Meneropong Pelayanan Publik di Mulut Tambang
Selama hampir 10 tahun, Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan sudah pernah bersinggah setidaknya ke 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan, yang sebagian besar merupakan wilayah Terdalam, Terluar, Terpinggir dan Perbatasan, bahkan pelosok. Adapun kedatangan kami bukan untuk kunjungan ringan semata, tetapi dengan tujuan melihat dengan jelas potret banua yang masih jauh dari mimpi "Sang Penghuni" yang kemudian memperkuat intuisi kami bahwa "negara" belum benar benar "hadir" untuk rakyatnya, khususnya dalam pelayanan publik.
Berbagai keluhan masyarakat notabene berasal dari suara pilu rakyat kecil yang mendapat pelayanan publik yang kurang sepantasnya. Seperti masih terjadinya pungli, diskriminasi, konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang, sampai perbuatan tak patut dan penyimpangan prosedur adalah suara rakyat yang disampaikan kepada Ombudsman Kalsel.
Salah satunya, yang kerap disampaikan oleh masyarakat banua adalah potret pelayanan publik di mulut tambang. Faktanya, masyarakat yang tinggal di mulut tambang tetap saja dalam taraf hidup miskin. Tidak banyak manfaat yang mereka terima dari aktivitas tambang di "halaman rumah" mereka. Hal ini seperti anekdot "bisu ketika perampok menculik anak di depan mata". Ironis memang, tapi begitulah adanya.
Siapa yang tak tahu bahwa Pulau Kalimantan, termasuk di dalamnya Provinsi Kalsel adalah salah satu lumbung batu bara terbesar di dunia. Bahkan dari catatan pengamat, media, dan Sinas ESDM Kalsel tahun 2019, sebanyak 69,1 juta MT (metrik ton) batu bara keluar dari perut bumi Kalsel, dimana digunakan sebagai keperluan domestik sebanyak 33.9 juta MT dan eskpor sebanyak 34,7 juta MT.
Sudah berapa lubang-lubang menganga, tanpa tahu kapan reklamasi dilakukan. Bayangkan setiap hari gunung-gunung emas hitam itu mondar-mandir di hampir semua pelabuhan, tanpa tahu apa sumbangan dan kontribusi industrinya bagi kesejahteraan rakyat di sekitar.
Padahal rakyat banua sudah lama trauma. Sebab hutan mereka juga telah lama raib. Illegal logging telah lama berakhir ditandai dengan hilangnya hutan hijau di bumi Borneo, yang tersisa hanya kayu-kayu lapuk, bencana banjir dan longsor. Tak ada lagi pohon-pohon besar penyangga kehidupan.
Mari kita renungkan bersama, bagaimana kualitas pelayanan publik di daerah penghasil tambang? Bagaimana kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitarnya?
Dimulai dari keresahan inilah yang semakin memperkuat tekad Ombudsman Kalsel untuk melakukan investigasi dalam program inisiatif kajian sistemik untuk melihat potret pelayanan publik di daerah mulut tambang dan seberapa masif aktivitas pertambangan tanpa izin atau PETI yang tak hanya meresahkan, tetapi sangat berpengaruh pada kerusakan lingkungan.
Catatan Temuan Ombudsman
Ombudsman mendapatkan sejumlah temuan yang cukup menarik untuk diteliti lebih mendalam guna mendapatkan jawaban atas pertanyaan besar: apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa seolah ada "pembiaran" terhadap Pertambangan Tanpa Izin (PETI)?
Adapun faktor terjadinya PETI dikarenakan beberapa hal. Diantaranya belum ada konsep pengelolaan SDA yang serius dan berkelanjutan (blue print), bahkan terjadi kerancuan penegakan hukum yang dilakukan APH (Aparat Penegak Hukum), sebab objeknya ada pada masyarakat, bahkan oknum aparat, dan pejabat.
Ditambah belum adanya peraturan di tingkat pemerintah provinsi yang mengatur mengenai pedoman pelakasanaan tata kelola IPR (Izin Pemanfaatan Ruang). Berdasarkan hasil wawancara dengan pemerintah provinsi yang menjadi sampel kajian, belum ada pemerintah provinsi yang memiliki peraturan daerah atau peraturan gubernur tentang IPR. Padahal, dalam Pasal 72 UU Minerba menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IPR diatur oleh peraturan daerah
Selain itu, faktor utama PETI adalah marak terjadinya ketidaktegasan, diskriminatif dan tidak konsisten dalam penegakan hukum/penindakan yang membuat aktivitas PETI menjadi pelik untuk diselesaikan. PETI dianggap "sengaja dipelihara" atau "dikelola" dengan tujuan tertentu dan akhirnya yang dirugikan adalah rakyat dan negara
Bahkan dari konferensi pers Ombudsman RI pada 15 Juli 2020 lalu, berdasarkan data dari Minerba One Data Indonesia (MODI) pada tahun 2019, jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor pertambangan minerba mencapai 44,93 triliun rupiah.
Sedangkan menurut Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI), jika pertambangan rakyat yang selama ini menambang tanpa izin diberikan Izin Pertambangan Rakyat (IPR), maka potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari aktivitas pertambangan tanpa izin yang ada saat ini dapat mencapai 10-20 triliun rupiah, sehingga jumlah penerimaan negara yang berasal dari sektor pertambangan akan meningkat hampir 50%. Selain itu juga akan berdampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja yang akan diikut dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tapi faktanya hal ini masih jauh dari harapan
Aktivitas PETI di lapangan tak hanya memberi keuntungan terhadap sebagian masyarakat tertentu, tapi juga ada "pihak lain" (oknum aparat dan pejabat) yang juga mendapatkan keuntungan. Hal ini tak elak berpotensi melahirkan permufakatan jahat, bahkan sampai siasat mengatur kepala daerah dan pejabat tingkat lokal hingga nasional guna mempertahankan keuntungan yang didapat.
Untuk itu, sejumlah temuan ini harus segera ditindaklanjuti serius oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. Jangan ada lagi alasan bahwa PETI adalah milik tangan-tangan kuat pejabat yang dikelilingi kehebatan para penjahat. Perlu adanya keberanian dan komitmen kuat untuk memberantas, bukan pembiaran terus menerus. Kalau perlu bentuk tim khusus, diisi oleh orang-orang berani, tegas dan berintegritas, libatkan KPK dan lembaga yang memiliki komitmen yang jelas. Sehingga alam kita tidak naas dan rakyatnya tidak tewas di tengah wabah yang makin mengganas.