
Sabarudin Hulu, S.H., M.H, Asisten Madya Ombudsman RI Jateng (Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan Perwakilan)
Bernardus Maria Taverne mengatakan, "Berikan aku Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat
yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang
sekalipun". Pernyataan ini memperlihatkan bahwa dalam penegakan
hukum bukan ditentukan oleh Undang-Undang, melainkan manusianya.
Pernyataan itu tepat jika disampaikan juga
pada kondisi pelayanan publik kita saat ini. "Berikan
aku birokrasi yang baik, niscaya aku akan berantas maladministrasi dan korupsi
meski tanpa undang-undang sekalipun".
Pernyataan ini relevan untuk mengkritik budaya kerja birokrasi sebagai
penyelenggara pelayanan publik.
Filosofi diundangkannya
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, bahwa negara
memiliki kewajiban untuk melayani setiap warga negara dan penduduk dalam
memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya. Wajah negara adalah birokrasi yang
memiliki kewajiban melayani publik. Dari segi Undang-Undang, telah mengatur
secara jelas mengenai hak dan kewajiban penyelenggara sebagai birokrasi.
Bahkan, pengaturannyapun tidak jarang diatur dari peraturan yang lebih tinggi
sampai pada peraturan yang rendah seperti peraturan daerah bahkan sampai pada
peraturan desa.
Meskipun peraturannya telah
tersedia, namun tetap saja peraturan perundang-undangan ini dipandang sebagai
tulisan indah saja seperti puisi, namun tidak memberikan faedah bagi publik.
Lalu, siapa yang memiliki kewajiban dalam menerapkan peraturan perundang-undangan
tersebut?
Sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyatakan "Pembina terdiri atas pimpinan lembaga negara,
pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, pimpinan
lembaga komisi negara atau yang sejenis, dan pimpinan lembaga lainnya,
gubernur, bupati, walikota". Guna
menjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik, terdapat pembina dan
penanggung jawab. Pembina pelayanan memiliki tugas untuk melakukan pembinaan,
pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan layanan oleh birokrasi.
Presiden Joko Widodo meminta
masyarakat untuk lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik pada pemerintah.
Menurut Jokowi, kritik tersebut adalah bagian dari proses untuk mewujudkan
pelayanan publik yang lebih baik. Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan
kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan
publik juga terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan, kata Jokowi saat memberi
sambutan di Peluncuran Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, 8 Februari 2021 lalu. Sambutan
Presiden RI, menjadi cambuk kepada penyelenggara untuk memastikan pelaksana
pelayanan publik memberikan pelayanan publik yang berkualitas, cepat, mudah,
terjangkau serta terukur.
Sesuai catatan laporan tahunan Ombudsman
RI Tahun 2019 disampaikan bahwa Pemerintah Daerah menduduki peringkat pertama
terbanyak laporan sejumlah 2.274 pengaduan. Berlanjut pada tahun 2020, laporan
masyarakat atas pelayanan pemerintah daerah menjadi instansi yang paling banyak
dilaporkan, selanjutnya pelayanan kepolisian dan pelayanan Kementerian
Agraria/Badan Pertanahan Nasional.
Adapun substansi maladministrasi
yang dilaporkan terutama penundaan berlarut dalam melayani warga. Penundaan
berlarut dalam Pasal 11 Peraturan Ombudsman Nomor 48 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Peraturan Ombudsman Nomor 26 tahun 2017 tentang Tata Cara
Penerimaan, Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan menyebutkan "Penundaan berlarut adalah merupakan perbuatan
mengulur waktu penyelesaian layanan atau memberikan layanan melebihi baku mutu
waktu dari janji layanan".
Pelayanan publik adalah wajah
konkret kehadiran negara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, namun ketika
pelayanan publik tertunda-tunda dari birokrasi, hal ini berdampak pada turunnya
kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemerintahan. Kritikan dari publik terhadap
kinerja pelaksana pelayanan publik, seyogyanya dipandang baik dan penting
sebagai saran masukan dalam perbaikan pelayanan publik. Oleh karenanya,
kritikan dalam bentuk penyampaian pengaduan kepada lembaga yang berwenang,
memberikan perlindungan hukum terhadap publik. Keluhan ataupun kritikan dari
publik, perlu disalurkan sesuai sarana yang tersedia dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam Pasal 40 Undang-Undang Pelayanan
publik menegaskan bahwa "Masyarakat
berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik kepada penyelenggara,
ombudsman, dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota". Hal ini menunjukkan, bahwa negara hadir untuk
memberikan kebebasan kepada publik untuk menyampaikan pengaduan maupun kritikan
terhadap pelayanan buruk dari birokrasi.     Â
Kewajiban Penyelenggara dan
Pelaksana
Sebagus-bagusnya Undang-Undang, tidak bermanfaat jika tidak
diterapkan secara konkrit dalam layanan publik. Birokrasi sebagai struktur yang
menjalankan peraturan, dan keberadaan birokrasi berkewajiban memberikan
pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 huruf e Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan publik. Demikian pula ketentuan Pasal 16 huruf a
Undang-Undang Pelayanan Publik yang menyatakan"Pelaksana
berkewajiban melakukan kegiatan pelayanan sesuai dengan penugasan yang
diberikan oleh penyelenggara".
Tidak cukup keluhan publik
hanya direspon oleh birokrasi, tetapi juga wajib memastikan bahwa keluhan
publik ditindaklanjuti dan diselesaikan. Setiap keluhan publik, penting untuk
diselesaikan bukan diabaikan. Solusi penyelesaian suatu keluhan, tidak hanya
bersumber dari birokrasi itu sendiri tetapi diperlukan pelibatan publik untuk
ikut serta mencari solusi. Pelibatan publik dalam menyelesaikan suatu keluhan,
bagian dari pengakuan dan penghormatan terhadap hak publik.
Di Belanda, dalam menyelesaikan pengaduan
publik, menerapkan metode yang namanya Fair
Traitment Approach yang digunakan
oleh Kementerian Dalam Negeri dan Hubungan Kerajaan Belanda. Metode ini hadir
untuk menyelesaikan keluhan masyarakat dengan pendekatan yang berkeadilan, dan
meninggalkan birokrasi yang rumit dan bertele-tele. Pelibatan publik mencari
solusi, dan pengakuan serta mendengar keluhan publik secara terbuka, merupakan
hal penting dalam metode pendekatan ini. Sebenarnya, di Indonesia telah ada
peraturan yang mengatur mengenai peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik sebagaimana diatur dalam undang-undang pelayanan publik,
hingga pada partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2017.     Â
Berjiwa melayani
Tidak mudah memang untuk mengikis adagium "kalau dapat
dipersulit kenapa harus dipermudah?" Padahal semestinya birokrasi itu
sebagai pelayan, bukan dilayani oleh publik. Namun, karena kita diwarisi oleh
penjajah bahwa birokrasi itu tukang memerintah, kondisi "birokrasi mesti
dilayani" masih ada hingga saat ini.
Dalam catatan laporan tahun 2020 Ombudsman
RI menunjukkan bahwa substansi keluhan terbanyak dilaporkan
masyarakat adalah penundaan berlarut layanan, penyimpangan prosedur, dan tidak
memberikan layanan. Ketiga substansi ini menunjukkan bahwa UU yang
bagus sekalipun, tidak ada jaminan melahirkan birokrasi yang bagus pula.
Padahal Pasal 11 huruf b UU Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tegas menyatakan bahwa"Pegawai Aparatur Sipil Negara bertugas
memberikan pelayanan publik yang professional dan berkualitas".Jika memperhatikan beberapa peraturan
perundang-undangan terkait pelayanan birokrasi, sudah cukup diatur bahkan
sampai pada peraturan yang paling rendah.
Diperlukan perubahan pola berpikir
dan budaya melayani. Artinya reformasi yang dilakukan tidak hanya pada
perampingan organisasi apalagi perubahan peraturan yang ada, namun lebih utama
adalah karakter birokrasi. Budaya birokrasi yang ingin dilayani, harus
dihilangkan dan hadirkanlah wajah birokrasi berjiwa melayani. Birokrasi yang
terlalu kaku tentu akan cenderung tidak memberikan pelayanan yang berkeadilan.