Arrida, S.S, Asisten Bidang Pemeriksaan Ombudsman RI Perwakilan Kalsel

Masih hangat di ingatan ketika Bulan Agustus 2019 lalu terjadi pemadaman listrik total atau blackout selama berjam-jam oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) di wilayah Jabodetabek dan Provinsi Banten dan Jawa Barat. Pemadaman tersebut ternyata menimbulkan reaksi yang masif. PLN dihujat habis-habisan oleh netizen, khususnya mereka yang berasal dari wilayah terdampak. Muncul kisah para pengusaha ikan koi merugi puluhan juta rupiah yang  viral di media sosial. Marak gugatan ganti rugi dari masyarakat luas yang total nominalnya mencapai ratusan miliar. Oleh karenanya Pihak Kepolisian RI turun tangan melakukan investigasi tentang penyebab padamnya listrik. Tak hanya itu, tokoh masyarakat, politikus, dan lembaga-lembaga juga turut bereaksi atas kejadian tersebut.

Salah satu tokoh yang berkomentar cukup keras yaitu Rizal Ramli. Beliau yang adalah Mantan Menko Kemaritiman ini menyebut bahwa sistem keamanan Indonesia sangat mudah diserang. Cukup dengan mematikan listriknya, sudah bisa menimbulkan kelumpuhan hampir di segala lini, termasuk telekomunikasi. Pernyataan tersebut boleh jadi sangat logis, mengingat dampak blackout  yang signifikan menimbulkan kepanikan, baik secara sosial, ekonomi, hingga keamanan.

Saya pun tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum kecut. Terkenang kembali memori beberapa tahun yang lalu, ketika listrik padam menjadi hal yang dianggap biasa, bahkan menjadi rutinitas, hampir di seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Bahkan pernah terjadi berulang kali dalam sehari, tanpa adanya pemberitahuan sama sekali dari PLN.

Memasuki dekade baru, blackout di Kalsel memang sudah jauh berkurang, meskipun masih sesekali terjadi. Saya pun mengalaminya ketika sedang menulis artikel ini, tepatnya pada 28 Januari 2020, pukul  20.36 WITA. Malam hari, ketika mata terfokus pada laptop, jemari asik mengetuk keyboard, tak disangka blackout terjadi. Proses menulis pun terhenti, tak peduli meskipun mood sedang dalam kondisi terbaik. Ini merupakan bentuk kerugian immateriil bagi saya. Tidak terbayang berapa besar kerugian materiil dialami oleh masyarakat karena kegiatan perekonomian yang terhenti di luar sana.

Kerugian materiil maupun immateriil yang di alami seolah tidak cukup untuk membuat masyarakat Kalsel menjadi lebih kritis terhadap blackout. Bagi sebagian besar masyarakat, itu merupakan hal biasa, bahkan cenderung menganggapnya tak terhindarkan. Sebagaimana PLN sering menjelaskan bahwa ada problem teknis di luar kemampuan mereka, masyarakat pun menjadi maklum terhadap pelayanan listrik tersebut. Memiliki perangkat generator set (genset) menjadi hal yang lumrah, khususnya bagi masyarakatnya tingkat ekonomi menengah ke atas. Ada pula yang cukup menyediakan Power Bank dan perangkat lampu LED mini dengan USB di rumah masing-masing. Sementara itu, masyarakat ekonomi bawah tetap setia dengan lilin atau lampu tempel, walau berisiko terjadi kebakaran. Saya pun teringat, kebakaran kerap terjadi yang menyusul adanya blackout. Sayup-sayup terdengar raungan sirene mobil pemadam yang bergegas mendatangi perkampungan padat penduduk.

Menjadi tanda tanya, apakah sikap "pasrah" yang ditunjukkan masyarakat Kalsel menggambarkan rendahnya pengetahuan terhadap hak-haknya sebagai warga negara, atau memang belum tumbuh budaya kritis dan berani menyampaikan protes, meskipun melalui prosedur yang sudah disediakan? Tergambar dari jumlah laporan masyarakat ke Ombudsman RI Perwakilan Kalsel dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Laporan masyarakat yang berkaitan dengan layanan PLN relatif rendah. Apabila dibandingkan dengan jumlah laporan mengenai pelayanan dari Perusahaan Daerah Air Minum, jumlahnya jauh berbeda. Padahal ketersediaan listrik tak kalah penting. Bahkan tergolong krusial dalam kehidupan sehari-hari dan telah menjadi kebutuhan dasar.

Rendahnya budaya masyarakat Kalsel untuk mengkritik justru menghambat perbaikan terhadap pelayanan listrik. Kita dapat membandingkan realita yang terjadi ketika ada blackout di daerah ibukota. Kerugian materiil maupun immateriil disertai gelombang protes masif dari masyarakat melalui berbagai media, ternyata disikapi dengan serius dan cepat oleh PLN. Permintaan maaf kepada pelanggan, diikuti dengan pemberian kompensasi pengurangan tagihan listrik, hingga evaluasi internal untuk mencegah blackout terulang, semuanya dilakukan oleh PLN dalam rangka perbaikan layanan. Hal ini sangat bertolak belakang apabila melihat kondisi yang dialami pelanggan di Kalsel. Jangankan kompensasi, permohonan maaf pun kadang tidak terdengar.

Wajar bila ada yang menyebut perbedaan pelayanan antar distrik tersebut sebagai tindakan diskriminatif. Adanya perbedaan budaya/kultur masyarakat tidak sepatutnya menjadi celah untuk melakukan pelayanan yang diskriminatif. PLN sebagai satu-satunya perusahaan yang memberikan pelayanan listrik justru harus menggunakan hak "monopoli" tersebut untuk kepentingan publik dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan mengedepankan prinsip kebersamaan dan efisiensi berkeadilan sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 33. Adanya "jejak diskriminasi" tentu akan mencederai amanat tersebut, bahkan menjadi indikator bahwa PLN belum menunjukkan kinerja yang baik dalam pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat. Kejadian blackout masif seharusnya menjadi wake-up call bagi PLN, agar tidak hanya menyiapkan tindakan preventif untuk menghadapi kasus serupa, namun lebih bijak memperlakukan pelanggan sehingga tidak menimbulkan kesan diskriminatif.

Di sisi lain, reaksi berantai dari kejadian blackout di daerah ibukota dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat Kalsel agar lebih kritis dan berani menuntut hak-haknya dalam hal pelayanan publik. Kita juga harus mengubah kebiasaan pasrah dan berserah ketika menghadapi perlakuan buruk maupun pelayanan di bawah standar, prosedur, dan/atau di luar peraturan perundang-undangan. Sikap kritis dan berani melapor merupakan bentuk partisipasi publik yang dijamin oleh negara dan dilindungi oleh Undang-Undang. Selain itu, partisipasi publik juga merupakan bentuk dukungan dari masyarakat terhadap negara. Karena pada akhirnya, perwujudan perbaikan pelayanan publik akan sangat berat dilakukan apabila tidak ada partisipasi publik di dalamnya.

 





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...